Sekali Lagi
Fahnan
mengepalkan kelima jarinya begitu kuat. Ia berusaha menahan getar amarah mulai
menguasai dirinya. Ia tak menyangka kalau misi yang dia berikan akan berakibat
pada terlukanya tiga anak buah pilihannya terkhusus Aretha dan Alvaro.
“Mengapa
kalian malah memilih berhadapan langsung dengan dua pengawalnya?” tanya Fahnan
sambil mengencangkan rahangnya membendung emosi.
“Mereka
sudah tahu kalau kami sedang mengincar Dedy Rahmad Yahdi. Ketika kami hendak
pergi kami sudah dikuntit dari belakang,” jelas Alvaro.
“Kenapa
kalian tidak mencari cara begitu agar kalian bisa menghindar dari mereka?”
Fahnan menyerang mereka dengan rentetan pertanyaan seolah mereka bertiga memang
layak disalahkan.
“Pak
Fahnan jangan bertingkah seolah kami bersalah atas kejadian ini. Ini juga semua
salah Bapak karena tidak memberikan informasi yang jelas mengenai dua pengawal
pribadi Dedy Rahmad Yahdi.” Karena tidak mau menjadi pihak yang disalahkan,
Aretha memberikan bantahan kalau bosnya juga tidak lengkap memberikan
informasi.
“Sudahlah
Aretha, Ayah, tidak ada gunanya saling menyalahkan satu sama lain. Lebih baik
kita menyusun langkah agar kita bisa menghabisi Dedy Rahmad Yahdi.” Alvaro
menaikkan volume suaranya lebih kuat agar situasi tidak semakin memanas.
“Kalau
begitu, apa rencana selanjutnya, Alvaro? Aku tidak mau mendengar kegagalan
semacam ini lagi. Aku juga tidak ingin kehilangan kalian. Aku tidak bisa
memaafkan diriku sendiri kalau kalian sampai kenapa-napa. Kalau tahu akan
begini, aku bisa saja membatalkan misi ini.”
“Tidak
perlu Ayah. Kami bisa mengatasi kendala ini.”
Setelah
meyakinkan sang ayah kalau misi ini tidak akan menemui kegagalan dua kali,
Fahnan menaikkan resleting jaket kulit hingga menutupi bagian dada. Ia
membiarkan tiga anak buahnya berada di sana sementara dirinya butuh menenangkan
diri.
Kini
hanya ada mereka bertiga dalam kantor itu. Alvaro melirik arah Rudi yang masih
diam tak berkomentar apapun.
“Rudi...”
Lelaki bertekstur wajah segitiga itu menelengkan kepala seraya menaikkan kedua
alis mata merespons panggilan dari rekannya.
“Apa
kau punya orang-orang pilihanmu yang bisa diajak kerjasama untuk misi kali ini?
Kami tidak mungkin mengandalkanmu dengan kondisimu yang seperti ini,” tanya
Alvaro padanya. Rudi sebenarnya ingin menawarkan diri lagi bekerjasama dengan
mereka berdua. Akan tetapi ia paham dengan apa yang terjadi pada dirinya.
“Kau
lihat saja di lantai satu di meja judi, lelaki berambut gimbal berwajah
Melanesia berkulit cokelat tua. Namanya Santo Aruru. Kalian bisa mengandalkan
dia.”
“Terimakasih
atas rekomendasinya, Rudi. Lebih baik kau istirahat dulu. Biar kami menyusun
ulang rencana ini lalu menemui orang yang kaumaksud itu.” Rudi mengangkat
pantatnya dari kursi beroda. Kini tinggallah Alvaro dan Aretha berada dalam
kantor itu. Lelaki berahang petak itu mengambil tiga lembar kertas dari dalam
laci lalu diletakkan diatas meja.
“Ayo
kita susun.”
***
Para
anggota sindikat HOVTA sudah berdiri di posisi yang telah ditentukan. Ipda Eddu
dan Aiptu Sarry berdiri dibarisan paling belakang dekat pintu. Wakil pimpinan,
Setno Pradana berada di barisan paling depan sebelah kanan. Semua anggota
menundukkan kepala ketika pimpinan mereka telah turun dari mobil Honda Jazz.
“Selamat
datang, Bapak Kepala.” Wakil pimpinan memberikan salam hormat terlebih dahulu
sebelum pimpinannya memasuki pintu apartemen. Jonas yang merupakan tangan kanan
pimpinan HOVTA juga ikut di belakangnya. Hanya saja ia memberikan jarak dengan
sang pimpinan sekitar tiga puluh sentimeter.
“Jonas...,
di mana Anggara dan Fiolina?”
“Saya
mendengar dari anggota saya kalau mereka sedang melaksanakan misi yang Bapak
berikan.”
Lelaki
bertongkat besi menghentikan langkah sepatunya sebelum memasuki pintu depan
apartemen. Ia sempat berpikir misi apa yang diberikan pada kedua anggotanya
sehingga mereka tidak datang dalam acara penyambutan kepulangan dirinya.
“Benarkah?”
Lelaki bertongkat itu bertanya seolah meragukan jawaban Jonas benar.
“Saya
tidak tahu pasti tetapi itulah informasi yang dikatakan anggota saya.” Jonas
menggidikkan bahu, bersikap bahwa ia hanya sekadar menerima info bukan dirinya
yang tahu secara langsung.
“Baiklah,
nanti sayaakan menghubungi mereka berdua, langsung.”
Derap
sepatu pantofel milik lelaki bertongkat itu mulai meninggalkan jejak di atas
karpet merah. Sedikit lagi ia akan memasuki apartemen menuju ruang pribadinya
di lantai dua. Secara tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Aipda Sari Susanti.
Ia mengedipkan kelopak mata dengan cepat menandakan dirinya terkejut.
“Hei...
kamu anak baru di sini?”
Aipda
Sari berhasil mengatasi kegugupannya secara cepat lalu menjawab, “Iya Pak. Saya
baru saja bergabung di grup ini tiga hari yang lalu. Saya bertugas di bagian
pos penjagaan markas ini.”
Ipda
Eddu sempat mengalami serangan jantung kecil ketika target buruan mereka berada
tepat di hadapan rekannya. Kalau bisa tangannya secepat kilat menarik pistol
yang berada di pinggang, ia akan meletupkan pelurunya di dalam kepala
targetnya. Akan tetapi dia tidak boleh gegabah atau membuat kekacauan sedikit
pun. Kalau berkonfrontasi dengan mereka, itu sama saja memilih mati konyol di
tangan mereka. Lagipula dia dan rekannya hanya diberikan misi mengamati saja
bukan menghadapi HOVTA langsung .
“Oke.
Jonas, bubarkan barisan.” Lelaki bertongkat itu memberikan instruksi tanpa
harus menoleh pada Jonas.
“Seluruhnya,
bubar barisan, jalan.” Dua barisan berbanjar mulai menyerakkan diri mereka
masing-masing, kembali pada tugas mereka masing-masing pula.
Ipda
Eddu dan Aipda Sari bersama-sama menuju pos jaga. “Tadi itu hampir saja. Aipda
Sari kamu punya bakat peran yang bagus.” Ipda Eddu memuji kepandaian rekannya
dalam hal berpura-pura.
“Tapi
Ipda Eddu kita tidak bisa berlama-lama di sini. Aku khawatir kalau dua
laki-laki yang kita sekap akan sadarkan diri.”
Saat
mereka kembali ke pos jaga, salah satu anggota HOVTA tak sengaja memasuki pos
jaga. Langkah kaki mereka terhenti tiga meter lagi menuju pos jaga tatkala Ipda
Eddu dan Aipda Sari mendengar pekikan dari dalam sana.
“Ada
yang menyekap Yanto dan Sarman!” Teriakan itu membuat para anggota HOVTA yang
berjaga di sekitar gedung berkumpul di pos jaga.
Ipda
Eddu dan Aipda Sari terpaksa mengikuti kerumunan itu agar mereka tidak
mencurigai gerak-gerik keduanya. Hal yang membuat mereka berdua semakin
degdegan yakni dua pria yang mereka sekap mulai sadarkan diri. Salah satu dari
kerumunan anggota HOVTA melepaskan tali plastik yang mengikat kedua tangan dan
pergelangan kaki kedua pria itu. Lalu membuang gumpalan kertas koran memenuhi
mulut kedua pria yang tengah disekap itu.
Setelah
kertas koran itu dibuang dari mulut mereka, barulah kedua pria itu bisa
membuang napas mereka secara lepas. Sebelum mereka diinterogasi, kedua pria itu
menarik napas terlebih dahulu sebanyak tiga kali kemudian diberikan segelas air
minum.
“Apa
yang terjadi dengan kalian? Siapa yang berani-beraninya melakukan hal ini pada
kalian berdua? Dan kenapa kalian bisa berpakaian seperti tukang antar pizza?!”
tanya salah satu anggota HOVTA yang ada di pos jaga.
Sebelum
menjawab rentetan pertanyaan dijawab
oleh mereka, Yanto dan Sarman melihat secara sekilas rekan-rekannya yang
berkumpul di pos jaga. “Ada dua penyusup di antara kita yang berkumpul di sini.
Mereka mencampurkan obat bius ke dalam pizza yang kami makan.”
Mendengar
penjelasan dari Yanto dan Sarman, mereka saling melihat satu sama lain apakah
di antara mereka ada wajah-wajah asing yang tidak mereka kenali. Para anggota
HOVTA sudah saling mengenali teman-teman mereka. Pandangan mata mereka akhirnya
tertuju pada Ipda Eddu dan Aipda Sari yang masih berdiri di luar pos jaga.
“Kalian
berdua... aku sepertinya asing dengan wajah kalian.” Lelaki berwajah kekotakan
dengan codet panjang di sebelah pipi kanan menyorot tajam pada mereka berdua.
Jantung
lelaki berpangkat Ipda itu mulai berdetak pelan-pelan dan semakin intens. Aka
tetapi dia harus bisa mengendalikan diri dan menahan rasa takut. “Kami berdua
anggota baru di sini, Bang.” Jawaban dari Ipda Eddu diikuti dengan anggukan
pelan dari Aipda Sari.
Merasa
tidak yakin dengan jawaban keduanya,
lelaki bercodet itu bertanya sekali lagi, “Apa kode keanggotaanmu?”
Untung
saja mereka sudah tahu mengenai kode keanggotaan yang dimaksud lelaki bercodet
itu. Kode keanggotaan yang dimaksud ialah kependekan dari HOVTA ‘HVT’ dan nomor
empat digit merupakan bulan dan tanggal kelahiran masing-masing anggota.
“HVT0521.
HVT 0611,” jawab Ipda Eddu dan Aipda Sari bersamaan.
Sebelum
lelaki itu mengangguk yakin, Yanto dan Sarman menyuruh para rekannya membiarkan
diri mereka berdua lewat guna melihat dua anggota asing yang sedang diselidiki
si lelaki bercodet.
“Ini
dia. Ini dua orang tukang pizza yang menyusup ke markas kita. Dan topi yang
mereka pakai itu adalah topi saya,” tuding Yanto pada mereka berdua. Para
anggota HOVTA yang berkumpul di sana sudah bersiap untuk menyergap Ipda Eddu
dan Aipda Sari. Akan tetapi mereka mendengar pekik kesakitan dari lelaki
bercodet itu. Lengan kanannya ditelikung ke belakang secara tiba-tiba. Tubuhnya
ditarik hingga menyentuh bagian dada Ipda Eddu. Aipda Sari sudah menodongkan
pistol miliknya tepat di bagian kepala.
“Sekali
kalian bergerak, kami tidak yakin nyawa teman kalian ini bisa selamat,” ancam
Aipda Sary, serius.
Mereka
yang tadi mulai bergerak, harus mau tidak mau menuruti perintah dari dua orang
itu. Si lelaki bercodet tidak bisa berbuat banyak. Ia masih merasakan nyeri di
bagian pergelangan tangan. Kalaupun ia bisa lepas dari kuncian itu, perempuan
yang berada di sampingnya bisa saja melepaskan tembakan.
Ipda
Eddu dan Aipda Sari berjalan mundur teratur sambil tetap menyandera si lelaki
bercodet. Ada yang mencoba bergerak tetapi langsung digertak Aipda Sari. Sampai
mereka berdua sudah berjarak 10 meter dari luar daerah markas HOVTA, Ipda Eddu
melemparkan si lelaki bercodet kemudian kedua berlari kencang meninggalkan
kerumunan anggota HOVTA.
“Jangan
biarkan mereka lolos!” perintah si lelaki bercodet.
Anggota
HOVTA mulai menyusul kedua perwira polisi yang berlari cukup kencang. Salah
satu anggota akan menarik pistol mereka tetapi ditahan Sarman. “Jangan tembak
mereka. Jangan membuat hal-hal yang menimbulkan kekacauan. Yang terpenting kita
harus menangkap mereka berdua.”
Ipda
Eddu dan Aipda Sari berusaha berlari sekencang mungkin. Untuk keluar dari
daerah kekuasaan HOVTA di komplek apartemen Mangga Dua, keduanya harus menempuh
jarak dua kilometer lagi. Tidak akan sempat singgah ke salah satu rumah tempat
mereka menitipkan sementara sepeda motor mereka.
“Apa
aku tidak boleh mengangkat senjataku di sini, Ipda Eddu?”
“Tidak
boleh, Aipda Sari. Kau ingat ‘kan apa pesan yang disampaikan oleh atasan kita?
Jangan sampai membuat keributan,” ujar Ipda Eddu sambil mempertahan kecepatan
berlarinya.
“Siap,
Pak,” balas Aipda Sari. Keduanya harus melewati jalan berbelok menuju taman
mini. Para pasukan HOVTA juga mengikuti mereka ke sana.
“Apa
yang selanjutnya kita lakukan, Pak? Mereka masih juga mengejar kita.”
Ipda
Eddu dipaksa berpikir cepat. Bola matanya berputar liar mengamati seluruh
tempat di taman mini yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
“Kita
sembunyi di sana. Ayo.” Telunjuk Ipda Eddu mengarah pada sebuah kamar mandi
umum yang kebetulan tidak ada orang di dalamnya. Keduanya segera memasuki kamar
mandi yang kosong lalu menguncinya dari dalam.
Keduanya
tepat waktu sebelum para pasukan HOVTA berjumlah sepuluh orang telah tiba di
taman mini. “Ke mana dua orang brengsek itu? Cepat banget mereka larinya,”
ketus salah satu dari pasukan HOVTA yang berdiri lima belas meter dari kamar
mandi umum. Kedua perwira polisi itu bisa mendengar suara-suara pasukan HOVTA
yang kehilangan jejak mereka.
“Kalau
begitu, kita cari ke seluruh penjuru taman ini. Ayo berpencar.” Para pasukan
HOVTA berpencar terbagi dalam tiga kelompok. Ipda Eddu dan Aipda Sari belum
bisa bernapas lega. Detak jantung mereka tak bisa memelan walau sedetik saja.
Bayang-bayang bahaya diburupara anggota HOVTA yang terkenal brutal dan sadis
masih menjadi ketakutan tersendiri bagi keduanya. Dalam hati, mereka berdua
masih mengucapkan doa agar salah satu dari mereka tidak tertangkap.
Sudah
delapan menit lamanya kedua perwira polisi itu berada di kamar mandi. Mereka
harus menahan aroma tak sedap menguar dari kloset jongkok. Tapi demi
keselamatan, mau tak mau keduanya harus melewati hal ini. Untuk saat ini mereka
berdua boleh lega karena salah satu orang dari pasukan HOVTA tidak mencari
sampai ke kamar mandi umum.
“Haduh,
aku malas sebenarnya berurusan dengan hal-hal beginian tapi apa daya, gua cuma
pasukan biasa. Bukan kayak Pak Jonas, Pak Setno atau Pak Anggara yang bisa
dekat-dekat sama bos pimpinan. Sudahlah. Kayaknya gua kebelet kencing nih.” Salah
satu anggota HOVTA sudah berada di depan pintu kamar mandi. Ia memegang
gerendel kemudian mendorong pelan guna mengetahui apakah ada orang di dalam.
Setelah didorong sedikit, ternyata pintu kamar mandi terkunci dari dalam.
Lelaki berkulit cokelat itu merasa ada keganjilan dengan kamar mandi yang
berada di hadapannya. Sejak mereka datang ke taman mini, kamar mandi itu tidak
terbuka selama dua puluh menit lebih. Iyan, lelaki berkulit cokelat mencoba menggedor
pintu serta memutar-mutar gerendel berkali-kali, memancing orang yang berada di
dalam untuk bersuara.
Di
dalam kamar mandi, bulir-bulir keringat dingin sebesar biji jagung mulai membasahi
wajah tampan Ipda Eddu. Ia tak bisa membayangkan kalau orang yang berada di
luar pintu nekat mendobrak pintu lalu menggerebek ia dan rekannya. Akan tetapi
Ipda Eddu tak henti-henti memanjatkan doa kepada Sang Tuhan memohon
keselamatan.
“Eh
Yan ngapain loe mendobrak-dobrak pintu kamar mandi? Ini fasilitas umum, pea. Kalau sampai rusak, bisa-bisa kita
diminta ganti rugi.”
“Iya
gua tahu, Cok tapi gua curiga kalau orang yang kita cari itu ada di kamar mandi
ini. Lagipula gua udah kebelet kencing nih,” sanggah Iyan sambil telunjuknya
mengarah ke pintu kamar mandi.
“Udah
lupain aja. Mungkin itu cuma perasaan lu doang. Pak Jonas bilang sama Pak
Sarman via whatsapp kalau kita
disuruh ke markas menghadap sama kepala pimpinan.”
“Ya
udahlah kalau begitu,” pasrah Iyan. Ia memalingkan diri dari sana lalu berjalan
bersamaan dengan Ucok, rekan sesama anggota HOVTA.
Kalau
dihitung-hitung sejak mereka datang ke taman mini sampai saat ini, bisa dibilang
mereka menghabiskan waktu 32 menit bersembunyi di kamar mandi umum. Dan Tuhan
mengabulkan doa Ipda Eddu. Setelah dirasa mereka berdua tidak ada suara-suara
yang mencari mereka, kedua perwira polisi itu mendorong engsel pintu. Tidak
langsung membuka lebar-lebar pintu kamar mandi. Mereka membuat sedikit celah mengintip
ke luar. Dua pasang mata bergerak ke kiri dan kanan lalu saling membuat isyarat
kalau keadaan di luar aman terkendali.
Mereka
berdua serempak keluar dari sana. Menarik napas panjang lalu dibuang dalam
sekali embusan besar. Lega rasanya bisa menghirup udara segar setelah 32 menit
bergumul dengan aroma kamar mandi yang tidak karuan. Sinar matahari di ufuk
timur mulai meredup. Gumpalan awan yang mengangkasa di langit mulai berurai
tipis. Setelah melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 15.50 sore. Sudah
saatnya mereka berdua bergerak ke markas guna melaporkan hasil temuan mereka
termasuk aksi kejar-kejaran mereka dengan anggota HOVTA.
Namun
sebelum jauh meninggalkan taman, sebuah suara memanggil mereka dari jarak 12
meter. Keduanya menghentikan langkah kaki mereka sambil menolehkan kepala ke
belakang. Pemilik suara itu langsung menghampiri orang yang dipanggilnya. Kedua
perwira polisi itu tak bisa menahan kekagetan yang terlihat jelas dari beliakan
dua kelopak mata mereka.

No comments:
Post a Comment