Sunday, 28 May 2017

Sang Novelis - 23



Erynalda
            24 Maret 2016
            Sudah jam sebelas malam, kata perempuan berwajah bulat sempurna itu.
            Sambil memasukkan barang bawaan ke dalam tas, tak lupa riasan bedak dan lipstik dipertebal agar tak hilang pesona kecantikan di wajah. Meski sudah lelah melayani para pembeli di sebuah mall terbesar di Bekasi, Erynalda atau sering dipanggil Eryn, selalu memprioritaskan kecantikan wajah dalam segala macam aktivitas.
            Bagi Eryn, kecantikan fisik menjadi fokus utama apalagi di bagian wajah. Sejak SMA, perempuan itu selalu up to date informasi segala kosmetik dan perawatan tubuh. Sewaktu sekolah pun, berbagai macam jenis katalog kecantikan menjadi barang wajib yang tak boleh ketinggalan. Bahkan setiap tiga kali dalam setahun, Eryn menyempatkan diri mengunjungi salon dan spa untuk merawat dan menjaga kecantikan diri.
            Meskipun tak pandai dalam bidang akademis, Eryn selalu menjadi rebutan para lelaki semasa SMA dan kuliah. Dalam segi wajah, Eryn memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi berkat kelihaian perempuan itu menjaga tubuh, banyak lelaki menginginkan dirinya. Pernah ada yang ingin menikahinya. Tapi dia menolak lamaran pemuda itu dengan alasan dirinya belum cukup umur.
            Untung masih ada angkot yang bersedia mengantar Eryn sampai Griya Asri Indah Residence. Tapi untuk memasuki perumahan itu, ia harus naik ojek satu kali lagi. Jarak tempuh ke sana mencapai satu setengah kilometer.
            Harusnya kuterima saja tumpangan dari Irina. Gak capek deh jalan sampai satu kilometer, rutuk batin Eryn. Meski keadaan jalan masih ramai, hati Eryn tetap dirundungi was-was. Mengingat kasus begal dan pembunuhan sekaligus pemerkosaan terjadi di jalan itu, membuat Eryn semakin gelisah dan mempercepat langkah kaki.
            Tak sengaja ekor mata Eryn, menangkap sekilas bayangan melewati pabrik kertas. Ia berhenti sejenak. Detak jantung semakin cepat. Keberanian semakin surut. Rongrongan takut mulai menggoyahkan pikiran. Takut kasus yang terjadi dua bulan lalu, akan menimpa dirinya.
            Derap sepatu tumit tinggi beradu deras dengan aspal yang dipijak Eryn. Sosok bayangan itu mulai menampakan diri. Dengan langkah pelan namun tersirat misteri, ia mengikuti perempuan buruannya. Eryn tak lagi berjalan. Ia sudah menggerakkan kaki untuk berlari.
            Ada apa dia mengikutiku terus? tanya hati Eryn. Meski harus terpincang gara-gara sepatu tumit tinggi, Eryn terus berlari. Walau sosok itu masih jauh, Eryn tetap berlari. Tak sedikit dirinya oleng dan hampir terjatuh. Sudah merasa lebih jauh dari kejaran sosok misterius itu, Eryn menyembunyikan diri di balik celah toko grosir sembako dan toko alat elektronik.  
            Eryn mengatur hela napas yang tidak teratur akibat diikuti sosok misterius itu.
            Apa dia sudah pergi? tanya hati Eryn. Sesudah ia bisa mengatur irama pernapasan, Eryn memberanikan diri mengintip di balik celah dinding grosir.
            Perempuan itu perlahan-lahan menampakkan setengah wajahnya. Bola mata kiri mengedarkan pandangan, mencari keberadaan sosok itu.
            Tidak ada.Mungkinkah dia benar-benar sudah pergi?
            Pertanyaan  itu masih bergentayangan di pikiran Eryn. Manakala sosok itu mengendap-endap mengikuti lagi dari belakang dan memukul tiba-tiba. Begitu lama ia berdiri, menunggu di sana, ia tak menjumpai sosok itu keluar dari persembunyian.
            “Kurasa dia benar-benar sudah pergi,” gumam Eryn. Eryn memalingkan badan ke belakang sambil melanjutkan jalan.
            Jika dihitung langkah kaki Eryn baru menempuh jarak dua puluh meter dari toko grosir itu. Sosok itu tinggal menunggu momen pas menyergap buruannya. Sekarang sudah menempuh jarak 45 meter. Sosok itu sudah mempercepat langkah kaki. Tinggal sedikit lagi mencapai Eryn.
            “Hei teman lama,” ucap sosok itu. Merasa ada yang menyapa, Eryn menolehkan kepala ke belakang. Tanpa sempat melawan, sosok itu sudah mendaratkan sikuan tajam telak mengenai tengkuk. Pandangan Eryn menggelap begitu saja.
***
            Entah siapa yang mengguyurkan air padanya. Eryn merasakan dingin air menerpa wajah. Ia berusaha mengerjapkan mata. Melihat ulah manusia apa yang berbuat tega seperti itu.
            “Sudah bangun?” tanya sosok itu. Ia merogoh sesuatu dari tas punggung yang dikenakan.
            “Kau... siapa?” Eryn berusaha melihat sosok yang sedang membelakangi dirinya. Eryn cukup terganggu dengan suasana tempat asing diselimuti kegelapan. Sumber cahaya pun hanya berasal dari dua lubang ventilasi yang berada di kiri dan kanan ruangan itu.
            “Kau tak ingat dengan pemilik suara ini? Tapi tunggulah sebentar. Mungkin ketika aku membalikkan wajah, bisa membantu sedikit ingatanmu.”
            Eryn diam saja. Menunggu sosok itu membalikkan badan. Berada di tempat yang sama sekali diketahui ditambah kedua tangan dan kaki terikat tali tambang, membuat ketakutan Eryn bertambah lima kali lipat ketimbang dia diintai sosok itu.
            Ketika Eryn masih berkonsentrasi dengan ketakutan di pikiran, sosok itu sudah membalikkan badan.
            “Sekarang... kau sudah bisa mengenalku?” tanya sosok itu sambil menghampiri Eryn, berdiri di hadapannya.
            Bola mata Eryn seakan tak bisa berkedip. Apa yang ada di hadapannya saat ini, memaksa ia terus terbelalak. Mulut menganga. Entah itu ekspresi terkesima atau munculnya ketakutan lebih besar, hanya Eryn yang merasakan.
            “Kalau melihat eksperesimu yang seperti ini, rasanya kau sudah mengenaliku, bukan?” Sosok itu kini berjongkok sambil memandangi wajah pucat Eryn.
            “Ka-kau mau apa?” tanya Eryn, terbata.
            “Eh tidakkah kau menanyakan bagaimana kabarku terlebih dahulu, Eryn? Atau kita bisa bercerita panjang lebar tentang kenangan semasa SMA dulu.” Eryn bisa merasakan sisa napas yang dikeluarkan sosok misterius itu, membuat rambut-rambut halus di tangan, berdiri tegak.
            “Aku tahu. Kau pasti takut karena melihat pisau di tanganku ‘kan? Tenang, tenang. Lihat, aku akan meletakkan pisau ini jauh darimu,” ucap sosok itu sambil meletakkan pisau yang dipegang tidak jauh dari posisi Eryn disekap.
            Sekarang sosok itu berubah posisi duduk. Yang tadinya jongkok jadi sedikit merangkak. Wajah Eryn dan sosok itu hanya berjarak satu sentimeter.
            Entah ada energi lain atau kecantikan wajah Eryn, sosok itu mendekatkan bibirnya ke bibir Eryn. Sosok itu lahap mengecup bibir Eryn sambil memainkan lidah begitu lihai. Beradu licin dan menggulung satu sama lain. Merasakan kenikmatan tersendiri bercumbu dengan sosok misterius yang Eryn ketahui identitasnya. Eryn pasrah saja menerima permainan ini. Lagipula, dirinya juga mulai hanyut dengan ciuman menggairahkan itu.
            Sementara asyik beradu kenikmatan, pelan-pelan tangan sosok itu menarik pisau berpenampang lebar yang tak jauh darinya.
            Eryn tak tahu ketika ia masih dibuai nikmatnya ciuman dari sosok itu, mata pisau itu sudah bersiap membidik tubuhnya.
            Eryn mendelik menahan kesakitan di bagian perut. Nyeri tak tertahankan menyarang di sana. Sosok itu mulai mengendurkan pagutan bibir hingga ada noda darah menempel di sudut bibir.
            Sementara itu, Eryn tergeletak tak berdaya dengan luka tusuk menganga. Tak puas menusuk di bagian perut, sosok itu menancapkan pisau vertikal ke bagian bawah dagu.
            “Kau memang cantik, Eryn. Sampai-sampai aku bisa terpikat karena kecantikanmu. Tapi sayangnya, kamu harus berakhir di sini, hahaha,” tandas sosok itu sambil tertawa puas, melepaskan pisau yang masih menancap di bawah dagu Eryn.

            Malaikat maut sudah mengantar nyawa Eryn ke akhirat. Sambil menatap dingin dan penuh benci, sosok itu mengambil benda yang tersimpan di dalam kantong celana. Sebuah saputangan. Ia mengelap pisau sampai tak ada darah bekas pembantaian yang selesai dilakukan tadi.  

Friday, 26 May 2017

Sang Novelis - 22



Investigasi
            25 Maret 2016
            Suara decitan ban mobil beradu dengan aspal. Ervano dan sang istri, Liane, turun dari jok dalam mobil. Wajah resah itu tidak bisa disembunyikan kedua insan ini. Untung salah satu pegawai percetakan langsung cepat menghubungi Liane. Begitu mengetahui kabar bahwa percetakan milik sang istri mengalami kebakaran, Ervano cepat-cepat menghubungi supir pribadi.
            Dalam waktu lima belas menit, mereka berdua sudah berada di halaman depan percetakan. Ervano dan Liane langsung menghampiri pegawai yang menelepon mereka barusan.
            “Bagaimana hal ini bisa terjadi, Pak Rusnandi?” tanya Liane, cemas, pada pegawai yang meneleponnya kira-kira jam tujuh.
            “Saya benar-benar tidak tahu, Bu Liane. Saya juga barusan tiba setelah Pak Edi. Dan Pak Edi-lah yang menelepon kepolisian,” jawab Pak Rusnandi.
            Seperti yang mereka lihat saat ini. Pihak kepolisian sedang menyisir area percetakan. Mulai dari bagian depan sampai belakang. Empat sisi garis polisi masih terpasang di sana.
            “Apakah ada saksi mata yang melihat kebakaran ini?” tanya Ervano.
            “Yang saya dengar dari kepolisian, ada dua orang saksi melihat seseorang tak dikenal berada di sekitar area percetakan.”
              “Apakah para saksi mengenal ciri-ciri seseorang itu?” tanya Ervano lagi. Dia semakin antusias.
            “Lebih baik kita tanyakan kepada kepolisian,” anjur Pak Edi sambil menyuruh keduanya menghampiri polisi berpangkat Ipda yang sedang menulis catatan.
            “Maaf Pak Polisi bila kami mengganggu pekerjaan Anda sebentar,” interupsi Ervano dari belakang.
            Sang polisi berpangkat Ipda menoleh ke belakang sambil menyimpan catatan kecil itu dalam kantong celana.
            “Tidak apa-apa. Ada yang bisa kami bantu?”
            “Menurut investigasi puhak kepolisian, apakah ada saksi mata yang melihat insiden kebakaran percetakan milik istri saya?” Tatap mata Ervano serius memperhatikan tingkah laku sang polisi. Sementara itu Liane masih saja membisu. Tak banyak berkata. Lebih banyak Ervano.
            “Sebentar saya lihat catatan dulu,” tahan sang polisi beberapa saat, “nah ini dia.”
            Sang polisi berdeham sejenak sebelum memberikan keterangan.
            “Menurut keterangan saksi, memang ada seseorang tak dikenal memasuki halaman depan percetakan ini. Ciri-ciri pelaku berbadan besar, tinggi, memakai penutup muka dengan bagian mata terbuka, memakai jaket kulit hitam, celana jins hitam dan membawa dua jerigen minyak di tangan. Para saksi juga sempat mengejar pelaku tapi mereka gagal meringkusnya.” Sang polisi selesai memberikan keterangan lalu menyimpan catatan itu lagi ke dalam saku celana.
            “Apakah pelaku pembakaran juga merupakan pelaku yang sama dalam kasus sabotase gedung les saya?” Ervano mencoba mengaitkan pelaku dengan kasus sabotase yang terjadi dua hari yang lalu.
            “Kami belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai pelaku sabotase gedung les milik Anda. Kami juga memang belum memeriksa CCTV karena mengalami kerusakan. Dan Anda mengatakan kalau CCTV akan selesai diperbaiki dalam waktu seminggu. Jika CCTV selesai diperbaiki, kami bisa menemukan ciri-ciri pelaku sabotase. Kami juga masih melakukan penyelidikan pada karyawan yang bekerja di tempat les milik Anda,” pungkas sang polisi sambil beranjak pergi dari hadapan mereka bertiga.
            “Bagaimana... polisi sudah menemukan pelakunya?” tanya Liane yang baru kali ini angkat bicara.
            “Tentu saja belum tapi mereka sudah menemukan ciri-ciri pelaku. Ini akan mempermudah pihak kepolisian mengungkap kasus ini,” terang Ervano sambil merangkul pundak sang istri agar tenang.
            Ya Tuhan ujian apa lagi ini? Ervano berdoa dalam hati. Sungguh dua kejadian ini benar-benar menguji kesabaran.
***
            Gadis itu bernama Erynalda. Gadis pemuja kecantikan fiisik. Dia memang gadis cantik berwajah agak kekotakan. Berdagu datar. Rambutnya dicat pirang. Tapi dia lebih pendek dariku. Mungkin beda empat sentimeter. Tapi mulut gadis itu memang tak bisa dimaafkan. Tapi entah darimana rasa itu berasal, aku ingin sekali bercumbu dengannya. Bermain-main dengan liukan lidah yang beradu dalam kecup bibir mesra. Apakah ini yang dinamakan cinta sesama jenis? Aku tidak sepenuhnya lesbian. Buktinya, aku masih suka lelaki itu. Aku hanya berpikir bagaimana cara menyingkirkan wanita yang selalu berada di sisinya. Dan suatu saat lelaki itu juga akan kubunuh. Mungkin setelah aku beranjak dari tempat ini, aku akan menemukan caranya.
            Sosok berjaket merah itu menyingkirkan tangannya sejenak dari tuts laptop. Mungkin, sudah cukup tulisan untuk hari ini. Lagipula dia harus tiba di terminal bus Leuwi Pajang satu setengah jam dari keberangkatan yakni pukul 13.30.
            Setelah menyegarkan desktop beberapa kali, ia menekan penunjuk tetikus ke arah ikon shutdown lalu menekannya. Sosok itu membuka resleting tas dorong lalu menyimpan laptop di sana.
            Begitu laptop sudah tersimpan, sosok itu mendorong pintu kamar pelan-pelan. Suara roda tas dorong seirama dengan wedges yang dikenakan. Sosok itu melihat sang ibunda sedang memperhatikan layar TV menampilkan siaran sebuah berita stasiun televisi.
             Sosok berjaket merah itu tersenyum samar ketika melihat isi berita itu. Berita itu menampilkan berita pembunuhan di kawasan perumahan elite. Mayat perempuan ditemukan di sebuah gudang bekas penyimpanan logistik dengan kondisi tiga luka tusuk di bagian dada. Sebelum sosok itu menyentuh gagang pintu, sang ibunda memanggil.
            “Nak, kau... mau pergi?” tanya sang ibunda.
            “Ya. Bus akan berangkat jam dua siang. Ada keperluan?”
            “Kalau tidak salah, tiga hari yang lalu, dua orang polisi sedang mencarimu.”
            “Mencariku?” tanya sosok itu, heran. Dia membalikkan badan begitu tahu ada polisi yang sedang mencari dirinya.
            “Mereka ingin meminta keterangan darimu tentang korban pembunuhan di sebuah kontrakan di kawasan perumahan di Garut. Namanya Ra—“
            “Lalu apa yang kau katakan kepada mereka?” potong sosok berjaket itu, cepat. Raut wajah terpahat serius namun dingin menatap wajah sang ibunda.
            “Polisi datang satu jam setelah kepergianmu yang entah ke mana. Ke mana kau pergi waktu itu, Nak?”
            Sosok berjaket itu mendengus abai lalu menjawab, “Itu bukan urusanmu tapi kalau kau coba macam-macam, aku tidak akan segan-segan.” Sosok berjaket itu menyeringai sesaat sebelum meninggalkan sang ibunda yang terlihat kaget dengan ekspresi sang anak.

Tuesday, 23 May 2017

Sang Novelis - 21



Unpredictable
            24 Maret 2016
            Liane masih sibuk menghitung perincian harga cetak buku. Penerbit indie yang bekerja sama dengan percetakan Lifay Media memang tidak memasang paket penerbitan. Biasanya setelah penulis mengirimkan naskah, pihak percetakan akan menghitung jumlah halaman naskah yang terkirim. Kemarin, Liane dan seluruh jajaran percetakan mengadakan rapat untuk menentukan harga edit naskah per halaman, desain cover, layout, dan ilustrasi naskah.
            Akhirnya wanita berambut panjang itu meletakkan pena di atas meja sambil menghela napas. Tapi ia tidak sendiri melakukan dalam penghitungan. Ada dua orang laki-laki dan satu orang perempuan duduk di seberang meja persegi panjang itu.
            Liane langsung meraih telepon genggam yang berada di saku celana. Mengetik nomor telepon penerbit yang bekerjasama memakai jasa pencetakan buku miliknya.
            “Halo bisa bicara dengan direktur  penerbit Tinta Aksara? Ini saya Liane Fayani dari percetakan Lifay Media.”
            “Oh ini Ibu Fayani? Ini saya sendiri. Apakah Ibu sudah menentukan perincian biaya cetak naskah yang sudah saya kirimkan lima hari yang lalu?”
            “Kami sudah melakukan rapat dengan seluruh jajaran divisi percetakan. Kami sudah menghitung biaya edit naskah sampai ongkos pengepakan. Total keseluruhan senilai delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Itu juga sudah termasuk dua eksemplar buku sebagai bukti terbit. Bisa kamu sampaikan biaya pencetakan ini kepada penulis bersangkutan?”
            “Bisa, Bu. Saya akan sampaikan ini kepada penulis bersangkutan. Ada hal lain yang bisa saya sampaikan?”
            “Sejauh ini tidak ada. Kamu sudah memberikan alamat transfer-nya kan?”
            “Sudah saya berikan,” jawab direktur Tinta Aksara, lugas.
            “Baiklah kalau begitu. Saya akhiri pembicaraan ini sampai di sini,” tutup Liane pertama kali.
            Liane kembali meletakkan telepon genggam di atas meja. “Baiklah semuanya. Kalian sudah bisa keluar dari kantor saya. Sekali lagi, terimakasih atas kerjasamanya.” Begitu perintah sudah diucapkan Fayani, ketiga anggota Fayani langsung keluar, mengambil tugas masing-masing.
            Jika ingin menerbitkan buku di penerbit indie, memang harus mempersiapkan dana yang tak sedikit. Dana itu meliputi biaya full editing, layout, cover sampai ongkos kirim. Ada juga penerbit indie memasang paket penerbitan dengan biaya murah. Terkadang ada beberapa penulis pemula tidak selektif dalam memilih penerbit indie. Tergiur dengan paket penerbitan murah yang ditawarkan pihak penerbit. Tanpa mempedulikan kualitas cetakan buku.
            Tapi tidak semua penerbit indie seperti itu. Ada beberapa penerbit indie yang menawarkan kerjasama yang baik dengan penulis naskah. Naskah para penulis ditangani para profesional yang sudah berpengalaman di bidang pencetakan buku. Mereka bisa diajak berkonsultasi mengenai biaya yang akan dikeluarkan penulis ketika ingin menerbitkan naskah. 
            Ada faktor yang mempengaruhi mengapa penerbit indie dijadikan solusi alternatif bagi para penulis dalam menerbitkan buku.
***
            Dunia buku selalu bergerak dinamis. Kita bisa lihat begitu banyak judul buku yang memenuhi ruang pajang. Buku-buku yang terpampang di toko buku selalu bersaing, mendapatkan kategori best seller di ruang pajang. Minimal, jumlah buku yang dicetak dan dipasarkan suatu penerbit ke toko-toko buku, harus habis sesuai dengan target penjualan dalam selang waktu tertentu.  Umumnya, selera konsumen dalam membeli buku selalu berbeda. Dan berbeda pula jenis buku yang dibeli sesuai dengan kebutuhan konsumen. Untuk itulah, para penerbit mayor harus selektif memilih naskah yang harus diterbit guna mendapat untung dari hasil omset penjualan buku. Dengan syarat mempertimbangkan kualitas naskah terkhusus naskah fiksi.
               Naskah fiksi bukan hanya persoalan menghibur atau tidak, naskah fiksi harus menghadirkan sesuatu yang unik, bisa memperkaya informasi dan wawasan para pembaca serta berdaya saing. Tentu dalam hal ini penerbit mayor akan melakukan banyak pertimbangan menerima naskah yang dikirim para penulis. Sangking begitu banyaknya naskah yang diterima pihak penerbit mayor lewat surel atau pos, biasanya waktu penyeleksian naskah akan memakan waktu lama. Paling cepat dua bulan dan paling lama enam bulan bahkan lebih. Tapi ada juga yang tak kunjung diberi pemberitahuan apakah naskah para penulis layak diterbitkan atau tidak.
             Di sinilah penerbit indie menjadi solusi alternatif dalam menerbitkan buku. Penerbit indie hampir menerima semua jenis naskah. Fiksi atau non-fiksi. Tapi dengan persyaratan tidak menimbulkan konflik SARA dan melanggar hak cipta atau plagiat. Penerbit indie cepat dalam menangani naskah. Itu karena penerbit indie menggunakan sistem Print On Demand dalam menerbitkan naskah. Lama pengerjaan suatu naskah berkisar dua minggu atau satu bulan. Tergantung antrian naskah yang masuk.
            Penerbit indie juga tidak tergantung dengan selera pasar. Penulis dapat menerbitkan jenis naskah sesuai dengan keinginan. Begitu pun, para penulis juga harus bekerja keras mempromosikan buku mereka agar dikenal masyarakat. Memang penerbit juga melakukan promosi via online tapi penulis harus mau mempublikasikan buku, menarik minat pembeli di dunia nyata.
***
            Para pegawai percetakan Lifay Media sudah menghambur keluar, mengambil jalan pula masing-masing. Tapi Fayani masih berbicara dengan dua orang karyawan yang berjalan bersampingan dengannya.
            “Ada masalah ketika menyunting naskah tadi, Pak Edi?”
            “Sejauh ini tidak terlalu banyak masalah. Saya rasa penulis sudah melakukan swasunting  berkali-kali sebelum dikirim. Sehingga, naskah minim kesalahan. Kalau ada, yang saya lihat hanya kesalahan penulisan huruf di beberapa kata saja. Tidak berpengaruh secara keseluruhan,” terang Pak Edi.
            “Bagaimana dengan Ibu Rani? Tidak ada masalah dengan typesetting?” tanya Fayani sambil memalingkan kepala pada seorang perempuan di sampingnya.
            Typesetting lancar, Ibu Fayani. Mungkin kita tinggal menunggu di bagian layout dan platemaking,” ujar Ibu Rani.
            “Kalau prosesnya berjalan lancar seperti ini, saya yakin dalam waktu dua minggu kita bisa menyelesaikan naskah itu.” Fayani sudah sampai di depan pintu mobilnya. Sedangkan Pak Edi dan Ibu Rani berboncengan menaiki sepeda motor Jupiter.
            Tirai aluminium ditambah dengan rantai bergembok menutup akses percetakan. Suasana hening di sana. Suara deru mesin sepeda motor diikuti sosok berperawakan tinggi besar. Berhenti tepat di pagar depan setelah satu jam kepulangan para pegawai percetakan Lifay Media.
            Pengendara sepeda motor turun dengan menenteng dua jerigen bensin. Tapi terlebih dahulu ia harus membobol gembok pagar. Sosok itu sudah menyiapkan seutas kawat tipis. Bergulat dengan kerumitan pembobolan, dalam waktu lima menit gembok sudah tak terkunci lagi. Dengan langkah santai, kedua tangan sosok itu masih menggenggam erat jerigen.
            “Percetakan yang megah.” Sosok itu berada di pintu depan. Begitu penutup jerigen terbuka, ia langsung mencurahkan bensin di pintu masuk depan yang masih dihalangi tirai alumunium. Bukan hanya di situ saja. Dia beralih ke bagian samping kiri dan kanan gedung percetakan. Sekarang kobaran api mulai menjilat gedung percetakan. Kini langkah kakinya sudah begitu ringan membawa dua jerigen kosong.
            Ketika hendak sampai di depan motor, sosok itu dikejutkan suara terikan dari kejauhan.
            “Kebakaran! Kebakaran!” Sementara itu dua laki-laki sedang berlari ke arahnya. Sosok itu langsung sigap memutar kunci, menekan electric stater. Sepeda motor itu berderum keras meninggalkan area percetakan. Di lain sisi, kerumunan orang berbondong-bondong menuju tempat kejadian setelah mendengar suara teriakan adanya kebakaran.
***
            Merasa sudah jauh dari para pengejar, sosok itu memberhentikan sepeda motor berhenti di depan pekarangan kedai kopi yang sudah tutup. Dia menumpang duduk sebentar sambil mengatur embus napas agak tersengal karena aksi pembakaran sempat diketahui orang.
            Tak berapa lama berada di sana, sesuatu berbunyi dan bergetar di dalam saku celana.
            “Keparat! Halo,” maki sosok itu di depan telepon sambil menjawab panggilan masuk.
            “Bagaimana? Semua sudah beres?”
            Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Sosok itu memilih bungkam sejenak sambil menyiapkan jawaban yang tepat.
            “Saya sudah melakukan apa yang Anda perintahkan tapi sepertinya ada beberapa orang sempat mengejar saya...” aku sosok itu.
            “Apa?! Jadi bagaimana keadaanmu sekarang?! Mereka sudah menangkapmu?!” suara si penelepon cukup panik dengan apa yang disampaikan sosok itu.
            “Untungnya saya berhasil meloloskan diri dari kejaran mereka.”
            “Ini tidak bisa dibiarkan! Untuk sementara kamu bersembunyi di kediaman saya sampai keadaan kembali aman! Paham?!” senggak sang penelepon.
            “Saya mengerti.” Percakapan berakhir ketika sambungan telepon diputus dari pihak penelepon. Dan ia akan pergi ke tempat yang sudah diperintahkan.