Sunday, 28 May 2017

Sang Novelis - 23



Erynalda
            24 Maret 2016
            Sudah jam sebelas malam, kata perempuan berwajah bulat sempurna itu.
            Sambil memasukkan barang bawaan ke dalam tas, tak lupa riasan bedak dan lipstik dipertebal agar tak hilang pesona kecantikan di wajah. Meski sudah lelah melayani para pembeli di sebuah mall terbesar di Bekasi, Erynalda atau sering dipanggil Eryn, selalu memprioritaskan kecantikan wajah dalam segala macam aktivitas.
            Bagi Eryn, kecantikan fisik menjadi fokus utama apalagi di bagian wajah. Sejak SMA, perempuan itu selalu up to date informasi segala kosmetik dan perawatan tubuh. Sewaktu sekolah pun, berbagai macam jenis katalog kecantikan menjadi barang wajib yang tak boleh ketinggalan. Bahkan setiap tiga kali dalam setahun, Eryn menyempatkan diri mengunjungi salon dan spa untuk merawat dan menjaga kecantikan diri.
            Meskipun tak pandai dalam bidang akademis, Eryn selalu menjadi rebutan para lelaki semasa SMA dan kuliah. Dalam segi wajah, Eryn memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi berkat kelihaian perempuan itu menjaga tubuh, banyak lelaki menginginkan dirinya. Pernah ada yang ingin menikahinya. Tapi dia menolak lamaran pemuda itu dengan alasan dirinya belum cukup umur.
            Untung masih ada angkot yang bersedia mengantar Eryn sampai Griya Asri Indah Residence. Tapi untuk memasuki perumahan itu, ia harus naik ojek satu kali lagi. Jarak tempuh ke sana mencapai satu setengah kilometer.
            Harusnya kuterima saja tumpangan dari Irina. Gak capek deh jalan sampai satu kilometer, rutuk batin Eryn. Meski keadaan jalan masih ramai, hati Eryn tetap dirundungi was-was. Mengingat kasus begal dan pembunuhan sekaligus pemerkosaan terjadi di jalan itu, membuat Eryn semakin gelisah dan mempercepat langkah kaki.
            Tak sengaja ekor mata Eryn, menangkap sekilas bayangan melewati pabrik kertas. Ia berhenti sejenak. Detak jantung semakin cepat. Keberanian semakin surut. Rongrongan takut mulai menggoyahkan pikiran. Takut kasus yang terjadi dua bulan lalu, akan menimpa dirinya.
            Derap sepatu tumit tinggi beradu deras dengan aspal yang dipijak Eryn. Sosok bayangan itu mulai menampakan diri. Dengan langkah pelan namun tersirat misteri, ia mengikuti perempuan buruannya. Eryn tak lagi berjalan. Ia sudah menggerakkan kaki untuk berlari.
            Ada apa dia mengikutiku terus? tanya hati Eryn. Meski harus terpincang gara-gara sepatu tumit tinggi, Eryn terus berlari. Walau sosok itu masih jauh, Eryn tetap berlari. Tak sedikit dirinya oleng dan hampir terjatuh. Sudah merasa lebih jauh dari kejaran sosok misterius itu, Eryn menyembunyikan diri di balik celah toko grosir sembako dan toko alat elektronik.  
            Eryn mengatur hela napas yang tidak teratur akibat diikuti sosok misterius itu.
            Apa dia sudah pergi? tanya hati Eryn. Sesudah ia bisa mengatur irama pernapasan, Eryn memberanikan diri mengintip di balik celah dinding grosir.
            Perempuan itu perlahan-lahan menampakkan setengah wajahnya. Bola mata kiri mengedarkan pandangan, mencari keberadaan sosok itu.
            Tidak ada.Mungkinkah dia benar-benar sudah pergi?
            Pertanyaan  itu masih bergentayangan di pikiran Eryn. Manakala sosok itu mengendap-endap mengikuti lagi dari belakang dan memukul tiba-tiba. Begitu lama ia berdiri, menunggu di sana, ia tak menjumpai sosok itu keluar dari persembunyian.
            “Kurasa dia benar-benar sudah pergi,” gumam Eryn. Eryn memalingkan badan ke belakang sambil melanjutkan jalan.
            Jika dihitung langkah kaki Eryn baru menempuh jarak dua puluh meter dari toko grosir itu. Sosok itu tinggal menunggu momen pas menyergap buruannya. Sekarang sudah menempuh jarak 45 meter. Sosok itu sudah mempercepat langkah kaki. Tinggal sedikit lagi mencapai Eryn.
            “Hei teman lama,” ucap sosok itu. Merasa ada yang menyapa, Eryn menolehkan kepala ke belakang. Tanpa sempat melawan, sosok itu sudah mendaratkan sikuan tajam telak mengenai tengkuk. Pandangan Eryn menggelap begitu saja.
***
            Entah siapa yang mengguyurkan air padanya. Eryn merasakan dingin air menerpa wajah. Ia berusaha mengerjapkan mata. Melihat ulah manusia apa yang berbuat tega seperti itu.
            “Sudah bangun?” tanya sosok itu. Ia merogoh sesuatu dari tas punggung yang dikenakan.
            “Kau... siapa?” Eryn berusaha melihat sosok yang sedang membelakangi dirinya. Eryn cukup terganggu dengan suasana tempat asing diselimuti kegelapan. Sumber cahaya pun hanya berasal dari dua lubang ventilasi yang berada di kiri dan kanan ruangan itu.
            “Kau tak ingat dengan pemilik suara ini? Tapi tunggulah sebentar. Mungkin ketika aku membalikkan wajah, bisa membantu sedikit ingatanmu.”
            Eryn diam saja. Menunggu sosok itu membalikkan badan. Berada di tempat yang sama sekali diketahui ditambah kedua tangan dan kaki terikat tali tambang, membuat ketakutan Eryn bertambah lima kali lipat ketimbang dia diintai sosok itu.
            Ketika Eryn masih berkonsentrasi dengan ketakutan di pikiran, sosok itu sudah membalikkan badan.
            “Sekarang... kau sudah bisa mengenalku?” tanya sosok itu sambil menghampiri Eryn, berdiri di hadapannya.
            Bola mata Eryn seakan tak bisa berkedip. Apa yang ada di hadapannya saat ini, memaksa ia terus terbelalak. Mulut menganga. Entah itu ekspresi terkesima atau munculnya ketakutan lebih besar, hanya Eryn yang merasakan.
            “Kalau melihat eksperesimu yang seperti ini, rasanya kau sudah mengenaliku, bukan?” Sosok itu kini berjongkok sambil memandangi wajah pucat Eryn.
            “Ka-kau mau apa?” tanya Eryn, terbata.
            “Eh tidakkah kau menanyakan bagaimana kabarku terlebih dahulu, Eryn? Atau kita bisa bercerita panjang lebar tentang kenangan semasa SMA dulu.” Eryn bisa merasakan sisa napas yang dikeluarkan sosok misterius itu, membuat rambut-rambut halus di tangan, berdiri tegak.
            “Aku tahu. Kau pasti takut karena melihat pisau di tanganku ‘kan? Tenang, tenang. Lihat, aku akan meletakkan pisau ini jauh darimu,” ucap sosok itu sambil meletakkan pisau yang dipegang tidak jauh dari posisi Eryn disekap.
            Sekarang sosok itu berubah posisi duduk. Yang tadinya jongkok jadi sedikit merangkak. Wajah Eryn dan sosok itu hanya berjarak satu sentimeter.
            Entah ada energi lain atau kecantikan wajah Eryn, sosok itu mendekatkan bibirnya ke bibir Eryn. Sosok itu lahap mengecup bibir Eryn sambil memainkan lidah begitu lihai. Beradu licin dan menggulung satu sama lain. Merasakan kenikmatan tersendiri bercumbu dengan sosok misterius yang Eryn ketahui identitasnya. Eryn pasrah saja menerima permainan ini. Lagipula, dirinya juga mulai hanyut dengan ciuman menggairahkan itu.
            Sementara asyik beradu kenikmatan, pelan-pelan tangan sosok itu menarik pisau berpenampang lebar yang tak jauh darinya.
            Eryn tak tahu ketika ia masih dibuai nikmatnya ciuman dari sosok itu, mata pisau itu sudah bersiap membidik tubuhnya.
            Eryn mendelik menahan kesakitan di bagian perut. Nyeri tak tertahankan menyarang di sana. Sosok itu mulai mengendurkan pagutan bibir hingga ada noda darah menempel di sudut bibir.
            Sementara itu, Eryn tergeletak tak berdaya dengan luka tusuk menganga. Tak puas menusuk di bagian perut, sosok itu menancapkan pisau vertikal ke bagian bawah dagu.
            “Kau memang cantik, Eryn. Sampai-sampai aku bisa terpikat karena kecantikanmu. Tapi sayangnya, kamu harus berakhir di sini, hahaha,” tandas sosok itu sambil tertawa puas, melepaskan pisau yang masih menancap di bawah dagu Eryn.

            Malaikat maut sudah mengantar nyawa Eryn ke akhirat. Sambil menatap dingin dan penuh benci, sosok itu mengambil benda yang tersimpan di dalam kantong celana. Sebuah saputangan. Ia mengelap pisau sampai tak ada darah bekas pembantaian yang selesai dilakukan tadi.  

No comments:

Post a Comment