Erynalda
24
Maret 2016
Sudah jam sebelas
malam, kata perempuan berwajah bulat sempurna
itu.
Sambil memasukkan barang bawaan ke
dalam tas, tak lupa riasan bedak dan lipstik dipertebal agar tak hilang pesona
kecantikan di wajah. Meski sudah lelah melayani para pembeli di sebuah mall terbesar di Bekasi, Erynalda atau
sering dipanggil Eryn, selalu memprioritaskan kecantikan wajah dalam segala
macam aktivitas.
Bagi Eryn, kecantikan fisik menjadi
fokus utama apalagi di bagian wajah. Sejak SMA, perempuan itu selalu up to date informasi segala kosmetik dan
perawatan tubuh. Sewaktu sekolah pun, berbagai macam jenis katalog kecantikan
menjadi barang wajib yang tak boleh ketinggalan. Bahkan setiap tiga kali dalam
setahun, Eryn menyempatkan diri mengunjungi salon dan spa untuk merawat dan
menjaga kecantikan diri.
Meskipun tak pandai dalam bidang
akademis, Eryn selalu menjadi rebutan para lelaki semasa SMA dan kuliah. Dalam
segi wajah, Eryn memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi berkat kelihaian
perempuan itu menjaga tubuh, banyak lelaki menginginkan dirinya. Pernah ada
yang ingin menikahinya. Tapi dia menolak lamaran pemuda itu dengan alasan
dirinya belum cukup umur.
Untung masih ada angkot yang
bersedia mengantar Eryn sampai Griya Asri Indah Residence. Tapi untuk memasuki
perumahan itu, ia harus naik ojek satu kali lagi. Jarak tempuh ke sana mencapai
satu setengah kilometer.
Harusnya
kuterima saja tumpangan dari Irina. Gak capek deh jalan sampai satu kilometer,
rutuk batin Eryn. Meski keadaan jalan masih ramai, hati Eryn tetap dirundungi was-was.
Mengingat kasus begal dan pembunuhan sekaligus pemerkosaan terjadi di jalan
itu, membuat Eryn semakin gelisah dan mempercepat langkah kaki.
Tak sengaja ekor mata Eryn,
menangkap sekilas bayangan melewati pabrik kertas. Ia berhenti sejenak. Detak
jantung semakin cepat. Keberanian semakin surut. Rongrongan takut mulai
menggoyahkan pikiran. Takut kasus yang terjadi dua bulan lalu, akan menimpa
dirinya.
Derap sepatu tumit tinggi beradu
deras dengan aspal yang dipijak Eryn. Sosok bayangan itu mulai menampakan diri.
Dengan langkah pelan namun tersirat misteri, ia mengikuti perempuan buruannya.
Eryn tak lagi berjalan. Ia sudah menggerakkan kaki untuk berlari.
Ada
apa dia mengikutiku terus? tanya hati Eryn. Meski harus terpincang
gara-gara sepatu tumit tinggi, Eryn terus berlari. Walau sosok itu masih jauh,
Eryn tetap berlari. Tak sedikit dirinya oleng dan hampir terjatuh. Sudah merasa
lebih jauh dari kejaran sosok misterius itu, Eryn menyembunyikan diri di balik
celah toko grosir sembako dan toko alat elektronik.
Eryn mengatur hela napas yang tidak
teratur akibat diikuti sosok misterius itu.
Apa dia sudah pergi?
tanya hati Eryn. Sesudah ia bisa mengatur irama pernapasan, Eryn memberanikan
diri mengintip di balik celah dinding grosir.
Perempuan itu perlahan-lahan
menampakkan setengah wajahnya. Bola mata kiri mengedarkan pandangan, mencari
keberadaan sosok itu.
Tidak
ada.Mungkinkah dia benar-benar sudah pergi?
Pertanyaan itu masih bergentayangan di pikiran Eryn.
Manakala sosok itu mengendap-endap mengikuti lagi dari belakang dan memukul tiba-tiba.
Begitu lama ia berdiri, menunggu di sana, ia tak menjumpai sosok itu keluar
dari persembunyian.
“Kurasa dia benar-benar sudah
pergi,” gumam Eryn. Eryn memalingkan badan ke belakang sambil melanjutkan jalan.
Jika dihitung langkah kaki Eryn baru
menempuh jarak dua puluh meter dari toko grosir itu. Sosok itu tinggal menunggu
momen pas menyergap buruannya. Sekarang sudah menempuh jarak 45 meter. Sosok
itu sudah mempercepat langkah kaki. Tinggal sedikit lagi mencapai Eryn.
“Hei teman lama,” ucap sosok itu.
Merasa ada yang menyapa, Eryn menolehkan kepala ke belakang. Tanpa sempat
melawan, sosok itu sudah mendaratkan sikuan tajam telak mengenai tengkuk.
Pandangan Eryn menggelap begitu saja.
***
Entah siapa yang mengguyurkan air
padanya. Eryn merasakan dingin air menerpa wajah. Ia berusaha mengerjapkan
mata. Melihat ulah manusia apa yang berbuat tega seperti itu.
“Sudah bangun?” tanya sosok itu. Ia
merogoh sesuatu dari tas punggung yang dikenakan.
“Kau... siapa?” Eryn berusaha
melihat sosok yang sedang membelakangi dirinya. Eryn cukup terganggu dengan
suasana tempat asing diselimuti kegelapan. Sumber cahaya pun hanya berasal dari
dua lubang ventilasi yang berada di kiri dan kanan ruangan itu.
“Kau tak ingat dengan pemilik suara
ini? Tapi tunggulah sebentar. Mungkin ketika aku membalikkan wajah, bisa
membantu sedikit ingatanmu.”
Eryn diam saja. Menunggu sosok itu
membalikkan badan. Berada di tempat yang sama sekali diketahui ditambah kedua
tangan dan kaki terikat tali tambang, membuat ketakutan Eryn bertambah lima
kali lipat ketimbang dia diintai sosok itu.
Ketika Eryn masih berkonsentrasi
dengan ketakutan di pikiran, sosok itu sudah membalikkan badan.
“Sekarang... kau sudah bisa
mengenalku?” tanya sosok itu sambil menghampiri Eryn, berdiri di hadapannya.
Bola mata Eryn seakan tak bisa
berkedip. Apa yang ada di hadapannya saat ini, memaksa ia terus terbelalak.
Mulut menganga. Entah itu ekspresi terkesima atau munculnya ketakutan lebih
besar, hanya Eryn yang merasakan.
“Kalau melihat eksperesimu yang
seperti ini, rasanya kau sudah mengenaliku, bukan?” Sosok itu kini berjongkok
sambil memandangi wajah pucat Eryn.
“Ka-kau mau apa?” tanya Eryn,
terbata.
“Eh tidakkah kau menanyakan
bagaimana kabarku terlebih dahulu, Eryn? Atau kita bisa bercerita panjang lebar
tentang kenangan semasa SMA dulu.” Eryn bisa merasakan sisa napas yang
dikeluarkan sosok misterius itu, membuat rambut-rambut halus di tangan, berdiri
tegak.
“Aku tahu. Kau pasti takut karena
melihat pisau di tanganku ‘kan? Tenang, tenang. Lihat, aku akan meletakkan
pisau ini jauh darimu,” ucap sosok itu sambil meletakkan pisau yang dipegang
tidak jauh dari posisi Eryn disekap.
Sekarang sosok itu berubah posisi
duduk. Yang tadinya jongkok jadi sedikit merangkak. Wajah Eryn dan sosok itu
hanya berjarak satu sentimeter.
Entah ada energi lain atau
kecantikan wajah Eryn, sosok itu mendekatkan bibirnya ke bibir Eryn. Sosok itu
lahap mengecup bibir Eryn sambil memainkan lidah begitu lihai. Beradu licin dan
menggulung satu sama lain. Merasakan kenikmatan tersendiri bercumbu dengan
sosok misterius yang Eryn ketahui identitasnya. Eryn pasrah saja menerima
permainan ini. Lagipula, dirinya juga mulai hanyut dengan ciuman menggairahkan
itu.
Sementara asyik beradu kenikmatan,
pelan-pelan tangan sosok itu menarik pisau berpenampang lebar yang tak jauh
darinya.
Eryn tak tahu ketika ia masih dibuai
nikmatnya ciuman dari sosok itu, mata pisau itu sudah bersiap membidik
tubuhnya.
Eryn mendelik menahan kesakitan di
bagian perut. Nyeri tak tertahankan menyarang di sana. Sosok itu mulai
mengendurkan pagutan bibir hingga ada noda darah menempel di sudut bibir.
Sementara itu, Eryn tergeletak tak
berdaya dengan luka tusuk menganga. Tak puas menusuk di bagian perut, sosok itu
menancapkan pisau vertikal ke bagian bawah dagu.
“Kau memang cantik, Eryn.
Sampai-sampai aku bisa terpikat karena kecantikanmu. Tapi sayangnya, kamu harus
berakhir di sini, hahaha,” tandas sosok itu sambil tertawa puas, melepaskan
pisau yang masih menancap di bawah dagu Eryn.
Malaikat maut sudah mengantar nyawa
Eryn ke akhirat. Sambil menatap dingin dan penuh benci, sosok itu mengambil
benda yang tersimpan di dalam kantong celana. Sebuah saputangan. Ia mengelap
pisau sampai tak ada darah bekas pembantaian yang selesai dilakukan tadi.