Thursday, 11 May 2017

Sang Novelis - 20



Klimaks
            16 Januari 2013
            Jemari kurus itu masih giat menekan papan tombol. Bola mata memerah. Sesekali air mata tampak menggenang di pelupuk mata. Tapi diabaikan pedih mata demi menghasilkan untaian kata membentuk kalimat pada novel buatannya.
            Sekarang dua manusia berbeda jenis kelamin itu sudah berhadapan. Dengan posisi ini tidak menutup kemungkinan pertarungan akan terjadi. Sebelum benturan fisik itu terjadi, sosok lelaki yang mempunyai wajah seperti perempuan lebih dahulu berbicara.
            “Aku salut padamu. Seorang perempuan datang sendiri ke sini untuk  menjumpaiku. Apa yang menuntunmu bisa sampai ke tempat ini?”
             “Melihat pola pembunuhan yang kamu lakukan kamu lakukan, aku sudah mendapatkan kesimpulan. Pertama, kamu selalu memilih tempat atau lokasi sepi atau tidak terlalu banyak aktivitas untuk melakukan aksi pembunuhan. Yang kedua. Kamu tidak memilih korban secara sembarangan. Kamu sudah mengintip target yang kamu incar dan menunggu saat mereka sedang lengah atau bepergian sendiri. Dan yang ketiga, lokasi yang kamu pilih sebagai tempat eksekusi merupakan tempat yang sudah kamu ketahui terlebih dahulu seluk beluknya. Begitu juga korban yang kamu pilih. Semua mengacu pada orang-orang yang punya porsi kesalahan yang menurutmu tidak bisa ditoleransi. Wanita tuna susila. Pria hidung belang. Orang kaya yang sombong dan kikir. Orang yang mengemis dengan tujuan memperoleh kekayaan secara instan. Pedagang yang bermain curang dengan harga dan kualitas barang jualan. Dan terakhir... kamulah yang membunuh Ahmad Sofari. Seorang anggota DPRD Jakarta Selatan yang terlibat korupsi dana BOS,” urai perempuan itu panjang lebar sambil mengangkat revolver tepat di kening lelaki itu.
            “Hahahaha, analisa yang bagus, perempuan manis. Boleh aku tahu siapa namamu?”
            “Nanda Callissa,”jawab perempuan itu sambil mempertahankan revolver di kening lelaki itu.
            “Meski kau cuma seorang polwan berpangkat rendah, aku mengakui kecerdasanmu. Tapi satu hal perlu kauketahui saat aku melakukan aksi pembunuhan. Aku tidak menjalani aksi ini sendirian,”aku lelaki itu seraya menyeringai pelan-pelan menurunkan pistol yang masih membidik keningnya.
            “Apa maksudmu?Anda jangan bertele-tele,” gertak Nanda. Perempuan berdinas polisi itu menurut saja ketika tangan lelaki itu menurunkan bidikan revolver dari kening lelaki itu
            “Aku punya satu sahabat yang selalu bisa kuandalkan. Dia cerdas dan licin. Rambutnya hitam legam dan panjang. Lekuk pinggulnya bagus lho. Kurasa dia hampir mirip denganmu. Supaya kau percaya, biar kuambilkan fotonya,” jelas lelaki itu sambil merogoh sesuatu di dalam jaketnya.
            Nanda menggelengkan kepala. Tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Dengan tangan gemetar, ia coba mengambil foto yang disodorkan padanya.
             Bagaimana ini bisa terjadi?Aku tak mungkin bekerjasama dengan pembunuh berantai ini, rutuk batin Nanda.
            “Coba kau lihat wajah kita masing-masing? Kau merasakan ada kemiripan, bukan?”
            Nanda coba mengambil telepon genggam yang berada di sakunya. Pelan-pelan dia mengamati segala lekuk tulang wajah termasuk jerawat yang tumbuh di permukaan kulitnya.
            Sangking seriusnya, perempuan itu sampai lupa kalau jam dinding menunjukkan pukul 00.30. Namun entah mengapa perempuan itu tersentak tiba-tiba. Ia sejenak menghentikan aktivitas mengetik.
            Kapan penulis novel Last Holiday akan datang ke Cimahi? tanya batin perempuan itu sambil beralih menuju kalender.
            Dia mengamati deretan angka yang terpanjang di kertas kalender. Setelah diamati lebih teliti, perempuan itu menemukan tanggal yang dilingkari dengan pena. 15 Februari pukul 10.00 pagi.
             Informasi itu didapatkan ketika perempuan itu stalking akun Facebook sang penulis. Dia sangat beruntung ketika membaca informasi itu. Dia bisa bertemu secara langsung dengan sang penulis. Sekaligus meminta kritik dan saran atas novel perdana buatannya.

No comments:

Post a Comment