Tuesday, 9 October 2018

DUAL - 13


Sekali Lagi
            Fahnan mengepalkan kelima jarinya begitu kuat. Ia berusaha menahan getar amarah mulai menguasai dirinya. Ia tak menyangka kalau misi yang dia berikan akan berakibat pada terlukanya tiga anak buah pilihannya terkhusus Aretha dan Alvaro.
            “Mengapa kalian malah memilih berhadapan langsung dengan dua pengawalnya?” tanya Fahnan sambil mengencangkan rahangnya membendung emosi.
            “Mereka sudah tahu kalau kami sedang mengincar Dedy Rahmad Yahdi. Ketika kami hendak pergi kami sudah dikuntit dari belakang,” jelas Alvaro.
            “Kenapa kalian tidak mencari cara begitu agar kalian bisa menghindar dari mereka?” Fahnan menyerang mereka dengan rentetan pertanyaan seolah mereka bertiga memang layak disalahkan.
            “Pak Fahnan jangan bertingkah seolah kami bersalah atas kejadian ini. Ini juga semua salah Bapak karena tidak memberikan informasi yang jelas mengenai dua pengawal pribadi Dedy Rahmad Yahdi.” Karena tidak mau menjadi pihak yang disalahkan, Aretha memberikan bantahan kalau bosnya juga tidak lengkap memberikan informasi.
            “Sudahlah Aretha, Ayah, tidak ada gunanya saling menyalahkan satu sama lain. Lebih baik kita menyusun langkah agar kita bisa menghabisi Dedy Rahmad Yahdi.” Alvaro menaikkan volume suaranya lebih kuat agar situasi tidak semakin memanas.
            “Kalau begitu, apa rencana selanjutnya, Alvaro? Aku tidak mau mendengar kegagalan semacam ini lagi. Aku juga tidak ingin kehilangan kalian. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri kalau kalian sampai kenapa-napa. Kalau tahu akan begini, aku bisa saja membatalkan misi ini.”
            “Tidak perlu Ayah. Kami bisa mengatasi kendala ini.”
            Setelah meyakinkan sang ayah kalau misi ini tidak akan menemui kegagalan dua kali, Fahnan menaikkan resleting jaket kulit hingga menutupi bagian dada. Ia membiarkan tiga anak buahnya berada di sana sementara dirinya butuh menenangkan diri.
            Kini hanya ada mereka bertiga dalam kantor itu. Alvaro melirik arah Rudi yang masih diam tak berkomentar apapun.
            “Rudi...” Lelaki bertekstur wajah segitiga itu menelengkan kepala seraya menaikkan kedua alis mata merespons panggilan dari rekannya.
            “Apa kau punya orang-orang pilihanmu yang bisa diajak kerjasama untuk misi kali ini? Kami tidak mungkin mengandalkanmu dengan kondisimu yang seperti ini,” tanya Alvaro padanya. Rudi sebenarnya ingin menawarkan diri lagi bekerjasama dengan mereka berdua. Akan tetapi ia paham dengan apa yang terjadi pada dirinya.
            “Kau lihat saja di lantai satu di meja judi, lelaki berambut gimbal berwajah Melanesia berkulit cokelat tua. Namanya Santo Aruru. Kalian bisa mengandalkan dia.”
            “Terimakasih atas rekomendasinya, Rudi. Lebih baik kau istirahat dulu. Biar kami menyusun ulang rencana ini lalu menemui orang yang kaumaksud itu.” Rudi mengangkat pantatnya dari kursi beroda. Kini tinggallah Alvaro dan Aretha berada dalam kantor itu. Lelaki berahang petak itu mengambil tiga lembar kertas dari dalam laci lalu diletakkan diatas meja.  
            “Ayo kita susun.”
***
            Para anggota sindikat HOVTA sudah berdiri di posisi yang telah ditentukan. Ipda Eddu dan Aiptu Sarry berdiri dibarisan paling belakang dekat pintu. Wakil pimpinan, Setno Pradana berada di barisan paling depan sebelah kanan. Semua anggota menundukkan kepala ketika pimpinan mereka telah turun dari mobil Honda Jazz.
            “Selamat datang, Bapak Kepala.” Wakil pimpinan memberikan salam hormat terlebih dahulu sebelum pimpinannya memasuki pintu apartemen. Jonas yang merupakan tangan kanan pimpinan HOVTA juga ikut di belakangnya. Hanya saja ia memberikan jarak dengan sang pimpinan sekitar tiga puluh sentimeter.
            “Jonas..., di mana Anggara dan Fiolina?”
            “Saya mendengar dari anggota saya kalau mereka sedang melaksanakan misi yang Bapak berikan.”
            Lelaki bertongkat besi menghentikan langkah sepatunya sebelum memasuki pintu depan apartemen. Ia sempat berpikir misi apa yang diberikan pada kedua anggotanya sehingga mereka tidak datang dalam acara penyambutan kepulangan dirinya.
            “Benarkah?” Lelaki bertongkat itu bertanya seolah meragukan jawaban Jonas benar.
            “Saya tidak tahu pasti tetapi itulah informasi yang dikatakan anggota saya.” Jonas menggidikkan bahu, bersikap bahwa ia hanya sekadar menerima info bukan dirinya yang tahu secara langsung.
            “Baiklah, nanti sayaakan menghubungi mereka berdua, langsung.”
            Derap sepatu pantofel milik lelaki bertongkat itu mulai meninggalkan jejak di atas karpet merah. Sedikit lagi ia akan memasuki apartemen menuju ruang pribadinya di lantai dua. Secara tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Aipda Sari Susanti. Ia mengedipkan kelopak mata dengan cepat menandakan dirinya terkejut.
            “Hei... kamu anak baru di sini?”
            Aipda Sari berhasil mengatasi kegugupannya secara cepat lalu menjawab, “Iya Pak. Saya baru saja bergabung di grup ini tiga hari yang lalu. Saya bertugas di bagian pos penjagaan markas ini.”
            Ipda Eddu sempat mengalami serangan jantung kecil ketika target buruan mereka berada tepat di hadapan rekannya. Kalau bisa tangannya secepat kilat menarik pistol yang berada di pinggang, ia akan meletupkan pelurunya di dalam kepala targetnya. Akan tetapi dia tidak boleh gegabah atau membuat kekacauan sedikit pun. Kalau berkonfrontasi dengan mereka, itu sama saja memilih mati konyol di tangan mereka. Lagipula dia dan rekannya hanya diberikan misi mengamati saja bukan menghadapi HOVTA langsung . 
            “Oke. Jonas, bubarkan barisan.” Lelaki bertongkat itu memberikan instruksi tanpa harus menoleh pada Jonas.
            “Seluruhnya, bubar barisan, jalan.” Dua barisan berbanjar mulai menyerakkan diri mereka masing-masing, kembali pada tugas mereka masing-masing pula.
            Ipda Eddu dan Aipda Sari bersama-sama menuju pos jaga. “Tadi itu hampir saja. Aipda Sari kamu punya bakat peran yang bagus.” Ipda Eddu memuji kepandaian rekannya dalam hal berpura-pura.
            “Tapi Ipda Eddu kita tidak bisa berlama-lama di sini. Aku khawatir kalau dua laki-laki yang kita sekap akan sadarkan diri.”
            Saat mereka kembali ke pos jaga, salah satu anggota HOVTA tak sengaja memasuki pos jaga. Langkah kaki mereka terhenti tiga meter lagi menuju pos jaga tatkala Ipda Eddu dan Aipda Sari mendengar pekikan dari dalam sana.
            “Ada yang menyekap Yanto dan Sarman!” Teriakan itu membuat para anggota HOVTA yang berjaga di sekitar gedung berkumpul di pos jaga.
            Ipda Eddu dan Aipda Sari terpaksa mengikuti kerumunan itu agar mereka tidak mencurigai gerak-gerik keduanya. Hal yang membuat mereka berdua semakin degdegan yakni dua pria yang mereka sekap mulai sadarkan diri. Salah satu dari kerumunan anggota HOVTA melepaskan tali plastik yang mengikat kedua tangan dan pergelangan kaki kedua pria itu. Lalu membuang gumpalan kertas koran memenuhi mulut kedua pria yang tengah disekap itu.
            Setelah kertas koran itu dibuang dari mulut mereka, barulah kedua pria itu bisa membuang napas mereka secara lepas. Sebelum mereka diinterogasi, kedua pria itu menarik napas terlebih dahulu sebanyak tiga kali kemudian diberikan segelas air minum.
            “Apa yang terjadi dengan kalian? Siapa yang berani-beraninya melakukan hal ini pada kalian berdua? Dan kenapa kalian bisa berpakaian seperti tukang antar pizza?!” tanya salah satu anggota HOVTA yang ada di pos jaga.
            Sebelum menjawab rentetan pertanyaan  dijawab oleh mereka, Yanto dan Sarman melihat secara sekilas rekan-rekannya yang berkumpul di pos jaga. “Ada dua penyusup di antara kita yang berkumpul di sini. Mereka mencampurkan obat bius ke dalam pizza yang kami makan.”
            Mendengar penjelasan dari Yanto dan Sarman, mereka saling melihat satu sama lain apakah di antara mereka ada wajah-wajah asing yang tidak mereka kenali. Para anggota HOVTA sudah saling mengenali teman-teman mereka. Pandangan mata mereka akhirnya tertuju pada Ipda Eddu dan Aipda Sari yang masih berdiri di luar pos jaga.
            “Kalian berdua... aku sepertinya asing dengan wajah kalian.” Lelaki berwajah kekotakan dengan codet panjang di sebelah pipi kanan menyorot tajam pada mereka berdua.
            Jantung lelaki berpangkat Ipda itu mulai berdetak pelan-pelan dan semakin intens. Aka tetapi dia harus bisa mengendalikan diri dan menahan rasa takut. “Kami berdua anggota baru di sini, Bang.” Jawaban dari Ipda Eddu diikuti dengan anggukan pelan dari Aipda Sari.
            Merasa tidak yakin dengan  jawaban keduanya, lelaki bercodet itu bertanya sekali lagi, “Apa kode keanggotaanmu?”
            Untung saja mereka sudah tahu mengenai kode keanggotaan yang dimaksud lelaki bercodet itu. Kode keanggotaan yang dimaksud ialah kependekan dari HOVTA ‘HVT’ dan nomor empat digit merupakan bulan dan tanggal kelahiran masing-masing anggota.
            “HVT0521. HVT 0611,” jawab Ipda Eddu dan Aipda Sari bersamaan.
            Sebelum lelaki itu mengangguk yakin, Yanto dan Sarman menyuruh para rekannya membiarkan diri mereka berdua lewat guna melihat dua anggota asing yang sedang diselidiki si lelaki bercodet.
            “Ini dia. Ini dua orang tukang pizza yang menyusup ke markas kita. Dan topi yang mereka pakai itu adalah topi saya,” tuding Yanto pada mereka berdua. Para anggota HOVTA yang berkumpul di sana sudah bersiap untuk menyergap Ipda Eddu dan Aipda Sari. Akan tetapi mereka mendengar pekik kesakitan dari lelaki bercodet itu. Lengan kanannya ditelikung ke belakang secara tiba-tiba. Tubuhnya ditarik hingga menyentuh bagian dada Ipda Eddu. Aipda Sari sudah menodongkan pistol miliknya tepat di bagian kepala.
            “Sekali kalian bergerak, kami tidak yakin nyawa teman kalian ini bisa selamat,” ancam Aipda Sary, serius.
            Mereka yang tadi mulai bergerak, harus mau tidak mau menuruti perintah dari dua orang itu. Si lelaki bercodet tidak bisa berbuat banyak. Ia masih merasakan nyeri di bagian pergelangan tangan. Kalaupun ia bisa lepas dari kuncian itu, perempuan yang berada di sampingnya bisa saja melepaskan tembakan.
            Ipda Eddu dan Aipda Sari berjalan mundur teratur sambil tetap menyandera si lelaki bercodet. Ada yang mencoba bergerak tetapi langsung digertak Aipda Sari. Sampai mereka berdua sudah berjarak 10 meter dari luar daerah markas HOVTA, Ipda Eddu melemparkan si lelaki bercodet kemudian kedua berlari kencang meninggalkan kerumunan anggota HOVTA.
            “Jangan biarkan mereka lolos!” perintah si lelaki bercodet.
            Anggota HOVTA mulai menyusul kedua perwira polisi yang berlari cukup kencang. Salah satu anggota akan menarik pistol mereka tetapi ditahan Sarman. “Jangan tembak mereka. Jangan membuat hal-hal yang menimbulkan kekacauan. Yang terpenting kita harus menangkap mereka berdua.”
            Ipda Eddu dan Aipda Sari berusaha berlari sekencang mungkin. Untuk keluar dari daerah kekuasaan HOVTA di komplek apartemen Mangga Dua, keduanya harus menempuh jarak dua kilometer lagi. Tidak akan sempat singgah ke salah satu rumah tempat mereka menitipkan sementara sepeda motor mereka.
            “Apa aku tidak boleh mengangkat senjataku di sini, Ipda Eddu?”
            “Tidak boleh, Aipda Sari. Kau ingat ‘kan apa pesan yang disampaikan oleh atasan kita? Jangan sampai membuat keributan,” ujar Ipda Eddu sambil mempertahan kecepatan berlarinya.
            “Siap, Pak,” balas Aipda Sari. Keduanya harus melewati jalan berbelok menuju taman mini. Para pasukan HOVTA juga mengikuti mereka ke sana.
            “Apa yang selanjutnya kita lakukan, Pak? Mereka masih juga mengejar kita.”
            Ipda Eddu dipaksa berpikir cepat. Bola matanya berputar liar mengamati seluruh tempat di taman mini yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
            “Kita sembunyi di sana. Ayo.” Telunjuk Ipda Eddu mengarah pada sebuah kamar mandi umum yang kebetulan tidak ada orang di dalamnya. Keduanya segera memasuki kamar mandi yang kosong lalu menguncinya dari dalam.
            Keduanya tepat waktu sebelum para pasukan HOVTA berjumlah sepuluh orang telah tiba di taman mini. “Ke mana dua orang brengsek itu? Cepat banget mereka larinya,” ketus salah satu dari pasukan HOVTA yang berdiri lima belas meter dari kamar mandi umum. Kedua perwira polisi itu bisa mendengar suara-suara pasukan HOVTA yang kehilangan jejak mereka.
            “Kalau begitu, kita cari ke seluruh penjuru taman ini. Ayo berpencar.” Para pasukan HOVTA berpencar terbagi dalam tiga kelompok. Ipda Eddu dan Aipda Sari belum bisa bernapas lega. Detak jantung mereka tak bisa memelan walau sedetik saja. Bayang-bayang bahaya diburupara anggota HOVTA yang terkenal brutal dan sadis masih menjadi ketakutan tersendiri bagi keduanya. Dalam hati, mereka berdua masih mengucapkan doa agar salah satu dari mereka tidak tertangkap.
            Sudah delapan menit lamanya kedua perwira polisi itu berada di kamar mandi. Mereka harus menahan aroma tak sedap menguar dari kloset jongkok. Tapi demi keselamatan, mau tak mau keduanya harus melewati hal ini. Untuk saat ini mereka berdua boleh lega karena salah satu orang dari pasukan HOVTA tidak mencari sampai ke kamar mandi umum.
            “Haduh, aku malas sebenarnya berurusan dengan hal-hal beginian tapi apa daya, gua cuma pasukan biasa. Bukan kayak Pak Jonas, Pak Setno atau Pak Anggara yang bisa dekat-dekat sama bos pimpinan. Sudahlah. Kayaknya gua kebelet kencing nih.” Salah satu anggota HOVTA sudah berada di depan pintu kamar mandi. Ia memegang gerendel kemudian mendorong pelan guna mengetahui apakah ada orang di dalam. Setelah didorong sedikit, ternyata pintu kamar mandi terkunci dari dalam. Lelaki berkulit cokelat itu merasa ada keganjilan dengan kamar mandi yang berada di hadapannya. Sejak mereka datang ke taman mini, kamar mandi itu tidak terbuka selama dua puluh menit lebih. Iyan, lelaki berkulit cokelat mencoba menggedor pintu serta memutar-mutar gerendel berkali-kali, memancing orang yang berada di dalam untuk bersuara.
            Di dalam kamar mandi, bulir-bulir keringat dingin sebesar biji jagung mulai membasahi wajah tampan Ipda Eddu. Ia tak bisa membayangkan kalau orang yang berada di luar pintu nekat mendobrak pintu lalu menggerebek ia dan rekannya. Akan tetapi Ipda Eddu tak henti-henti memanjatkan doa kepada Sang Tuhan memohon keselamatan.
            “Eh Yan ngapain loe mendobrak-dobrak pintu kamar mandi? Ini fasilitas umum, pea. Kalau sampai rusak, bisa-bisa kita diminta ganti rugi.”
            “Iya gua tahu, Cok tapi gua curiga kalau orang yang kita cari itu ada di kamar mandi ini. Lagipula gua udah kebelet kencing nih,” sanggah Iyan sambil telunjuknya mengarah ke pintu kamar mandi.
            “Udah lupain aja. Mungkin itu cuma perasaan lu doang. Pak Jonas bilang sama Pak Sarman via whatsapp kalau kita disuruh ke markas menghadap sama kepala pimpinan.”
            “Ya udahlah kalau begitu,” pasrah Iyan. Ia memalingkan diri dari sana lalu berjalan bersamaan dengan Ucok, rekan sesama anggota HOVTA.
            Kalau dihitung-hitung sejak mereka datang ke taman mini sampai saat ini, bisa dibilang mereka menghabiskan waktu 32 menit bersembunyi di kamar mandi umum. Dan Tuhan mengabulkan doa Ipda Eddu. Setelah dirasa mereka berdua tidak ada suara-suara yang mencari mereka, kedua perwira polisi itu mendorong engsel pintu. Tidak langsung membuka lebar-lebar pintu kamar mandi. Mereka membuat sedikit celah mengintip ke luar. Dua pasang mata bergerak ke kiri dan kanan lalu saling membuat isyarat kalau keadaan di luar aman terkendali.
            Mereka berdua serempak keluar dari sana. Menarik napas panjang lalu dibuang dalam sekali embusan besar. Lega rasanya bisa menghirup udara segar setelah 32 menit bergumul dengan aroma kamar mandi yang tidak karuan. Sinar matahari di ufuk timur mulai meredup. Gumpalan awan yang mengangkasa di langit mulai berurai tipis. Setelah melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 15.50 sore. Sudah saatnya mereka berdua bergerak ke markas guna melaporkan hasil temuan mereka termasuk aksi kejar-kejaran mereka dengan anggota HOVTA.
            Namun sebelum jauh meninggalkan taman, sebuah suara memanggil mereka dari jarak 12 meter. Keduanya menghentikan langkah kaki mereka sambil menolehkan kepala ke belakang. Pemilik suara itu langsung menghampiri orang yang dipanggilnya. Kedua perwira polisi itu tak bisa menahan kekagetan yang terlihat jelas dari beliakan  dua kelopak mata mereka.

No comments:

Post a Comment