Friday, 26 May 2017

Sang Novelis - 22



Investigasi
            25 Maret 2016
            Suara decitan ban mobil beradu dengan aspal. Ervano dan sang istri, Liane, turun dari jok dalam mobil. Wajah resah itu tidak bisa disembunyikan kedua insan ini. Untung salah satu pegawai percetakan langsung cepat menghubungi Liane. Begitu mengetahui kabar bahwa percetakan milik sang istri mengalami kebakaran, Ervano cepat-cepat menghubungi supir pribadi.
            Dalam waktu lima belas menit, mereka berdua sudah berada di halaman depan percetakan. Ervano dan Liane langsung menghampiri pegawai yang menelepon mereka barusan.
            “Bagaimana hal ini bisa terjadi, Pak Rusnandi?” tanya Liane, cemas, pada pegawai yang meneleponnya kira-kira jam tujuh.
            “Saya benar-benar tidak tahu, Bu Liane. Saya juga barusan tiba setelah Pak Edi. Dan Pak Edi-lah yang menelepon kepolisian,” jawab Pak Rusnandi.
            Seperti yang mereka lihat saat ini. Pihak kepolisian sedang menyisir area percetakan. Mulai dari bagian depan sampai belakang. Empat sisi garis polisi masih terpasang di sana.
            “Apakah ada saksi mata yang melihat kebakaran ini?” tanya Ervano.
            “Yang saya dengar dari kepolisian, ada dua orang saksi melihat seseorang tak dikenal berada di sekitar area percetakan.”
              “Apakah para saksi mengenal ciri-ciri seseorang itu?” tanya Ervano lagi. Dia semakin antusias.
            “Lebih baik kita tanyakan kepada kepolisian,” anjur Pak Edi sambil menyuruh keduanya menghampiri polisi berpangkat Ipda yang sedang menulis catatan.
            “Maaf Pak Polisi bila kami mengganggu pekerjaan Anda sebentar,” interupsi Ervano dari belakang.
            Sang polisi berpangkat Ipda menoleh ke belakang sambil menyimpan catatan kecil itu dalam kantong celana.
            “Tidak apa-apa. Ada yang bisa kami bantu?”
            “Menurut investigasi puhak kepolisian, apakah ada saksi mata yang melihat insiden kebakaran percetakan milik istri saya?” Tatap mata Ervano serius memperhatikan tingkah laku sang polisi. Sementara itu Liane masih saja membisu. Tak banyak berkata. Lebih banyak Ervano.
            “Sebentar saya lihat catatan dulu,” tahan sang polisi beberapa saat, “nah ini dia.”
            Sang polisi berdeham sejenak sebelum memberikan keterangan.
            “Menurut keterangan saksi, memang ada seseorang tak dikenal memasuki halaman depan percetakan ini. Ciri-ciri pelaku berbadan besar, tinggi, memakai penutup muka dengan bagian mata terbuka, memakai jaket kulit hitam, celana jins hitam dan membawa dua jerigen minyak di tangan. Para saksi juga sempat mengejar pelaku tapi mereka gagal meringkusnya.” Sang polisi selesai memberikan keterangan lalu menyimpan catatan itu lagi ke dalam saku celana.
            “Apakah pelaku pembakaran juga merupakan pelaku yang sama dalam kasus sabotase gedung les saya?” Ervano mencoba mengaitkan pelaku dengan kasus sabotase yang terjadi dua hari yang lalu.
            “Kami belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai pelaku sabotase gedung les milik Anda. Kami juga memang belum memeriksa CCTV karena mengalami kerusakan. Dan Anda mengatakan kalau CCTV akan selesai diperbaiki dalam waktu seminggu. Jika CCTV selesai diperbaiki, kami bisa menemukan ciri-ciri pelaku sabotase. Kami juga masih melakukan penyelidikan pada karyawan yang bekerja di tempat les milik Anda,” pungkas sang polisi sambil beranjak pergi dari hadapan mereka bertiga.
            “Bagaimana... polisi sudah menemukan pelakunya?” tanya Liane yang baru kali ini angkat bicara.
            “Tentu saja belum tapi mereka sudah menemukan ciri-ciri pelaku. Ini akan mempermudah pihak kepolisian mengungkap kasus ini,” terang Ervano sambil merangkul pundak sang istri agar tenang.
            Ya Tuhan ujian apa lagi ini? Ervano berdoa dalam hati. Sungguh dua kejadian ini benar-benar menguji kesabaran.
***
            Gadis itu bernama Erynalda. Gadis pemuja kecantikan fiisik. Dia memang gadis cantik berwajah agak kekotakan. Berdagu datar. Rambutnya dicat pirang. Tapi dia lebih pendek dariku. Mungkin beda empat sentimeter. Tapi mulut gadis itu memang tak bisa dimaafkan. Tapi entah darimana rasa itu berasal, aku ingin sekali bercumbu dengannya. Bermain-main dengan liukan lidah yang beradu dalam kecup bibir mesra. Apakah ini yang dinamakan cinta sesama jenis? Aku tidak sepenuhnya lesbian. Buktinya, aku masih suka lelaki itu. Aku hanya berpikir bagaimana cara menyingkirkan wanita yang selalu berada di sisinya. Dan suatu saat lelaki itu juga akan kubunuh. Mungkin setelah aku beranjak dari tempat ini, aku akan menemukan caranya.
            Sosok berjaket merah itu menyingkirkan tangannya sejenak dari tuts laptop. Mungkin, sudah cukup tulisan untuk hari ini. Lagipula dia harus tiba di terminal bus Leuwi Pajang satu setengah jam dari keberangkatan yakni pukul 13.30.
            Setelah menyegarkan desktop beberapa kali, ia menekan penunjuk tetikus ke arah ikon shutdown lalu menekannya. Sosok itu membuka resleting tas dorong lalu menyimpan laptop di sana.
            Begitu laptop sudah tersimpan, sosok itu mendorong pintu kamar pelan-pelan. Suara roda tas dorong seirama dengan wedges yang dikenakan. Sosok itu melihat sang ibunda sedang memperhatikan layar TV menampilkan siaran sebuah berita stasiun televisi.
             Sosok berjaket merah itu tersenyum samar ketika melihat isi berita itu. Berita itu menampilkan berita pembunuhan di kawasan perumahan elite. Mayat perempuan ditemukan di sebuah gudang bekas penyimpanan logistik dengan kondisi tiga luka tusuk di bagian dada. Sebelum sosok itu menyentuh gagang pintu, sang ibunda memanggil.
            “Nak, kau... mau pergi?” tanya sang ibunda.
            “Ya. Bus akan berangkat jam dua siang. Ada keperluan?”
            “Kalau tidak salah, tiga hari yang lalu, dua orang polisi sedang mencarimu.”
            “Mencariku?” tanya sosok itu, heran. Dia membalikkan badan begitu tahu ada polisi yang sedang mencari dirinya.
            “Mereka ingin meminta keterangan darimu tentang korban pembunuhan di sebuah kontrakan di kawasan perumahan di Garut. Namanya Ra—“
            “Lalu apa yang kau katakan kepada mereka?” potong sosok berjaket itu, cepat. Raut wajah terpahat serius namun dingin menatap wajah sang ibunda.
            “Polisi datang satu jam setelah kepergianmu yang entah ke mana. Ke mana kau pergi waktu itu, Nak?”
            Sosok berjaket itu mendengus abai lalu menjawab, “Itu bukan urusanmu tapi kalau kau coba macam-macam, aku tidak akan segan-segan.” Sosok berjaket itu menyeringai sesaat sebelum meninggalkan sang ibunda yang terlihat kaget dengan ekspresi sang anak.

No comments:

Post a Comment