Tuesday, 23 May 2017

Sang Novelis - 21



Unpredictable
            24 Maret 2016
            Liane masih sibuk menghitung perincian harga cetak buku. Penerbit indie yang bekerja sama dengan percetakan Lifay Media memang tidak memasang paket penerbitan. Biasanya setelah penulis mengirimkan naskah, pihak percetakan akan menghitung jumlah halaman naskah yang terkirim. Kemarin, Liane dan seluruh jajaran percetakan mengadakan rapat untuk menentukan harga edit naskah per halaman, desain cover, layout, dan ilustrasi naskah.
            Akhirnya wanita berambut panjang itu meletakkan pena di atas meja sambil menghela napas. Tapi ia tidak sendiri melakukan dalam penghitungan. Ada dua orang laki-laki dan satu orang perempuan duduk di seberang meja persegi panjang itu.
            Liane langsung meraih telepon genggam yang berada di saku celana. Mengetik nomor telepon penerbit yang bekerjasama memakai jasa pencetakan buku miliknya.
            “Halo bisa bicara dengan direktur  penerbit Tinta Aksara? Ini saya Liane Fayani dari percetakan Lifay Media.”
            “Oh ini Ibu Fayani? Ini saya sendiri. Apakah Ibu sudah menentukan perincian biaya cetak naskah yang sudah saya kirimkan lima hari yang lalu?”
            “Kami sudah melakukan rapat dengan seluruh jajaran divisi percetakan. Kami sudah menghitung biaya edit naskah sampai ongkos pengepakan. Total keseluruhan senilai delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Itu juga sudah termasuk dua eksemplar buku sebagai bukti terbit. Bisa kamu sampaikan biaya pencetakan ini kepada penulis bersangkutan?”
            “Bisa, Bu. Saya akan sampaikan ini kepada penulis bersangkutan. Ada hal lain yang bisa saya sampaikan?”
            “Sejauh ini tidak ada. Kamu sudah memberikan alamat transfer-nya kan?”
            “Sudah saya berikan,” jawab direktur Tinta Aksara, lugas.
            “Baiklah kalau begitu. Saya akhiri pembicaraan ini sampai di sini,” tutup Liane pertama kali.
            Liane kembali meletakkan telepon genggam di atas meja. “Baiklah semuanya. Kalian sudah bisa keluar dari kantor saya. Sekali lagi, terimakasih atas kerjasamanya.” Begitu perintah sudah diucapkan Fayani, ketiga anggota Fayani langsung keluar, mengambil tugas masing-masing.
            Jika ingin menerbitkan buku di penerbit indie, memang harus mempersiapkan dana yang tak sedikit. Dana itu meliputi biaya full editing, layout, cover sampai ongkos kirim. Ada juga penerbit indie memasang paket penerbitan dengan biaya murah. Terkadang ada beberapa penulis pemula tidak selektif dalam memilih penerbit indie. Tergiur dengan paket penerbitan murah yang ditawarkan pihak penerbit. Tanpa mempedulikan kualitas cetakan buku.
            Tapi tidak semua penerbit indie seperti itu. Ada beberapa penerbit indie yang menawarkan kerjasama yang baik dengan penulis naskah. Naskah para penulis ditangani para profesional yang sudah berpengalaman di bidang pencetakan buku. Mereka bisa diajak berkonsultasi mengenai biaya yang akan dikeluarkan penulis ketika ingin menerbitkan naskah. 
            Ada faktor yang mempengaruhi mengapa penerbit indie dijadikan solusi alternatif bagi para penulis dalam menerbitkan buku.
***
            Dunia buku selalu bergerak dinamis. Kita bisa lihat begitu banyak judul buku yang memenuhi ruang pajang. Buku-buku yang terpampang di toko buku selalu bersaing, mendapatkan kategori best seller di ruang pajang. Minimal, jumlah buku yang dicetak dan dipasarkan suatu penerbit ke toko-toko buku, harus habis sesuai dengan target penjualan dalam selang waktu tertentu.  Umumnya, selera konsumen dalam membeli buku selalu berbeda. Dan berbeda pula jenis buku yang dibeli sesuai dengan kebutuhan konsumen. Untuk itulah, para penerbit mayor harus selektif memilih naskah yang harus diterbit guna mendapat untung dari hasil omset penjualan buku. Dengan syarat mempertimbangkan kualitas naskah terkhusus naskah fiksi.
               Naskah fiksi bukan hanya persoalan menghibur atau tidak, naskah fiksi harus menghadirkan sesuatu yang unik, bisa memperkaya informasi dan wawasan para pembaca serta berdaya saing. Tentu dalam hal ini penerbit mayor akan melakukan banyak pertimbangan menerima naskah yang dikirim para penulis. Sangking begitu banyaknya naskah yang diterima pihak penerbit mayor lewat surel atau pos, biasanya waktu penyeleksian naskah akan memakan waktu lama. Paling cepat dua bulan dan paling lama enam bulan bahkan lebih. Tapi ada juga yang tak kunjung diberi pemberitahuan apakah naskah para penulis layak diterbitkan atau tidak.
             Di sinilah penerbit indie menjadi solusi alternatif dalam menerbitkan buku. Penerbit indie hampir menerima semua jenis naskah. Fiksi atau non-fiksi. Tapi dengan persyaratan tidak menimbulkan konflik SARA dan melanggar hak cipta atau plagiat. Penerbit indie cepat dalam menangani naskah. Itu karena penerbit indie menggunakan sistem Print On Demand dalam menerbitkan naskah. Lama pengerjaan suatu naskah berkisar dua minggu atau satu bulan. Tergantung antrian naskah yang masuk.
            Penerbit indie juga tidak tergantung dengan selera pasar. Penulis dapat menerbitkan jenis naskah sesuai dengan keinginan. Begitu pun, para penulis juga harus bekerja keras mempromosikan buku mereka agar dikenal masyarakat. Memang penerbit juga melakukan promosi via online tapi penulis harus mau mempublikasikan buku, menarik minat pembeli di dunia nyata.
***
            Para pegawai percetakan Lifay Media sudah menghambur keluar, mengambil jalan pula masing-masing. Tapi Fayani masih berbicara dengan dua orang karyawan yang berjalan bersampingan dengannya.
            “Ada masalah ketika menyunting naskah tadi, Pak Edi?”
            “Sejauh ini tidak terlalu banyak masalah. Saya rasa penulis sudah melakukan swasunting  berkali-kali sebelum dikirim. Sehingga, naskah minim kesalahan. Kalau ada, yang saya lihat hanya kesalahan penulisan huruf di beberapa kata saja. Tidak berpengaruh secara keseluruhan,” terang Pak Edi.
            “Bagaimana dengan Ibu Rani? Tidak ada masalah dengan typesetting?” tanya Fayani sambil memalingkan kepala pada seorang perempuan di sampingnya.
            Typesetting lancar, Ibu Fayani. Mungkin kita tinggal menunggu di bagian layout dan platemaking,” ujar Ibu Rani.
            “Kalau prosesnya berjalan lancar seperti ini, saya yakin dalam waktu dua minggu kita bisa menyelesaikan naskah itu.” Fayani sudah sampai di depan pintu mobilnya. Sedangkan Pak Edi dan Ibu Rani berboncengan menaiki sepeda motor Jupiter.
            Tirai aluminium ditambah dengan rantai bergembok menutup akses percetakan. Suasana hening di sana. Suara deru mesin sepeda motor diikuti sosok berperawakan tinggi besar. Berhenti tepat di pagar depan setelah satu jam kepulangan para pegawai percetakan Lifay Media.
            Pengendara sepeda motor turun dengan menenteng dua jerigen bensin. Tapi terlebih dahulu ia harus membobol gembok pagar. Sosok itu sudah menyiapkan seutas kawat tipis. Bergulat dengan kerumitan pembobolan, dalam waktu lima menit gembok sudah tak terkunci lagi. Dengan langkah santai, kedua tangan sosok itu masih menggenggam erat jerigen.
            “Percetakan yang megah.” Sosok itu berada di pintu depan. Begitu penutup jerigen terbuka, ia langsung mencurahkan bensin di pintu masuk depan yang masih dihalangi tirai alumunium. Bukan hanya di situ saja. Dia beralih ke bagian samping kiri dan kanan gedung percetakan. Sekarang kobaran api mulai menjilat gedung percetakan. Kini langkah kakinya sudah begitu ringan membawa dua jerigen kosong.
            Ketika hendak sampai di depan motor, sosok itu dikejutkan suara terikan dari kejauhan.
            “Kebakaran! Kebakaran!” Sementara itu dua laki-laki sedang berlari ke arahnya. Sosok itu langsung sigap memutar kunci, menekan electric stater. Sepeda motor itu berderum keras meninggalkan area percetakan. Di lain sisi, kerumunan orang berbondong-bondong menuju tempat kejadian setelah mendengar suara teriakan adanya kebakaran.
***
            Merasa sudah jauh dari para pengejar, sosok itu memberhentikan sepeda motor berhenti di depan pekarangan kedai kopi yang sudah tutup. Dia menumpang duduk sebentar sambil mengatur embus napas agak tersengal karena aksi pembakaran sempat diketahui orang.
            Tak berapa lama berada di sana, sesuatu berbunyi dan bergetar di dalam saku celana.
            “Keparat! Halo,” maki sosok itu di depan telepon sambil menjawab panggilan masuk.
            “Bagaimana? Semua sudah beres?”
            Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Sosok itu memilih bungkam sejenak sambil menyiapkan jawaban yang tepat.
            “Saya sudah melakukan apa yang Anda perintahkan tapi sepertinya ada beberapa orang sempat mengejar saya...” aku sosok itu.
            “Apa?! Jadi bagaimana keadaanmu sekarang?! Mereka sudah menangkapmu?!” suara si penelepon cukup panik dengan apa yang disampaikan sosok itu.
            “Untungnya saya berhasil meloloskan diri dari kejaran mereka.”
            “Ini tidak bisa dibiarkan! Untuk sementara kamu bersembunyi di kediaman saya sampai keadaan kembali aman! Paham?!” senggak sang penelepon.
            “Saya mengerti.” Percakapan berakhir ketika sambungan telepon diputus dari pihak penelepon. Dan ia akan pergi ke tempat yang sudah diperintahkan.

No comments:

Post a Comment