Monday, 29 October 2018

DUAL - 17


The Tortured Body
            Untaian rantai besi menggantung kedua tangannya ke atas. Bola besi turut membelenggu pergerakan kakinya. Yang bisa dilakukan saat ini hanya diam di tempat dirinya terus menerus menerima siksaan selama tiga hari. Tubuh tanpa sehelai benang itu terpampang vulgar di hadapan Jonas dan lelaki bertongkat besi itu. Ia tak bisa berkata-kata apapun selain membisu. Semua pelecehan dikolaborasikan dengan kekerasan fisik cukup menodai dan menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang perempuan. Namun bukan tanpa alasan dirinya menerima siksaan bertubi-tubi. Ada sesuatu yang tengah dipertahankan untuk tidak sampai keluar begitu saja dari mulutnya.
            “Keras kepala juga kau, wanita binal, sampai-sampai aku bingung apalagi yang mesti kulakukan untuk membuatmu bicara,” ujar Jonas di hadapan Chyntia.
            Chyntia menatap Jonas seperti bersiap-siap menerkam lelaki berkacanata itu. Jonas yang mendapat tatapan  itu malah tertawa senang. Ia mengeraskan suara tawanya hingga kepalanya mendongak ke atas. Keberanian Chyntia yang sempat tumbuh pupus oleh respon Jonas yang terkesan meremahkan dirinya.
            Suara tawa Jonas berangsur-angsur reda. Ia melepaskan kacamata yang bertengger di kedua telinganya kemudian menatap datar perempuan itu. Tak disangka, Jonas merentangkan telapak tangan luar sebelah kanan memberikan tamparan demi tamparan di pipi Chyntia yang terlihat merah kebiru-biruan itu.
            Perempuan itu diam saja menerima semua perlakuan kasar lelaki berkacamata itu. Walaupun bibirnya tak menyuarkan kesakitan, namun air mata meluruh deras. Hatinya meronta-ronta, tak sudi diperlukan bak binatang. Bahkan binatang pun tak pantas menerima perlakukan Jonas.
            “DASAR MANUSIA BIADAB! IBLIS JAHANAM! KEPARAT!!!” Tiga makian penuh amarah bernada kebencian keluar begitu saja dari mulut Chyntia. Meskipun pita suara serak, ia lantang menyuarkan makian kasar nan pedas serta nama-nama hewan pun tak ketinggalan untuk menggambarkan betapa hinanya perbuatan Jonas padanya.
            Jonas perlahan mengurangi intesitas tamparan pada pipi Chyntia. Kedua pipi Chyntia yang awalnya kenyal, mulus dan putih kini memerah, membengkak dan terlihat darah menitikkan sedikit dari daging pipinya. Wajah cantiknya dipermak Jonas menjadi bengap, babak belur bak menghakimi seorang maling ayam. Lelaki itu tetap menatap dingin pada Chyntia sambil merogoh sesuatu pada kantong jinsnya.
            Chyntia melihat lelaki berkacamata itu menarik sebuah pisau tipis dari dalam kantong jins. Lalu, lelaki itu mendekat, mengarahkan mata pisau tajam itu ke wajahnya. Jonas menekan kuat mata pisau sambil menyayat kulit pipi Chyntia pelan-pelan. Pekik perih terlontar dari mulut perempuan malang itu. Tapi penderitaan yang dia rasakan belum selesai. Lelehan darah mengalir deras dari luka sayat pisau Jonas.
            Jonas melanjutkan sayatan berikutnya di pipi sebelah kiri setelah ia menorehkan luka sayat sebanyak empat kali. Setengah dari wajah perempuan itu tertutupi darah. Chyntia tidak bisa menahan penyiksaan yang dirasa. Ingin rasanya ia membuka mulut saja, membeberkan rencana Anggara dan Fiolina. Jonas sudah melakukan empat luka sayat di pipi sebelah kiri. Antara jerit kesakitan dan air mata penderitaan menjadi simponi indah menyenangkan di daun telinga Jonas dan lelaki bertongkat besi  sedari tadi berdiri sambil memainkan batang kelaminnya.
            “Aku bisa saja menyiksamu lebih lama lagi, Chyntia tapi tak bisakah kita lebih kooperatif?” bujuk Jonas. Ia memberikan jeda sesaat untuk Chyntia menikmati rasa sakitnya seraya menunggu balasan perempuan itu.
            Sekitaran pipi sampai pangkal leher Chyntia dimerahi darah. Wajah perempuan itu mengalami kerusakan hampir 80%. Jonas melirik sedikit arloji Seiko di lengan kanan. Sudah satu menit lebih ia menunggu. Lelaki itu melanjutkan sayatan di bagian kening. Namun terlintas dalam pikiran Jonas membuat perempuan malang itu.
            Lelaki berkacamata itu menekan ujung mata pisau sampai menembus daging bagian kening. Ia menyayat pelan-pelan kemudian berhenti sebentar. Lewat lima belas detik Jonas melanjutkan sayatan di kening Chyntia. Air mata Chyntia meluruh begitu deras tak kuasa menahan pedihnya daging yang tersayat-sayat. Air mata menghapus sedikit darah menempel di wajah perempuan itu. Perempuan malang itu harus menderita cacat seumur hidup. Terlihat ada empat luka menganga di wajah  gadis malang itu. Luka-luka itu masih terlihat baru. Menampakkan jaringan kulit bagian dalam yang memerah.
            Jonas melanjutkan lagi sayatan kedua. Chytia sendiri sudah terlalu lemah untuk menangis. Darah yang begitu banyak keluar membuat dirinya lemas. Untuk merengek saja ia sudah tidak mampu. Ia membiarkan dirinya diam. Antara pasrah dan menyerah akan siksaan tanpa henti dari Jonas.
            “Cukup... Aku... akan memberitahumu.” Dengan napas tersengal dan wajah sepucat kertas tisu, Chyntia berusaha sekuat tenaga menyuruh Jonas berhenti. Lelaki berkacamata itu menyeringai sambil tertawa lepas. Ia menarik tisu yang tersimpan di dalam saku kemejanya lalu mengelap tangan yang berlumuran darah.
            “Nah gitu dong. Coba kalau kamu bilang gini dari tadi, mungkin kamu takkan tersiksa seperti ini.” Chyntia berusaha menarik napas sebisa mungkin. Rasanya ia tidak bisa mengumpulkan oksigen lebih banyak untuk memberi kekuatan dirinya berbicara.
            “Aku... Alvaro dan Fiolina... bekerjasama untuk... menguras habis uang HOVTA dan... Anggara dan Fiolina... bekerjasama... dengan... Alvaro dan Aretha dari Killer Order untuk menghabisi... kalian semua... satu per satu... de-demi balas de-de-ndam.” Chyntia sudah mengeluarkan semua energinya untuk mengatakan kebenaran itu pada Jonas dan Kepala Pimpinan. Mengatakan kalimat yang tidak begitu panjang saja, seperti dirinya dan malaikat maut beradu paksa untuk menarik napas kehidupannya. Pandangan mata Chyntia mulai meredup. Ia bahkan melihat ada dua Jonas dan dua Kepala Pimpinan di hadapannya.
            “Sudah kuduga, Pak Kepala. Aku merasakan firasat buruk sejak pertama kali Bapak mengajak Killer Order bekerjasama dengan kita guna menaikkan suplai organ tubuh untuk kita perjualbelikan. Dan aku malah berpikiran kalau suplai organ tubuh yang kita punya berasal dari anggota HOVTA juga, hehe.” Jonas terkekeh dengan spekulasinya sendiri.
            Chyntia tidak mengerti apa yang maksud perkataan Jonas. Ia sendiri pun sudah mencapai batas bertahan. Akan lebih baik kalau dia segera saja dibunuh daripada hidup dengan kondisi setengah mati. Ia tak dapat berdiri lebih lama. Kedua tungkai kakinya bergetar-getar, tak punya daya lagi.  Tak sanggup lagi bertahan, Chyntia tak mampu mempertahankan posisi berdiri. Kedua lutut kakinya setengah berlutut. Seolah menjadikan udara sebagai tumpuan kakinya.
            “Kau jangan merasa sudah lega dulu, perempuan sialan. Kau masih harus menerima hukuman karena sudah berkhianat pada HOVTA.” Kepala pimpinan dan Jonas berdiri di hadapan Chyntia yang sudah seperti seonggok daging. Mereka berdua tersenyum penuh nafsu kebinatangan. Perempuan itu sendiri tidak apa yang akan dilakukan kedua orang gila itu. Ia sudah menyerahkan nyawanya pada Sang Tuhan jikalau kematian kekal akan menjadi upahnya di akhirat sana.
***
            Perempuan berusia 26 tahun itu memohon ampun pada Fiolina. Akan tetapi Fiolina sendiri menanggapi permohonan si perempuan dengan senyuman sinis sambil menempelkan ujung Colt 911 di keningnya. Suara letupan pistol teredam sedikit ketika peluru sedang menembus tulang tengkorak perempuan malang itu.
            “Target selesai. Sekarang kita tinggal hubungi Chyntia dan mulai menjalankan misi kita,” ketika Fiolina akan mengeluarkan handphone, sebuah pesan masuk ke nomor whatsappFiolina.
            Pesan masuk berasal dari Kepala pimpinan. Fiolina yang merasa penasaran, membuka pesan itu. Bola mata Fiolina terbeliak apa yang terpampang di layar handphone-nya.
            “Anggara...”

Friday, 26 October 2018

DUAL - 16


Penderitaan yang Sama
            Alvaro dengan mobil Camry-nya sudah berada di depan pagar rumah Aretha. Lima belas menit lamanya agar perempuan berkulit putih itu keluar dari sana. Alvaro sudah menghabiskan tiga batang Surya untuk membunuh kebosanan.
            Lama sekali perempuan satu ini, ketus batin Alvaro sambil mengembuskan asap rokok ke atas awang-awang.
            Saat rokok itu mulai berpijar di ujung busa filter, lelaki berambut cepak ala tentara itu tak bisa mengedipkan kelopak mata selama lima detik. Entah berapa kalinya, matanya selalu dimanjakan dengan lihainya cara berpakaian Aretha. Untuk setelan atas, perempuan itu mengenakan kaus hitam berbahan katun. Bahan kaus itu cukup tipis dan agak menerawang hingga Alvaro bisa mengintip sedikit warna dan motif bra yang dipakai Aretha. Untuk setelan bawah, perempuan itu memakai celana jinsyang ketatnya hampir menceplak bentuk paha sampai mata kaki.  Kedua kaki mulusnya ditopang dengan flat shoes berwarna biru gelap.
            “Jangan nampakkan wajah mesummu itu padaku, Alvaro. Bukannya kita harus cepat-cepat pergi?” Aretha menepuk pelan pipi rekannya hingga lelaki itu tersentak kaget.
            “Oh i-iya. Lagipula kau yang membuat aku harus menunggu lama.” Alvaro menjatuhkan puntung rokoknya ke bawah lalu membuka pintu bagian depan di sebelah kirinya. Aretha memasukkan dirinya ke dalam kemudian disusul dengan Alvaro. Begitu keduanya sudah berada dalam posisi siap pergi, lelaki berambut cepak itu melesatkan mobil menjauhi kediaman Aretha.
            “Mana anggotanya si Rudi? Apa dia tidak ikut bersama dengan kita?” Lima menit lebih mobil itu melenggang di jalan raya, Aretha membuka tas sandang tergantung di pundak kiri. Ia merogoh sebuah sarung tangan kain berwarna hitam kemudian dikenakan di kedua tangan.
            “Apa kau lupa, dia sudah berada di kediaman Dedy Rahmad Yadi satu jam yang lalu untuk memata-matai apakah benar target akan pergi berlibur dengan keluarganya. Lagipula kau terlalu cepat menggunakan sarung tangan itu, Aretha,” ujar Alvaro sambil mengontrol setir dan jalan raya di hadapannya.
            “Tidak apa-apa, Alvaro. Untuk jaga-jaga saja.” Aretha menutup tas sandangnya lalu menyilangkan kedua tangannya ke bagian ketiak seperti orang sedang kedinginan.
            “Lagi demam ya?”
            “Iya, Al. Rada masuk angin gitu. Kayaknya gua kebanyakan begadang,” jawab Aretha jujur.
            “Kok bisa begitu?” tanya Alvaro balik.
            “Hampir dua minggu belakangan ini, gua mimpi kalau kita berdua bakalan mati. Gua lihat di mimpi gue kalau elu duluan bakal dihabisi sama seseorang yang gua sendiri enggak kenal. Dia seperti orang asing. Bukan anggota Killer Order atau HOVTA. Enggak hanya sekali. Ini sudah hampir ketiga kalinya. Mimpi ini bikin gua selalu terjaga. Apa ini pertanda buruk untuk kita?” Kedua tangan Aretha pindah ke bagian paha. Tatap mata Aretha menyiratkan kekhawatiran.
            “Kau terlalu berlebihan. Mimpi itu hanya bunga mimpi. Aku yakin ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu ‘kan? Ayo, ceritakan saja.”
            “Apa mungkin kalau Anggara dan Fiolina akan mengkhianati dan membunuh kita?” tambah Aretha.
            “Kamu ini kenapa sih?! Kenapa kamu malah mencurigai dua orang itu? Bukankah kita berdua sudah sepakat bekerjasama dengan mereka? Lagipula kamu ‘kan yang pertama kali membuka kesempatan bernegoisasi dengan mereka. Sebenarnya apa yang mengganggu pikiran kamu, Aretha?” Emosi Alvaro terpancing keluar gara-gara sikap rekannya hari ini mendadak aneh. Dalam batin Alvaro, tidak pernah rekannya menunjukkan sikap cengeng dan khawatir seperti anak mami manja.
            “Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Aretha Lili Meiliani? Tidak ada salahnya kau bercerita tentang apa yang kau rasakan.” kalau tadi lelaki berkulit kuning dikuasai amarah sesaat, kini ia menurunkan tekanan nada bicaranya menjadi lebih lembut untuk membujuk Aretha agar ia mau bicara.
            Gadis berwajah oval itu memilih diam saja. Ia memalingkan matanya ke arah luar kaca. Dirinya tidak menjawab apa yang ditanyakan rekannya. Alvaro mendengus kesal seraya memukul bulatan setir. Kini ia bersikap masa bodoh dengan apa yang dirasakan oleh rekannya. Ia mengalihkan konsentrasi pada setir dan jalan raya di hadapannya.
            Sebenarnya ia tidak tahan berlama-lama memalingkan diri dari hadapan Alvaro. Aretha berusaha curi-curi pandang, melirik lelaki yang berada di sampingnya. Ketika Alvaro hendak memutar lehernya, Aretha kembali bertingkah seolah ia masih marah dan tidak peduli.   Lelaki itu pun sepertinya tidak mau ambil pusing dengan apa yang rekannya lakukan. Ia tetap fokus. Lagi, Aretha menggerakkan sedikit lehernya. Ia kembali memandang Alvaro. Kedua katup bibirnya terbuka sedikit. Seperti akan menyampaikan sesuatu.
            Lagu metalcore Asking Alexandria yang menjadi nada dering handphone Aretha, sukses mengagetkan kedua insan manusia itu. Sontak Alvaro memandang heran bercampur kesal pada  rekannya.
            “Dari siapa?”
            “Santo Aruru.”
            “Cepat angkat.” Aretha menekan tombol hijau menjawab panggilan masuk dari Santo, “halo.”
            “Halo, ini Aretha? Apakah kalian berdua sedang di jalan?”
            “Ya kami sedang menuju perjalanan menuju rumah target. Apa mereka sudah mau berangkat?”
            “Aku cuma mau bilang segera ambil jalan tol. Kudengar keluarga Pak Dedy Rahmad Yadi akan berlibur ke pantai Pangandaran. Untung saja laju mobil mereka tidak terlalu cepat. Aku bisa mengikuti mereka dari belakang,” lapor lelaki berambut kriting itu lewat sambungan telepon.
            “Baiklah kalau begitu. Tetap awasi mereka. Tetap jaga jarak. Awas, jangan sampai mereka tahu.” Begitu mendapat jawaban dari rekannya, Aretha menekan tombol merah lalu menyimpan handphone  dalam saku celana sebelah kiri.
            “Kita lewat dari tol Jagorawi saja.” Alvaro langsung ambil keputusan seraya membelokkan kemudi ke kiri. Dua ratus meter di depan terdapat rambu “Anda Memasuki Kawasan Tol. Batas Kecepatan 100 km/jam.” Lelaki berkulit cokelat itu menarik persneling ke depan lalu dioper ke belakang. Jarum spedometer bergerak otomatis tapi pasti. Spedometer menunjukkan angka 83 km/jam.
            Meski sudah ada sabuk pengamat melintang di bagian dada, tetap saja Aretha tidak bisa mengabaikan rasa deg-degannya. Kecepatan mobil sudah memasuki angka 89 km/jam. Jemari Aretha tetap erat memegang sabuk.
            “Al, tidak bisa kembali kecepatan normal?” tanya perempuan berkulit putih halus itu.
            “Jangan sampai kita ketinggalan target. Itu misi kita,” respon Alvaro.
            Memasuki kawasan pemukiman penduduk kota, Alvaro mulai menurunkan kecepatan lalu memutar setir menuju kawasan kota kecil. Di kota ini, terdapat gedung-gedung tinggi namun tidak semegah gedung yang berada di kota yang mereka lewati sebelum memasuki jalan tol.  Di kota ini gedung tinggi didominasi apartemen dan rumh susun.
            “Coba kau tanya sama Santo, apa nomor plat mobil target kita?” Jemari perempuan cantik itu menekan monitor, merangkai huruf-huruf untuk pesan yang disampaikan pada Santo.
            T 55 DRY.
            Aretha membuka aplikasi Google Maps di handphone-nya lanjut mengetik tempat tujuan mereka. Aplikasi menunjukkan kalau mereka akan menghabisi waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai ke pantai Pangandaran. Setelah diamati baik-baik, mereka akan tiba di kawasan desa kecil yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam bunga melati dan daun teh. Akses jalan masih menggunakan pecahan batu padas untuk menutupi lubang-lubang besar di jalan.
            “Coba Aretha, kamu cari-cari nomor plat mobil yang ada di sebelah kananmu. Sementara aku mencari di sebelah kiri.” Bukannya melaksanakan apa yang dikatakan patnernya, Aretha malah sibuk memainkan Mobile Legends. 
            “Hei, dengar kalau orang lagi ngomong!” Alvaro menepuk agak kencang pundak Aretha. Ia hampir membuat handphone Arethaterjatuh.
            “Iyahh!,” ketus Aretha sambil tangan kanannya menggenggam kuat handphone itu lalu menghentikan aplikasi yang sedang ia mainkan. Ia konsentrasi dengan tugas yang diberikan Alvaro. Tidak banyak kendaraan bermotor lalu lalang di sekitar kawasan perkebunan melati. Lebih didominasi suara sepeda motor memadati jalan penuh kerikil tajam.Suara dari pecahan batu yang digilas ban mobil pribadi dan truk diesel menjadi kekhasan tersendiri apabila melewati jalanan seperti ini.
            Tak menemukan nomor plat yang dimaksud, Aretha kembali membuka Mobile Legends. Ia kembali ke arena setelah tadi AFK gara-gara Alvaro. Ketika ia menunggu loading, bola matanya menangkap sesuatu yang tengah mereka cari dari jarak pandang 220 meter.
            “Al, bukannya yang di depan sana itu motornya si Santo ya?”
            “Benar, dan juga di depan kita ada mobil Dedy Rahmad Yadi. Walaupun sudah ketemu, kita harus tetap jaga jarak. Biarkan Santo di depan. “ Alvaro tetap menjaga kecepatan dan jarak antara mobil sang target dengan mobilnya. Jangan sampai terlalu dekat dan jangan sampai mendahului terlalu cepat.
            Sebenarnya Alvaro sendiri pun ingin sekali mengeksekusi target mereka tetapi jalan mereka masih berupa lubang-lubang berukuran sedang dan kerikil tajam . Ia sudah tidak sabar ingin menghabisi target mereka sekaligus membalas dendam dengan apa yang dia perbuat kepada mereka bertiga melalui dua pengawalnya.
            Tinggal tersisa 1,2 kilometer lagi menuju jalan aspal. Lelaki berambut cepak itu masih tenang mengendalikan setir. Ia berusaha sebisa mungkin menghindari lubang-lubang yang menghiasi jalan menuju Pantai Pangandaran. Senyum Alvaro pelan-pelan sumringah ketika ia melihat aspal mulus terbentang di depan matanya.
            “Aretha, bilang pada Santo supaya dia agak menjauh dari mobil Dedy Rahmad Yadi. Suruh dia putar haluan, berpapasan dengan mobil target. Tembak mobil itu di bagian ban.” Tangan Aretha bergerak cepat memindahkan apa yang diinstruksikan Alvaro ke dalam bentuk teks.
            Sesudah pesan itu terkirim, Alvaro langsung menaikkan sedikit kecepatan mobil supaya ia bisa sedikit lebih dekat dengan target.
            Sementara di dalam mobil, calon gubernur Jawa Barat, Dedy Rahmad Yadi dan keluarganya sudah dilanda kepanikan. Terlebih lagi dua orang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Kedua anak perempuan itu tak henti meneteskan air mata sambil berdoa memohon keselamatan dari Tuhan.
            Istri Dedy Rahmad Yahdi, Nurhalijah Rahmad Yahdi mencoba menenangkan kedua anak perempuan mereka akan tetapi suara tangis bercampur sendu terus bergema di telinga keduanya. Lelaki berusia lebih setengah abad itu menaikkan kecepatan. Jarum spedometer bergerak dari angka 61km/jam menjadi 75 km/jam.
            Ketika mobil Dedy Rahmad Yadi sedang melaju kencang, seorang pengendara  motor NINJA DOUBLE R, juga melesat kencang berpapasan dengannya. Dedy Rahmad Yadi menduga kalau si pengandara motor ingin melakukan sesuatu yang tidak beres. Dari luar mobil terdengar suara ban mobil meletus. Fortuner yang dikendarai Dedy Rahmad Yadi, mendadak bergoyang ke kiri dan kanan. Lelaki tua itu mulai hilang keseimbangan mengendalikan setir. Dikarenakan ia dalam posisi kencang.
            Saat lelaki tua itu menekan pedal rem, kepala mobil bergerak liar. Ban mobil mulai berdecit kuat, memekakkan telinga. Istri dan dua anak Dedy Rahmad Yadi otomatis menutup telinga mereka. Jerit tangis dari kedua putri lelaki itu menyatu dengan kekacauan yang mulai mendominasi jalanan yang masih terlihat lengang tanpa pengendara kendaraan yang lain.
            Keduanya tidak memberikan kelonggaran pada keluarga Deddy. Alvaro mengarahkan setir menyerempet bagian luar mobil target. Ban depan  mobil hampir terangkat  dan sekali lagi Alvaro menubrukkan mobilnya hingga mobil itu benar-benar jungkir balik.
            “AYAHHH!” teriak salah seorang putri Deddy Rahmad Yahdi. Mobil yang dikendarai Deddy berguling-guling. Bagian luar mobil terseret aspal sampai akhirnya menabrak besi pembatas jalan.
            Alvaro, Aretha dan Santo berhenti tepat di depan besi pembatas jalan yang ditabrak mobil Deddy. Mereka bertiga menghampiri mobil ringsek itu sembari memastikan apakah keluarga Deddy Rahmad Yahdi sudah benar-benar mati. Darah mengalir deras dari kepala pasangan suami istri itu. Serpihan kaca memenuhi bagian lengan kiri dan separuh wajah keduanya. 
            Ketika ketiganya sudah berada di depan mobil, mereka mengintip dari kaca tebal yang menutupi bagian dalam mobil. Alvaro dan Santo mengklaim bahwa Deddy Rahmad Yadi dan istri sudah meninggal dunia. Akan tetapi saat Aretha menengok kondisi kedua putri Deddy Rahmad Yahdi, daun telinganya mendengar suara isak tangis pelan dari jok belakang. Gadis malang itu dalam kondisi lemah tak berdaya. Luka lecet hampir menghiasi bagian tangan.Kaus kasual yang dikenakan gadis itu sudah bau gosong. Lelehan darah dari kening hampir memenuhi raut wajah lugunya,
            “Ke-ke-kenapa ka-kalian...,” dalam kondisi setengah sadar, berbicara terbata-bata, putri Deddy yang masih selamat bicara kepada Aretha.
            “Ah ternyata masih ada yang selamat ya?” Santo langsung mendatangi Aretha ketika ia juga mendengar suara perempuan dari dalam mobil.
            “A-a-apa sa-salah ka-kami?” Ia berusaha menuntut jawaban dari kedua pembunuh yang berada di depannya.
            “Hehe salah kalian ya?” Santo menyunggingkan senyum bengis lalu disambungnya lagi, “siapa suruh kalian menjadi target kami.” Santo mengepalkan tangan lalu meninju kaca mobil. Kaca mobil pecah berkeping-keping terkena tinjuan Santo.
            “Bunuh dia, Aretha,” ujar Santo sambil menatap Aretha dingin.
            “Bu-bunuh dia?” tanya Aretha ragu.
            “Iya kau harus membunuh gadis itu, Aretha. Kalau dia kita biarkan hidup, dia pasti akan memberatkan langkah kita. Cepat lakukan Aretha sebelum jalanan ramai kembali,” sambung Alvaro sambil memastikan apakah jalan raya masih sepi.
            Bola mata Aretha melirik ke arah gadis yang dia perkirakan masih duduk di bangku SMP. Gadis itu terus meratap seraya mengeluarkan isak tangis sendu. Aretha tahu untuk siapa tetesan air mata gadis itu. Suara tangis gadis itu mengingatkan dirinya akan kejadian 8 tahun lalu. Kekelaman masa lalu karena kehilangan keluarga turut dirasakan batin Aretha. Kekelaman yang gadis itu rasakan menghalangi dirinya membunuh gadis itu.
             “Hei..., ada apa?” tanya Santo. Ia menengok ke arah Aretha. Ia mematung tak melakukan apapun yang disuruh Santo dan Alvaro. Ia hanya menatap gadis itu dengan perasaan takut dan tertekan.
            Khawatir jalanan kembali ramai, tanpa menunggu lama, Alvaro menarik pistol yang dijepit di pinggangnya lalu membidik ujung pistol ke arah kepala si gadis malang. Aretha yang masih tertegun, tak mampu menahan kaget saat ia mendengar letupan peluru sudah bersarang di kepala gadis itu.
            “ALVARO, APA YANG KAULAKUKAN?!” hardik Aretha.
            “Ayo kita pergi dari sini,” ujar Alvaro sambil menarik tangan rekannya. Santo Aruru bergerak menuju sepeda motornya yang terparkir di depan mobil yang sudah penyok dan lecet parah di bagian sampingnya.
            “Kelihatannya bos akan marah besar jika melihat kondisi mobilnya seperti ini.” Santo menyunggingkan senyum satir pada Alvaro tapi lelaki itu memilih tidak peduli. Ia tetap fokus apa urusannya, memaksa perempuan itu masuk ke mobil. Awalnya Aretha memberontak sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Alvaro yang terlalu erat pada pergelangan tangannya. Begitu Aretha sudah duduk di bangkunya, Alvaro menutup pintu samping lalu menekan pedal gas kuat.
            “Kenapa... kenapa kamu tega membunuh gadis itu, Alvaro?! Kamu enggak liat kalau dia menderita, hah?!” Aretha memberondong rekannya dengan pertanyaan-pertanyaan emosional.
            Alvaro berusaha mengendalikan diri agar tidak terpancing dengan amarah rekannya. Ia pura-pura tidak mendengarkan Aretha dengan konsentrasi pada setir dan jalan di hadapannya.
            “Kamu itu bodoh atau pura-pura enggak tahu?!! Target kita itu hanya membunuh Deddy Rahmad Yahdi bukan membunuh keluarganya apalagi gadis itu! Kamu paham?!”
            “DIAM!!!” bentak Alvaro. Kedua tangannya refleks menggebrak bulatan setir. Ketika konflik sedang berlangsung, keduanya mendapat klakson panjang berulang kali. Alvaro sontak membanting setir ke kiri ketika dirinya sadar kalau sedikit lagi kematian akan menjemput mereka perantara truk diesel.
            “Ini sudah jalan hidup kita, Aretha. Kita tidak bisa tahu si apa orang akan kita bunuh. Apakah dia dewasa, remaja, anak-anak atau pun bayi tak berdosa. Kita memperoleh kehidupan dari darah dan nyawa orang-orang yang kita habisi. Kau tahu, kalau kita membiarkan gadis itu hidup kita akan berada dalam masalah besar. Bisa-bisa kasus-kasus kita akan diangkat kepolisian ke ranah publik yang selama ini aman-aman saja. Jangan pernah libatkan perasaan semata pada profesi kita.” Lelaki berkulit cokelat muda itu mencoba mengatur hela napas yang semula berat. Juga sambil menurunkan lonjakan emosi yang meningkat secara tiba. Ia memberikan penjelasan logis mengenai apa yang dia lakukan pada gadis itu. Tetapi Aretha sendiri enggan mendengarkan penjelasan dari rekannya. Ia lebih memilih memalingkan wajahnya ke arah kaca penutup mobil.
            “Apakah selama kau menjadi hari-harimu sebagai pembunuh bayaran, kau selalu memberikan perasaanmu pada orang-orang yang kita bunuh? Atau, inikah sifat aslimu yang selalu kau coba tutup-tutupi, Aretha? Apakah kini kau baru menyadari kalau dirimu adalah seorang pembunuh?”
            Aretha membalas dengan kebisuan. Sorot matanya datar menatap kaca film mobil. Kelihatannya percuma membujuk Aretha untuk bicara. Alvaro memilih menyerah dan berkonsentrasi penuh pada setir.
            Selama menempuh perjalanan 65 km, bahasa diam dan sunyi menjadi pengisi perjalanan mereka. Alvaro berencana mengantar Aretha pulang ke rumah guna menenangkan diri. Untuk laporan misi pembunuhan Deddy Rahmad Yahdi dan pertanggungjawaban atas kerusakan mobil mereka yang kendarai, akan menjadi tanggungjawabnya bersama dengan Santo Aruru.
            “Pikirkanlah apa yang sebenarnya dirimu inginkan.” Akhir dari perjalanan dua jam tanpa bicara sama sekali terhenti di kediaman Aretha. Perempuan itu menarik gagang pintu ke depan lalu beranjak dari jok mobil. Tanpa mengucapkan salam, Aretha pergi begitu saja dari hadapan Alvaro.
            Perempuan itu melangkah menuju pintu gerbang. Ia menekan tombol bel yang menempel di tiang beton pagar. Sekuriti penjaga langsung membuka gembok, mendorong pagar mempersilahkan sang majikan lewat. Seorang wanita berumur 40 tahun bergegas menghampiri Aretha.
            “Ada apa, Non?”
            “Tolong siapkan air hangat di bathtub.” suruh Aretha disusul dengan anggukan kepala dari sang pembantu. Sesudah memberintah perintah, Aretha lanjut menuju kamarnya.
            Aretha membuka gagang pintu, melangkah lemah menuju ranjang. Ia menjatuhkan punggung di atas ranjang kemudian tatap matanya menerawang asbes-asbes yang terpasang di atas kamar tidurnya.
            Ke-ke-kenapa ka-kalian...
            A-a-apa sa-salah ka-kami?
            Perkataan terakhir dari gadis malang yang dibunuh Alvaro masih menghantui ruang pikiran Aretha. Air matanya terus meleleh dengan mudah. Seolah penderitaan yang dirasakan putri dari Deddy Rahmad Yahdi turut dia rasakan. Kesesakan dalam dada semakin menyeruak. Tapi Aretha tidak tau mesti bagaimana dia menghadapi kesesakan itu dan bagaimana melepaskannya.
            Aaaarrrrggh! Jeritan panjang Aretha menggema seisi kamar tidurnya.
***
            Jonas tersenyum lebar di hadapan tubuh perempuan tanpa tertutupi sehelai benang pun. Perempuan itu menatap lemah pada lelaki berkacamata itu.
            “Mengakulah atau aku masih bisa berbuat lebih kejam lagi daripada ini.”     Tangan Jonas dan pisau lipat yang digenggamnya terdapat lumuran darah kering.

Wednesday, 24 October 2018

DUAL - 15


Negosiasi – 2
            Ipda Eddu dan Aipda Sari berada tepat di depan markas besar polres Bekasi. Mereka berdua mengucapkan terimakasih atas tumpangan dari si pengendara mobil. Si pengendara menekan klakson menandakan kalau ucapan terimakasih mereka diterima. Sebelum melangkah memasuki markas, keduanya menunggu mobil itu melesat jauh dari hadapan mereka. Lelaki berambut pendek itu melirik ke arah arloji. Jarum panjang dan pendek dalam arloji menunjukkan pukul 18.03.
            “Apa kita masih sempat melaporkan kejadian yang sudah kita lihat, Bapak Ipda Eddu?
            “Kelihatannya markas masih ramai. Mungkin masih sempat. Ayo kita ke sana.” Keduanya melangkah cepat menuju markas. Bagian depan markas masih dijaga tiga lelaki berpakaian dinas polisi.
            “Ipda Eddu, apakah kita juga  akan melaporkan apa yang direncakan oleh mereka berdua?” Lelaki berparas gagah itu memilih tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Ia masih berpikir sambil mengatur langkah kakinya.
            “Tidak usah. Kalau urusan itu, aku sendiri yang akan melaporkan  setelah Bapak Kompol Widjajanto mengumumkan rencana penyergapan.”
***
            “Aku berani taruhan kalau kalian sedang mencari informasi mengenai kami berdua kan?” tanya Anggara sambil berkacak pinggang di hadapan kedua polisi itu.
            Ipda Eddu dan Aipda Sari refleks mengangkat pistol mereka, mengacungkannya pada kedua penjahat itu.
            “Insting kalian sebagai pemberantas kejahatan cukup bagus. Begitu tahu kalau target mereka ada di depan mata, tangan kalian sudah bersiap-siap mengangkat senjata.”
            “Tidak usah banyak bicara. Cukup serahkan diri kalian baik-baik.Kami pun akan memperlakukan kalian dengan baik pula.” Ipda Eddu tetap mengancungkan pistol miliknya tepat di depan kening Anggara.
            “Ini daerah kekuasan musuh. Kalian nekat memasuki wilayah musuh tanpa memiliki strategi matang. Kami bisa saja menelepon orang-orang HOVTA begitu kalian nekat melakukan perlawanan atau kita bisa bicarakan ini baik-baik di dalam mobil kami. Oh ya kalian pasti ingin pulang ke markas kalian, bukan?”
            Hampir saja kedua polisi itu gegabah. Walaupun terkesan sok tahu, namun yang dikatakan lelaki berpostur tinggi itu ada benarnya. Tanpa mempersiapkan strategi matang dan perintah langsung dari atasan, mereka akan mati sia-sia di kandang musuh. Satu lagi, prioritas mereka datang ke sana hanya untuk mencari informasi sedetail mungkin mengenai HOVTA. 
            “Apa yang membuat kami bisa percaya dengan kalian?” Ipda Eddu memberikan isyarat pada rekannya untuk menurunkan pistol mereka dari wajah mereka.
            “Seperti yang kukatakan tadi, kami akan memberikan kalian informasi mengenai HOVTA sekaligus meminta bantuan kalian.”
            “Seorang kriminal besar meminta bantuan kepada kepolisian? That is not fucking funny! Kau ingin kami ikut mencari korban yang bisa dibujuk atau dirayu supaya mereka mau menjual organ tubuh mereka? Jangan harap kami akan melakukan hal sekeji itu.” Aipda Sarry ikut mempertanyakan maksud perkataan Anggara yang terkesan aneh dan punya sesuatu mencurigakan di dalamnya.
            Anggara berusaha menahan kekesalan dengan mengulas senyum kecil. Lelaki itu beralih dari hadapan mereka menuju pintu mobil sebelah kanan. “Kita bisa bicarakan semuanya secara baik-baik di sini.” Ipda Eddu mengartikan sorot mata yang ditujukan pada mereka sebagai isyarat penuh keyakinan dan kejujuran. Ipda Eddu menoleh pada Aipda Sarry seraya mengangguk kepala sekali menyetujui permintaan mereka.
             Kedua perwira polisi itu sudah berada di dalam mobil. Anggara duduk di tengah Ipda Eddu dan Aipda Sarry. Fiolina dipercayakan untuk memegang kendali setir.
            “Kau harus menepati janjimu memberitahu kami informasi mengenai HOVTA dan menjelaskan maksud perkataanmu yang bilang kau ingin meminta bantuan pada kami.” Ipda Eddu mengingatkan perkataan Anggara pada mereka berdua.
            “Baiklah, itu sebabnya aku berada di tengah-tengah kalian. Tapi ada dua hal yang perlu kupastikan juga dari kalian. Pertama, aku harap kalian tidak menyimpan borgol di saku kantung kalian.”
            “Kami tidak membawa borgol ke sini. Cepatlah bercerita. Kami tidak punya banyak waktu,” desak Ipda Eddu.
            “Yang kedua.” Anggara memberikan isyarat dengan membengkokkan jari telunjuk ke bawah seperti menekan tombol. Fiolina mengangguk pelan. Ia menekan tombol yang dimaksud Anggara. Keempat pintu mobil itu dalam kondisi terkunci dari dalam.
            “Hei apa maksudnya ini?” protes Aipda Sary.
            “Aku hanya memastikan keamanan saja. Baiklah, aku akan bercerita mengenai HOVTA. HOVTA, sindikat perdagangan organ tubuh manusia bertaraf internasional yang sudah ada sejak 2009. HOVTA beranggotakan lima puluh orang akan tetapi terus mengalami penurunan hingga menjadi tiga puluh orang termasuk kami berdua di dalamnya. Kami menggunakan sebuah tato berinisial HVT, tanggal dan bulan kelahiran masing-masing anggota. Anggota yang lahir pada bulan Januari sampai Mei diangkat kepala pimpinan menjadi bagian penting dalam HOVTA. Sisanya menjadi pasukan biasa. Aku dan temanku di depan termasuk anggota yang lahir dalam lima bulan yang ditentukan itu. Kami adalah tangan kanan kepala pimpinan yang bertugas mencari korban dengan cara  kerjasamadan  negosiasi. Bagaimana sudah jelas?”
            “Kau bilang jumlah anggota awal mencapai lima puluh orang tapi kenapa bisa mengalami penurunan sampai tigapuluh orang?” tanya Ipda Eddu.
            “Itu rahasia kami berdua. Kami tidak bisa mengatakannya kepada orang yang baru saja kami kenal,” jawab Fiolina dari jok depan. Ipda Eddu berdecak kesal mendengar jawaban Fiolina.
            “Lalu bagaimana dengan kepala pimpinan kalian? Apa yang kalian ketahui tentang kepala pimpinan kalian?” Kini giliran Aipda Sary bertanya pada Anggara.
            “Kami tidak tahu banyak mengenai kepala pimpinan kami. Ia orang yang sangat misterius. Jarang berbaur dengan anggota-anggota lain. Ia lebih suka mendengar informasi dari orang-orang pilihannya seperti kami berdua. Kalau pun dalam keadaan terpaksa, ia akan selalu mengenakan topeng,” jelas Anggara pada Aipda Sary.
            “Apa dia memakai topeng karena wajahnya jelek?” ejek Aipda.
            “Tidak juga. Kepala pimpinan punya wajah cukup tampan meskipun beliau sudah memasuki usia setengah abad,” tepis Fiolina pada ejekan perwira perempuan itu.
            “Jadi?”
            “Ya karena begitulah kebiasaan pimpinan kami,” jawab Anggara enteng.
            Kedua perwira polisi itu kesal mendengarkan jawaban dari lelaki berambut pirang itu. Tapi mereka harus menjaga wibawa agar tidak menunjukkan emosi spontan mereka. Akan tetapi informasi yang diberikan kedua penjahat itu cukup berguna untuk mereka dalam menyusun rencana untuk meringkus sindikat biadab yang sudah beroperasi selama bertahun-tahun.
            Mereka berempat sempat diam untuk sesaat. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan lagi. Namun Ipda Eddu mengamati dengan seksama anggota HOVTA yang ada di kirinya.
            “Kalian berdua tahu, jika melihat wajah kalian, pertama kali aku tidak yakin kalau kalian adalah anggota sindikat HOVTA. Wajah kalian belum cukup meyakinkanku kalau kalian adalah penjahat kelas kakap. Aku berani bertaruh kalau kalian tidak menyukai jalan hidup seperti ini kan? Kalian pasti menginginkan kehidupan orang normal sebagaimana mestinya. Tidak berususan dengan yang namanya darah dan kematian. Apa yang membuat kalian memilih menjadi seperti ini?” Ipda Eddu mencoba memancing perasaan mereka dengan penguatan-penguatan positif.  
            Kedua penjahat itu membisu selama tiga detik. Namun lewat dari tiga detik pun mereka belum mau bersuara. Mungkin perkataan perwira polisi itu cukup membuat tanda tanya besar dalam batin mereka.
            “Apa yang mau kau lakukan kalau kami mengungkapkan semuanya? Posisi kami adalah seorang penjahat dan kau seorang penegak keadilan dan hukum. Apakah dengan menjelaskan apa yang terjadi pada kami dahulu bisa mengubah kenyataan sekarang? Apakah kami juga beroleh pengampunan? Apa yang terjadi di masa lalu, itulah yang membentuk diri kami sekarang. Kami ada di masa sekarang karena dendam masa lalu. Masa lalu merenggut orang tua kami, tempat tinggal, teman-teman bahkan masa depan kami. Kami tidak punya alasan untuk hidup demi siapapun. Perlu kau tahu, mereka dibunuh juga secara brutal dan sadis oleh orang-orang itu. Kami berdua tidak bisa membiarkan siapapun mengambil semua seenaknya dari kami. Kami ingin keadilan. Dan apa bisa dengan melaporkan kejadian itu, kalian bisa menuntaskan semua secara gamblang dan jelas? Aku rasa itu tidak mungkin. Sebagaimana rumit dan berbelitnya birokrasi di negara ini, seperti itulah kalian institusi polisi. Kami tidak bisa menunggu lama. Kami perlu mencari mereka secepat mungkin dan bergabung dengan HOVTA adalah jawabannya,” urai Anggara secara runut. Fiolina cuma diam saja mendengar perkataan dari rekannya. Kedua mata dan tangannya memang fokus pada jalanan dan setir tetapi hati tak bisa menyangkal atau membantah apa yang dikatakan Anggara. Apa yang ingin disampaikannya kepada dua perwira polisi itu, itu sudah tersampaikan pula oleh Anggara.
            Ipda Eddu sudah menduga kalau umpan kecilnya berhasil memancing mereka untuk mengungkapkan apa yang menjadi isi hatinya. Dia menggunakan sedikit trik psikologi untuk mengorek informasi mengenai pikiran lawan bicaranya.
            “Tapi, apa yang siapa yang kau maksud dengan orang-orang itu, yang membantai orang tua dan teman-temanmu?” tukas Aipda Sary.
            “Kalau kami mengatakan siapa orang itu, pasti kalian bertindak lebih dulu untuk mencegah kami sebelum kami melakukan sesuatu pada mereka, bukan?” Anggara langsung menebak ke mana maksud perkataan Aipda Sary.
            “Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, aku ingin mengajak kalian bekerjasama memberangus sindikat HOVTA. Aku percaya kalau kalian pasti menunggu saat-saat ini ‘kan? Menghabisi para penjahat kelas kakap seperti kami dan menerima kenaikan pangkat secara signifikan atas pretasi yang kalian dapatkan. Bagaimana? Kalian mau?”
            “Apa maksud perkataanmu itu, Anak Muda? Kau berupaya menghianati HOVTA?”
            “Kira-kiraseperti itulah gambarannya. Bagaimana kalian tertarik?”
            “Kalian pikir dengan mengadakan kerjasama kotor seperti ini kalian bisa lolos begitu saja dari jeratan hukum?”
            “Begini, kau bisa menangkap kami langsung di markas kami. Lebih efisien ‘kan ketimbang kalian harus menangkap kami di sini? Lagipula hasil tangkapan kalian akan lebih besar dan banyak,” tawar Anggara pada kedua polisi itu. Keduanya benar-benar jengkel melihat wajah bengal lelaki berambut pirang seolah sombong memenangkan lotre berduit besar.
            “Sudah mau sampai rupanya. Sebagai bahan pertimbangan kalian, kami berdua akan memberikan ini.” Fiolina memberikan secarik kertas berisi nama lengkap keduanya beserta dengan nomor. Perempuan berkulit cokelat muda itu menekan tombol kecil agar pintu mobil terbuka. Begitu pintu terbuka, kedua polisi itu turun dari jok belakang. Ipda Eddu meremas kertas lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Begitu mengucapkan terimakasih, Anggara menutup pintu kanan dan kiri mobil kemudian menyuruh Fiolina  menambahkan kecepatan meninggalkan markas kepolisian.