Penderitaan
yang Sama
Alvaro dengan mobil Camry-nya sudah berada di depan
pagar rumah Aretha. Lima belas menit lamanya agar perempuan berkulit putih itu
keluar dari sana. Alvaro sudah menghabiskan tiga batang Surya untuk membunuh
kebosanan.
Lama sekali perempuan satu ini, ketus
batin Alvaro sambil mengembuskan asap rokok ke atas awang-awang.
Saat
rokok itu mulai berpijar di ujung busa filter, lelaki berambut cepak ala
tentara itu tak bisa mengedipkan kelopak mata selama lima detik. Entah berapa kalinya,
matanya selalu dimanjakan dengan lihainya cara berpakaian Aretha. Untuk setelan
atas, perempuan itu mengenakan kaus hitam berbahan katun. Bahan kaus itu cukup
tipis dan agak menerawang hingga Alvaro bisa mengintip sedikit warna dan motif
bra yang dipakai Aretha. Untuk setelan bawah, perempuan itu memakai celana
jinsyang ketatnya hampir menceplak bentuk paha sampai mata kaki. Kedua kaki mulusnya ditopang dengan flat shoes berwarna biru gelap.
“Jangan
nampakkan wajah mesummu itu padaku, Alvaro. Bukannya kita harus cepat-cepat
pergi?” Aretha menepuk pelan pipi rekannya hingga lelaki itu tersentak kaget.
“Oh
i-iya. Lagipula kau yang membuat aku harus menunggu lama.” Alvaro menjatuhkan
puntung rokoknya ke bawah lalu membuka pintu bagian depan di sebelah kirinya.
Aretha memasukkan dirinya ke dalam kemudian disusul dengan Alvaro. Begitu
keduanya sudah berada dalam posisi siap pergi, lelaki berambut cepak itu
melesatkan mobil menjauhi kediaman Aretha.
“Mana
anggotanya si Rudi? Apa dia tidak ikut bersama dengan kita?” Lima menit lebih
mobil itu melenggang di jalan raya, Aretha membuka tas sandang tergantung di
pundak kiri. Ia merogoh sebuah sarung tangan kain berwarna hitam kemudian
dikenakan di kedua tangan.
“Apa
kau lupa, dia sudah berada di kediaman Dedy Rahmad Yadi satu jam yang lalu
untuk memata-matai apakah benar target akan pergi berlibur dengan keluarganya.
Lagipula kau terlalu cepat menggunakan sarung tangan itu, Aretha,” ujar Alvaro
sambil mengontrol setir dan jalan raya di hadapannya.
“Tidak
apa-apa, Alvaro. Untuk jaga-jaga saja.” Aretha menutup tas sandangnya lalu
menyilangkan kedua tangannya ke bagian ketiak seperti orang sedang kedinginan.
“Lagi
demam ya?”
“Iya,
Al. Rada masuk angin gitu. Kayaknya gua kebanyakan begadang,” jawab Aretha jujur.
“Kok
bisa begitu?” tanya Alvaro balik.
“Hampir
dua minggu belakangan ini, gua mimpi kalau kita berdua bakalan mati. Gua lihat di
mimpi gue kalau elu duluan bakal dihabisi sama seseorang yang gua sendiri
enggak kenal. Dia seperti orang asing. Bukan anggota Killer Order atau HOVTA. Enggak
hanya sekali. Ini sudah hampir ketiga kalinya. Mimpi ini bikin gua selalu
terjaga. Apa ini pertanda buruk untuk kita?” Kedua tangan Aretha pindah ke
bagian paha. Tatap mata Aretha menyiratkan kekhawatiran.
“Kau
terlalu berlebihan. Mimpi itu hanya bunga mimpi. Aku yakin ada sesuatu yang
mengganjal pikiranmu ‘kan? Ayo, ceritakan saja.”
“Apa
mungkin kalau Anggara dan Fiolina akan mengkhianati dan membunuh kita?” tambah Aretha.
“Kamu
ini kenapa sih?! Kenapa kamu malah mencurigai dua orang itu? Bukankah kita
berdua sudah sepakat bekerjasama dengan mereka? Lagipula kamu ‘kan yang pertama
kali membuka kesempatan bernegoisasi dengan mereka. Sebenarnya apa yang
mengganggu pikiran kamu, Aretha?” Emosi Alvaro terpancing keluar gara-gara
sikap rekannya hari ini mendadak aneh. Dalam batin Alvaro, tidak pernah
rekannya menunjukkan sikap cengeng dan khawatir seperti anak mami manja.
“Apa
yang sebenarnya kau pikirkan, Aretha Lili Meiliani? Tidak ada salahnya kau
bercerita tentang apa yang kau rasakan.” kalau tadi lelaki berkulit kuning
dikuasai amarah sesaat, kini ia menurunkan tekanan nada bicaranya menjadi lebih
lembut untuk membujuk Aretha agar ia mau bicara.
Gadis
berwajah oval itu memilih diam saja. Ia memalingkan matanya ke arah luar kaca.
Dirinya tidak menjawab apa yang ditanyakan rekannya. Alvaro mendengus kesal
seraya memukul bulatan setir. Kini ia bersikap masa bodoh dengan apa yang
dirasakan oleh rekannya. Ia mengalihkan konsentrasi pada setir dan jalan raya
di hadapannya.
Sebenarnya
ia tidak tahan berlama-lama memalingkan diri dari hadapan Alvaro. Aretha
berusaha curi-curi pandang, melirik lelaki yang berada di sampingnya. Ketika
Alvaro hendak memutar lehernya, Aretha kembali bertingkah seolah ia masih marah
dan tidak peduli. Lelaki itu pun
sepertinya tidak mau ambil pusing dengan apa yang rekannya lakukan. Ia tetap
fokus. Lagi, Aretha menggerakkan sedikit lehernya. Ia kembali memandang Alvaro.
Kedua katup bibirnya terbuka sedikit. Seperti akan menyampaikan sesuatu.
Lagu
metalcore Asking Alexandria yang
menjadi nada dering handphone Aretha,
sukses mengagetkan kedua insan manusia itu. Sontak Alvaro memandang heran
bercampur kesal pada rekannya.
“Dari
siapa?”
“Santo
Aruru.”
“Cepat
angkat.” Aretha menekan tombol hijau menjawab panggilan masuk dari Santo,
“halo.”
“Halo,
ini Aretha? Apakah kalian berdua sedang di jalan?”
“Ya
kami sedang menuju perjalanan menuju rumah target. Apa mereka sudah mau berangkat?”
“Aku
cuma mau bilang segera ambil jalan tol. Kudengar keluarga Pak Dedy Rahmad Yadi
akan berlibur ke pantai Pangandaran. Untung saja laju mobil mereka tidak
terlalu cepat. Aku bisa mengikuti mereka dari belakang,” lapor lelaki berambut
kriting itu lewat sambungan telepon.
“Baiklah
kalau begitu. Tetap awasi mereka. Tetap jaga jarak. Awas, jangan sampai mereka
tahu.” Begitu mendapat jawaban dari rekannya, Aretha menekan tombol merah lalu
menyimpan handphone dalam saku celana sebelah kiri.
“Kita
lewat dari tol Jagorawi saja.” Alvaro langsung ambil keputusan seraya membelokkan
kemudi ke kiri. Dua ratus meter di depan terdapat rambu “Anda Memasuki Kawasan
Tol. Batas Kecepatan 100 km/jam.” Lelaki berkulit cokelat itu menarik
persneling ke depan lalu dioper ke belakang. Jarum spedometer bergerak otomatis
tapi pasti. Spedometer menunjukkan angka 83 km/jam.
Meski
sudah ada sabuk pengamat melintang di bagian dada, tetap saja Aretha tidak bisa
mengabaikan rasa deg-degannya. Kecepatan mobil sudah memasuki angka 89 km/jam.
Jemari Aretha tetap erat memegang sabuk.
“Al,
tidak bisa kembali kecepatan normal?” tanya perempuan berkulit putih halus itu.
“Jangan
sampai kita ketinggalan target. Itu misi kita,” respon Alvaro.
Memasuki
kawasan pemukiman penduduk kota, Alvaro mulai menurunkan kecepatan lalu memutar
setir menuju kawasan kota kecil. Di kota ini, terdapat gedung-gedung tinggi
namun tidak semegah gedung yang berada di kota yang mereka lewati sebelum
memasuki jalan tol. Di kota ini gedung
tinggi didominasi apartemen dan rumh susun.
“Coba
kau tanya sama Santo, apa nomor plat mobil target kita?” Jemari perempuan
cantik itu menekan monitor, merangkai huruf-huruf untuk pesan yang disampaikan
pada Santo.
T 55 DRY.
Aretha
membuka aplikasi Google Maps di handphone-nya
lanjut mengetik tempat tujuan mereka. Aplikasi menunjukkan kalau mereka akan
menghabisi waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai ke pantai Pangandaran. Setelah
diamati baik-baik, mereka akan tiba di kawasan desa kecil yang sebagian besar
penduduknya bercocok tanam bunga melati dan daun teh. Akses jalan masih
menggunakan pecahan batu padas untuk menutupi lubang-lubang besar di jalan.
“Coba
Aretha, kamu cari-cari nomor plat mobil yang ada di sebelah kananmu. Sementara
aku mencari di sebelah kiri.” Bukannya melaksanakan apa yang dikatakan
patnernya, Aretha malah sibuk memainkan Mobile Legends.
“Hei,
dengar kalau orang lagi ngomong!” Alvaro menepuk agak kencang pundak Aretha. Ia
hampir membuat handphone Arethaterjatuh.
“Iyahh!,”
ketus Aretha sambil tangan kanannya menggenggam kuat handphone itu lalu menghentikan aplikasi yang sedang ia mainkan. Ia
konsentrasi dengan tugas yang diberikan Alvaro. Tidak banyak kendaraan bermotor
lalu lalang di sekitar kawasan perkebunan melati. Lebih didominasi suara sepeda
motor memadati jalan penuh kerikil tajam.Suara dari pecahan batu yang digilas
ban mobil pribadi dan truk diesel menjadi kekhasan tersendiri apabila melewati
jalanan seperti ini.
Tak
menemukan nomor plat yang dimaksud, Aretha kembali membuka Mobile Legends. Ia
kembali ke arena setelah tadi AFK
gara-gara Alvaro. Ketika ia menunggu loading, bola matanya menangkap sesuatu
yang tengah mereka cari dari jarak pandang 220 meter.
“Al,
bukannya yang di depan sana itu motornya si Santo ya?”
“Benar,
dan juga di depan kita ada mobil Dedy Rahmad Yadi. Walaupun sudah ketemu, kita
harus tetap jaga jarak. Biarkan Santo di depan. “ Alvaro tetap menjaga
kecepatan dan jarak antara mobil sang target dengan mobilnya. Jangan sampai
terlalu dekat dan jangan sampai mendahului terlalu cepat.
Sebenarnya
Alvaro sendiri pun ingin sekali mengeksekusi target mereka tetapi jalan mereka
masih berupa lubang-lubang berukuran sedang dan kerikil tajam . Ia sudah tidak
sabar ingin menghabisi target mereka sekaligus membalas dendam dengan apa yang
dia perbuat kepada mereka bertiga melalui dua pengawalnya.
Tinggal
tersisa 1,2 kilometer lagi menuju jalan aspal. Lelaki berambut cepak itu masih
tenang mengendalikan setir. Ia berusaha sebisa mungkin menghindari
lubang-lubang yang menghiasi jalan menuju Pantai Pangandaran. Senyum Alvaro
pelan-pelan sumringah ketika ia melihat aspal mulus terbentang di depan
matanya.
“Aretha,
bilang pada Santo supaya dia agak menjauh dari mobil Dedy Rahmad Yadi. Suruh
dia putar haluan, berpapasan dengan mobil target. Tembak mobil itu di bagian
ban.” Tangan Aretha bergerak cepat memindahkan apa yang diinstruksikan Alvaro
ke dalam bentuk teks.
Sesudah
pesan itu terkirim, Alvaro langsung menaikkan sedikit kecepatan mobil supaya ia
bisa sedikit lebih dekat dengan target.
Sementara
di dalam mobil, calon gubernur Jawa Barat, Dedy Rahmad Yadi dan keluarganya
sudah dilanda kepanikan. Terlebih lagi dua orang anak perempuan yang masih
duduk di bangku SMP dan SMA. Kedua anak perempuan itu tak henti meneteskan air
mata sambil berdoa memohon keselamatan dari Tuhan.
Istri
Dedy Rahmad Yahdi, Nurhalijah Rahmad Yahdi mencoba menenangkan kedua anak
perempuan mereka akan tetapi suara tangis bercampur sendu terus bergema di telinga
keduanya. Lelaki berusia lebih setengah abad itu menaikkan kecepatan. Jarum
spedometer bergerak dari angka 61km/jam menjadi 75 km/jam.
Ketika
mobil Dedy Rahmad Yadi sedang melaju kencang, seorang pengendara motor NINJA DOUBLE R, juga melesat kencang
berpapasan dengannya. Dedy Rahmad Yadi menduga kalau si pengandara motor ingin
melakukan sesuatu yang tidak beres. Dari luar mobil terdengar suara ban mobil
meletus. Fortuner yang dikendarai Dedy Rahmad Yadi, mendadak bergoyang ke kiri
dan kanan. Lelaki tua itu mulai hilang keseimbangan mengendalikan setir.
Dikarenakan ia dalam posisi kencang.
Saat
lelaki tua itu menekan pedal rem, kepala mobil bergerak liar. Ban mobil mulai
berdecit kuat, memekakkan telinga. Istri dan dua anak Dedy Rahmad Yadi otomatis
menutup telinga mereka. Jerit tangis dari kedua putri lelaki itu menyatu dengan
kekacauan yang mulai mendominasi jalanan yang masih terlihat lengang tanpa
pengendara kendaraan yang lain.
Keduanya
tidak memberikan kelonggaran pada keluarga Deddy. Alvaro mengarahkan setir
menyerempet bagian luar mobil target. Ban depan
mobil hampir terangkat dan sekali
lagi Alvaro menubrukkan mobilnya hingga mobil itu benar-benar jungkir balik.
“AYAHHH!”
teriak salah seorang putri Deddy Rahmad Yahdi. Mobil yang dikendarai Deddy
berguling-guling. Bagian luar mobil terseret aspal sampai akhirnya menabrak
besi pembatas jalan.
Alvaro,
Aretha dan Santo berhenti tepat di depan besi pembatas jalan yang ditabrak
mobil Deddy. Mereka bertiga menghampiri mobil ringsek itu sembari memastikan
apakah keluarga Deddy Rahmad Yahdi sudah benar-benar mati. Darah mengalir deras
dari kepala pasangan suami istri itu. Serpihan kaca memenuhi bagian lengan kiri
dan separuh wajah keduanya.
Ketika
ketiganya sudah berada di depan mobil, mereka mengintip dari kaca tebal yang
menutupi bagian dalam mobil. Alvaro dan Santo mengklaim bahwa Deddy Rahmad Yadi
dan istri sudah meninggal dunia. Akan tetapi saat Aretha menengok kondisi kedua
putri Deddy Rahmad Yahdi, daun telinganya mendengar suara isak tangis pelan
dari jok belakang. Gadis malang itu dalam kondisi lemah tak berdaya. Luka lecet
hampir menghiasi bagian tangan.Kaus kasual yang dikenakan gadis itu sudah bau
gosong. Lelehan darah dari kening hampir memenuhi raut wajah lugunya,
“Ke-ke-kenapa
ka-kalian...,” dalam kondisi setengah sadar, berbicara terbata-bata, putri
Deddy yang masih selamat bicara kepada Aretha.
“Ah
ternyata masih ada yang selamat ya?” Santo langsung mendatangi Aretha ketika ia
juga mendengar suara perempuan dari dalam mobil.
“A-a-apa
sa-salah ka-kami?” Ia berusaha menuntut jawaban dari kedua pembunuh yang berada
di depannya.
“Hehe
salah kalian ya?” Santo menyunggingkan senyum bengis lalu disambungnya lagi,
“siapa suruh kalian menjadi target kami.” Santo mengepalkan tangan lalu meninju
kaca mobil. Kaca mobil pecah berkeping-keping terkena tinjuan Santo.
“Bunuh
dia, Aretha,” ujar Santo sambil menatap Aretha dingin.
“Bu-bunuh
dia?” tanya Aretha ragu.
“Iya
kau harus membunuh gadis itu, Aretha. Kalau dia kita biarkan hidup, dia pasti
akan memberatkan langkah kita. Cepat lakukan Aretha sebelum jalanan ramai
kembali,” sambung Alvaro sambil memastikan apakah jalan raya masih sepi.
Bola
mata Aretha melirik ke arah gadis yang dia perkirakan masih duduk di bangku
SMP. Gadis itu terus meratap seraya mengeluarkan isak tangis sendu. Aretha tahu
untuk siapa tetesan air mata gadis itu. Suara tangis gadis itu mengingatkan
dirinya akan kejadian 8 tahun lalu. Kekelaman masa lalu karena kehilangan
keluarga turut dirasakan batin Aretha. Kekelaman yang gadis itu rasakan
menghalangi dirinya membunuh gadis itu.
“Hei..., ada apa?” tanya Santo. Ia menengok ke
arah Aretha. Ia mematung tak melakukan apapun yang disuruh Santo dan Alvaro. Ia
hanya menatap gadis itu dengan perasaan takut dan tertekan.
Khawatir
jalanan kembali ramai, tanpa menunggu lama, Alvaro menarik pistol yang dijepit
di pinggangnya lalu membidik ujung pistol ke arah kepala si gadis malang.
Aretha yang masih tertegun, tak mampu menahan kaget saat ia mendengar letupan
peluru sudah bersarang di kepala gadis itu.
“ALVARO,
APA YANG KAULAKUKAN?!” hardik Aretha.
“Ayo
kita pergi dari sini,” ujar Alvaro sambil menarik tangan rekannya. Santo Aruru
bergerak menuju sepeda motornya yang terparkir di depan mobil yang sudah penyok
dan lecet parah di bagian sampingnya.
“Kelihatannya
bos akan marah besar jika melihat kondisi mobilnya seperti ini.” Santo
menyunggingkan senyum satir pada Alvaro tapi lelaki itu memilih tidak peduli.
Ia tetap fokus apa urusannya, memaksa perempuan itu masuk ke mobil. Awalnya
Aretha memberontak sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Alvaro yang
terlalu erat pada pergelangan tangannya. Begitu Aretha sudah duduk di
bangkunya, Alvaro menutup pintu samping lalu menekan pedal gas kuat.
“Kenapa...
kenapa kamu tega membunuh gadis itu, Alvaro?! Kamu enggak liat kalau dia
menderita, hah?!” Aretha memberondong rekannya dengan pertanyaan-pertanyaan
emosional.
Alvaro
berusaha mengendalikan diri agar tidak terpancing dengan amarah rekannya. Ia
pura-pura tidak mendengarkan Aretha dengan konsentrasi pada setir dan jalan di
hadapannya.
“Kamu
itu bodoh atau pura-pura enggak tahu?!! Target kita itu hanya membunuh Deddy
Rahmad Yahdi bukan membunuh keluarganya apalagi gadis itu! Kamu paham?!”
“DIAM!!!”
bentak Alvaro. Kedua tangannya refleks menggebrak bulatan setir. Ketika konflik
sedang berlangsung, keduanya mendapat klakson panjang berulang kali. Alvaro
sontak membanting setir ke kiri ketika dirinya sadar kalau sedikit lagi
kematian akan menjemput mereka perantara truk diesel.
“Ini
sudah jalan hidup kita, Aretha. Kita tidak bisa tahu si apa orang akan kita
bunuh. Apakah dia dewasa, remaja, anak-anak atau pun bayi tak berdosa. Kita
memperoleh kehidupan dari darah dan nyawa orang-orang yang kita habisi. Kau
tahu, kalau kita membiarkan gadis itu hidup kita akan berada dalam masalah
besar. Bisa-bisa kasus-kasus kita akan diangkat kepolisian ke ranah publik yang
selama ini aman-aman saja. Jangan pernah libatkan perasaan semata pada profesi
kita.” Lelaki berkulit cokelat muda itu mencoba mengatur hela napas yang semula
berat. Juga sambil menurunkan lonjakan emosi yang meningkat secara tiba. Ia
memberikan penjelasan logis mengenai apa yang dia lakukan pada gadis itu.
Tetapi Aretha sendiri enggan mendengarkan penjelasan dari rekannya. Ia lebih
memilih memalingkan wajahnya ke arah kaca penutup mobil.
“Apakah
selama kau menjadi hari-harimu sebagai pembunuh bayaran, kau selalu memberikan
perasaanmu pada orang-orang yang kita bunuh? Atau, inikah sifat aslimu yang
selalu kau coba tutup-tutupi, Aretha? Apakah kini kau baru menyadari kalau
dirimu adalah seorang pembunuh?”
Aretha
membalas dengan kebisuan. Sorot matanya datar menatap kaca film mobil.
Kelihatannya percuma membujuk Aretha untuk bicara. Alvaro memilih menyerah dan
berkonsentrasi penuh pada setir.
Selama
menempuh perjalanan 65 km, bahasa diam dan sunyi menjadi pengisi perjalanan
mereka. Alvaro berencana mengantar Aretha pulang ke rumah guna menenangkan
diri. Untuk laporan misi pembunuhan Deddy Rahmad Yahdi dan pertanggungjawaban
atas kerusakan mobil mereka yang kendarai, akan menjadi tanggungjawabnya
bersama dengan Santo Aruru.
“Pikirkanlah
apa yang sebenarnya dirimu inginkan.” Akhir dari perjalanan dua jam tanpa
bicara sama sekali terhenti di kediaman Aretha. Perempuan itu menarik gagang
pintu ke depan lalu beranjak dari jok mobil. Tanpa mengucapkan salam, Aretha
pergi begitu saja dari hadapan Alvaro.
Perempuan
itu melangkah menuju pintu gerbang. Ia menekan tombol bel yang menempel di
tiang beton pagar. Sekuriti penjaga langsung membuka gembok, mendorong pagar
mempersilahkan sang majikan lewat. Seorang wanita berumur 40 tahun bergegas
menghampiri Aretha.
“Ada
apa, Non?”
“Tolong
siapkan air hangat di bathtub.” suruh
Aretha disusul dengan anggukan kepala dari sang pembantu. Sesudah memberintah
perintah, Aretha lanjut menuju kamarnya.
Aretha
membuka gagang pintu, melangkah lemah menuju ranjang. Ia menjatuhkan punggung
di atas ranjang kemudian tatap matanya menerawang asbes-asbes yang terpasang di
atas kamar tidurnya.
Ke-ke-kenapa ka-kalian...
A-a-apa sa-salah ka-kami?
Perkataan terakhir dari gadis malang yang dibunuh
Alvaro masih menghantui ruang pikiran Aretha. Air matanya terus meleleh dengan
mudah. Seolah penderitaan yang dirasakan putri dari Deddy Rahmad Yahdi turut
dia rasakan. Kesesakan dalam dada semakin menyeruak. Tapi Aretha tidak tau
mesti bagaimana dia menghadapi kesesakan itu dan bagaimana melepaskannya.
Aaaarrrrggh! Jeritan panjang Aretha menggema seisi
kamar tidurnya.
***
Jonas
tersenyum lebar di hadapan tubuh perempuan tanpa tertutupi sehelai benang pun.
Perempuan itu menatap lemah pada lelaki berkacamata itu.
“Mengakulah
atau aku masih bisa berbuat lebih kejam lagi daripada ini.” Tangan Jonas dan pisau lipat yang digenggamnya
terdapat lumuran darah kering.