Monday, 8 May 2017

Sang Novelis - 18



Sabotase
            19 Maret 2016
            Ervano menggeleng tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Gedung yang menjadi tempat mencurahkan ilmu kepenulisan kepada anak-anak sekolah dan mahasiswa luluh lantak bak disapu angin topan.
            Kerusakan bukan hanya terjadi pada gembok pagar tapi kaca dan CCTV yang terpasang juga ikut dirusak. Tirai alumunium yang menutupi ruang administrasi sekaligus jalan masuk para anak les, juga tak luput dari pembobolan. Serpihan kaca berserakan di lantai. Berkas-berkas penting yang berada dalam laci administrasi dan ruang rapat, berhambur di lantai keramik. Ervano tak henti-hentinya mengutuk tindakan pengrusakan sekaligus pembobolan yang kelewat batas ini.
            Oh Tuhan-ku, Tuhan-ku, bagaimana ini bisa terjadi? tanya Ervano dalam hati. Sementara itu, beberapa polisi sedang melakukan penyisiran dan investigasi pada orang-orang terkait atau berkemungkinan menyaksikan pengrusakan itu. Termasuk Ervano sendiri.
***
            Menenangkan diri di depan teras rumah sudah menjadi kebiasaan lelaki itu. Ditemani secangkir kopi susu dan musik pop lawas, menjadikan suasana rumah setenang surga. Ervano menggoyangkan kepala, mengikuti suara dan melodi musik sang penyanyi. Namun gangguan kecil menginterupsi kesenangan Ervano. Muka sedikit berkerut sambil berdecak kesal ketika suara handphone berbunyi begitu kencang. Ervano memberhentikan lagu yang sedang diputar lalu mengangkat panggilan masuk.
            “Halo, ya ada apa Tanto?”
            “Halo Pak Ervano, gedung les kita mengalami kerusakan—“ Belum sempat kawan Ervano melanjutkan perkataan, Ervano mematikan handphone, tergesa-gesa berlari menuju kamar tidur. Mengganti baju dan mengambil kunci mobil yang tergantung di atas dinding kamar.
***
            Ervano memilih memakirkan mobil di kerumanan orang yang memadati gedung les. Menggunakan kedua tangannya, ia mencoba membelah kepadatan untuk mengetahui detil kerusakan yang terjadi.
            Ketika sudah berada di barisan paling depan, Ervano melihat Tanto, yang menelepon tadi lewat handphone, sedang berdiri mengamati beberapa polisi yang sedang sibuk menyisiri TKP. Lelaki berambut setengah botak itu berada di belakang garis polisi.
            “Tanto... sejak kapan kamu sampai di sini? Dan siapa pertama kali menelepon pihak kepolisian?” tanya Ervano tergesa-gesa sambil mengatur deru napas agar tak terlalu buru-buru.
            “Saya sampai di sini jam delapan setelah Miarnia, Pak Ervan.”
            “Jadi Miar yang menelepon polisi?”
            “Bukan dia tapi saya yang menelepon polisi.”
            “Jadi berdasarkan pemeriksaan sementara kepolisian, apa saja benda atau fasilitas yang mengalami kerusakan parah?”
            “Gembok yang merantai pintu pagar mengalami kebobolan. Lagi, CCTV yang terpasang di luar gedung juga mengalami kerusakan.”
            “Ada yang lain?” tanya Ervano lagi.
            “Kaca-kaca berpecahan dan kertas serta berkas-berkas penting berceceran di lantai.”
            “Benda yang hilang?”
            “Saya belum tahu, Pak Ervan. Mungkin kita bisa mengetahuinya setelah kepolisian selesai menyisir TKP,” pungkas Tanto.
***
            Keadaan gedung Amazing Children Course di atas jam dua belas malam memang sunyi senyap. Bebunyian kecil seperti suara jangkrik dan burung hantu makin menambah kesan seram di sana. Sesuatu tak kasat mata tak asing lagi menampakkan diri dalam bentuk bayangan atau kilatan cahaya. Mungkin kesialan yang benar-benar tak terduga bagi orang yang melihat penampakan itu. Namun, seorang lelaki berperawakan tinggi tegap, memakai jaket hitam dan sarung tangan, memberanikan diri melewati dua pepohonan besar yang dihuni makhluk halus. Peduli setan. Ia harus menjalankan misi oleh seseorang yang membayar dengan harga lumayan tinggi.
            Dengan berbekal linggis, tongkat baseball, revolver, dan perkakas pembongkar kunci, lelaki itu siap beraksi. Tiba dirinya di kawasan luar Amazing Course. Sebelum membobol gembok, dia sudah menyadari kalau ada CCTV yang bisa saja merekam segala aktivitas yang dilakukan di kawasan luar gedung les. Lelaki itu merogoh tas sandang yang berada di bahu kiri. Ia memegang sebuah revolver di tangan kanan sambil membidik ke arah CCTV. Peluru mengenai tepat di bagian kaca CCTV. Ia langsung bergegas menuju pagar.
            Ia mengambil sebuah kawat tipis kemudian dibengkokkan sedikit di ujung. Lelaki itu memasukkan bengkokan kawat ke dalam gembok lalu diputar sangat hati-hati. Terdengar bunyi ‘klek’ tanda gembok terbuka. Usai terbuka, lelaki itu mendorong pagar seukuran badan agar leluasa masuk. Jalan masuk gedung masih dihalangi sebuah tirai alumunium. Ada saja halangan yang mengganggu. Lagi, ia mengambil linggis dalam tas. Begitu linggis sudah di tangan, pelan-pelan lelaki itu mengungkit bagian bawah alumunium. Butuh banyak waktu apalagi membuka pengunci.
            Peluh sudah mengucur pelan dari kening. Ia mengusap pelan. Ada satu CCTV lagi bertengger di sudut ruangan. Namun sialnya CCTV itu sudah merekam bagaimana penampilan dirinya secara cepat. Saat pistol sudah di tangan, ia langsung mengarahkan moncong pistol ke bagian kaca. Kini tidak ada lagi yang akan mengganggu aksinya. Ia langsung mengacak-acak, merusak apa saja yang terlihat mata.
            Kaca yang berada di lantai dua sampai empat tak luput dari pengrusakan. Dan tiba di lantai teratas, lantai lima. Sesuai yang dikatakan via telepon, yang sempat terlupakan kalau di lantai lima ada satu CCTV lagi yang bisa menghalangi aksinya. Dan sayangnya sang penelepon tidak mengetahui di mana letak CCTV itu. Terpaksa lelaki itu harus menyiagakan mata dan perhatian mencari letak CCTV itu.
            Sebelum sampai di lantai lima, di anak tangga kedelepan, dia sudah melihat CCTV  yang dimaksud sang penelepon.
            Itu dia, kata lelaki itu.
            Sambil mengukur ketepatan posisi antara muncung pistol, lelaki itu menunduk sedikit, bersiap-siap menekan pelatuk pistol.
            Kaca CCTV berhamburan di lantai. Misi ini hampir selesai begitu ia melakukan hal yang sama seperti di lantai satu dan lantai empat.
***
            Derap langkah sepatu pantofel mengetuk pelan. Tersirat jejak penuh kebrutalan usai menyelesaikan misi penghancuran. Sambil melihat kiri kanan, memastikan tak ada satu saksi mata menyaksikan perbuatannya. Atau sedang memergoki dirinya. Dengan revolver di tangan kanan, lelaki itu merogoh handphone yang barusan berbunyi.
            “Misi sudah selesai?”
            “Semua sudah saya melakukan apa yang Anda katakan.”
            “Kalau begitu cepat pergi dari sana. Uang akan saya transfer ke rekening tapi kamu masih punya dua misi lagi yang lumayan sulit. Bersiaplah.”   

No comments:

Post a Comment