Negosiasi – 2
Ipda
Eddu dan Aipda Sari berada tepat di depan markas besar polres Bekasi. Mereka
berdua mengucapkan terimakasih atas tumpangan dari si pengendara mobil. Si
pengendara menekan klakson menandakan kalau ucapan terimakasih mereka diterima.
Sebelum melangkah memasuki markas, keduanya menunggu mobil itu melesat jauh
dari hadapan mereka. Lelaki berambut pendek itu melirik ke arah arloji. Jarum
panjang dan pendek dalam arloji menunjukkan pukul 18.03.
“Apa
kita masih sempat melaporkan kejadian yang sudah kita lihat, Bapak Ipda Eddu?
“Kelihatannya
markas masih ramai. Mungkin masih sempat. Ayo kita ke sana.” Keduanya melangkah
cepat menuju markas. Bagian depan markas masih dijaga tiga lelaki berpakaian
dinas polisi.
“Ipda
Eddu, apakah kita juga akan melaporkan
apa yang direncakan oleh mereka berdua?” Lelaki berparas gagah itu memilih
tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Ia masih berpikir sambil mengatur
langkah kakinya.
“Tidak
usah. Kalau urusan itu, aku sendiri yang akan melaporkan setelah Bapak Kompol Widjajanto mengumumkan
rencana penyergapan.”
***
“Aku
berani taruhan kalau kalian sedang mencari informasi mengenai kami berdua kan?”
tanya Anggara sambil berkacak pinggang di hadapan kedua polisi itu.
Ipda
Eddu dan Aipda Sari refleks mengangkat pistol mereka, mengacungkannya pada
kedua penjahat itu.
“Insting
kalian sebagai pemberantas kejahatan cukup bagus. Begitu tahu kalau target
mereka ada di depan mata, tangan kalian sudah bersiap-siap mengangkat senjata.”
“Tidak
usah banyak bicara. Cukup serahkan diri kalian baik-baik.Kami pun akan
memperlakukan kalian dengan baik pula.” Ipda Eddu tetap mengancungkan pistol
miliknya tepat di depan kening Anggara.
“Ini
daerah kekuasan musuh. Kalian nekat memasuki wilayah musuh tanpa memiliki
strategi matang. Kami bisa saja menelepon orang-orang HOVTA begitu kalian nekat
melakukan perlawanan atau kita bisa bicarakan ini baik-baik di dalam mobil
kami. Oh ya kalian pasti ingin pulang ke markas kalian, bukan?”
Hampir
saja kedua polisi itu gegabah. Walaupun terkesan sok tahu, namun yang dikatakan
lelaki berpostur tinggi itu ada benarnya. Tanpa mempersiapkan strategi matang
dan perintah langsung dari atasan, mereka akan mati sia-sia di kandang musuh.
Satu lagi, prioritas mereka datang ke sana hanya untuk mencari informasi
sedetail mungkin mengenai HOVTA.
“Apa
yang membuat kami bisa percaya dengan kalian?” Ipda Eddu memberikan isyarat
pada rekannya untuk menurunkan pistol mereka dari wajah mereka.
“Seperti
yang kukatakan tadi, kami akan memberikan kalian informasi mengenai HOVTA
sekaligus meminta bantuan kalian.”
“Seorang
kriminal besar meminta bantuan kepada kepolisian? That is not fucking funny! Kau ingin kami ikut mencari korban yang
bisa dibujuk atau dirayu supaya mereka mau menjual organ tubuh mereka? Jangan
harap kami akan melakukan hal sekeji itu.” Aipda Sarry ikut mempertanyakan
maksud perkataan Anggara yang terkesan aneh dan punya sesuatu mencurigakan di
dalamnya.
Anggara
berusaha menahan kekesalan dengan mengulas senyum kecil. Lelaki itu beralih
dari hadapan mereka menuju pintu mobil sebelah kanan. “Kita bisa bicarakan semuanya
secara baik-baik di sini.” Ipda Eddu mengartikan sorot mata yang ditujukan pada
mereka sebagai isyarat penuh keyakinan dan kejujuran. Ipda Eddu menoleh pada
Aipda Sarry seraya mengangguk kepala sekali menyetujui permintaan mereka.
Kedua perwira polisi itu sudah berada di dalam
mobil. Anggara duduk di tengah Ipda Eddu dan Aipda Sarry. Fiolina dipercayakan
untuk memegang kendali setir.
“Kau
harus menepati janjimu memberitahu kami informasi mengenai HOVTA dan
menjelaskan maksud perkataanmu yang bilang kau ingin meminta bantuan pada
kami.” Ipda Eddu mengingatkan perkataan Anggara pada mereka berdua.
“Baiklah,
itu sebabnya aku berada di tengah-tengah kalian. Tapi ada dua hal yang perlu
kupastikan juga dari kalian. Pertama, aku harap kalian tidak menyimpan borgol
di saku kantung kalian.”
“Kami
tidak membawa borgol ke sini. Cepatlah bercerita. Kami tidak punya banyak
waktu,” desak Ipda Eddu.
“Yang
kedua.” Anggara memberikan isyarat dengan membengkokkan jari telunjuk ke bawah
seperti menekan tombol. Fiolina mengangguk pelan. Ia menekan tombol yang
dimaksud Anggara. Keempat pintu mobil itu dalam kondisi terkunci dari dalam.
“Hei
apa maksudnya ini?” protes Aipda Sary.
“Aku
hanya memastikan keamanan saja. Baiklah, aku akan bercerita mengenai HOVTA.
HOVTA, sindikat perdagangan organ tubuh manusia bertaraf internasional yang
sudah ada sejak 2009. HOVTA beranggotakan lima puluh orang akan tetapi terus
mengalami penurunan hingga menjadi tiga puluh orang termasuk kami berdua di
dalamnya. Kami menggunakan sebuah tato berinisial HVT, tanggal dan bulan
kelahiran masing-masing anggota. Anggota yang lahir pada bulan Januari sampai
Mei diangkat kepala pimpinan menjadi bagian penting dalam HOVTA. Sisanya
menjadi pasukan biasa. Aku dan temanku di depan termasuk anggota yang lahir
dalam lima bulan yang ditentukan itu. Kami adalah tangan kanan kepala pimpinan
yang bertugas mencari korban dengan cara
kerjasamadan negosiasi. Bagaimana
sudah jelas?”
“Kau
bilang jumlah anggota awal mencapai lima puluh orang tapi kenapa bisa mengalami
penurunan sampai tigapuluh orang?” tanya Ipda Eddu.
“Itu
rahasia kami berdua. Kami tidak bisa mengatakannya kepada orang yang baru saja
kami kenal,” jawab Fiolina dari jok depan. Ipda Eddu berdecak kesal mendengar
jawaban Fiolina.
“Lalu
bagaimana dengan kepala pimpinan kalian? Apa yang kalian ketahui tentang kepala
pimpinan kalian?” Kini giliran Aipda Sary bertanya pada Anggara.
“Kami
tidak tahu banyak mengenai kepala pimpinan kami. Ia orang yang sangat
misterius. Jarang berbaur dengan anggota-anggota lain. Ia lebih suka mendengar
informasi dari orang-orang pilihannya seperti kami berdua. Kalau pun dalam
keadaan terpaksa, ia akan selalu mengenakan topeng,” jelas Anggara pada Aipda
Sary.
“Apa
dia memakai topeng karena wajahnya jelek?” ejek Aipda.
“Tidak
juga. Kepala pimpinan punya wajah cukup tampan meskipun beliau sudah memasuki
usia setengah abad,” tepis Fiolina pada ejekan perwira perempuan itu.
“Jadi?”
“Ya
karena begitulah kebiasaan pimpinan kami,” jawab Anggara enteng.
Kedua
perwira polisi itu kesal mendengarkan jawaban dari lelaki berambut pirang itu.
Tapi mereka harus menjaga wibawa agar tidak menunjukkan emosi spontan mereka.
Akan tetapi informasi yang diberikan kedua penjahat itu cukup berguna untuk
mereka dalam menyusun rencana untuk meringkus sindikat biadab yang sudah
beroperasi selama bertahun-tahun.
Mereka
berempat sempat diam untuk sesaat. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan
lagi. Namun Ipda Eddu mengamati dengan seksama anggota HOVTA yang ada di
kirinya.
“Kalian
berdua tahu, jika melihat wajah kalian, pertama kali aku tidak yakin kalau
kalian adalah anggota sindikat HOVTA. Wajah kalian belum cukup meyakinkanku
kalau kalian adalah penjahat kelas kakap. Aku berani bertaruh kalau kalian
tidak menyukai jalan hidup seperti ini kan? Kalian pasti menginginkan kehidupan
orang normal sebagaimana mestinya. Tidak berususan dengan yang namanya darah
dan kematian. Apa yang membuat kalian memilih menjadi seperti ini?” Ipda Eddu
mencoba memancing perasaan mereka dengan penguatan-penguatan positif.
Kedua
penjahat itu membisu selama tiga detik. Namun lewat dari tiga detik pun mereka
belum mau bersuara. Mungkin perkataan perwira polisi itu cukup membuat tanda
tanya besar dalam batin mereka.
“Apa
yang mau kau lakukan kalau kami mengungkapkan semuanya? Posisi kami adalah
seorang penjahat dan kau seorang penegak keadilan dan hukum. Apakah dengan
menjelaskan apa yang terjadi pada kami dahulu bisa mengubah kenyataan sekarang?
Apakah kami juga beroleh pengampunan? Apa yang terjadi di masa lalu, itulah
yang membentuk diri kami sekarang. Kami ada di masa sekarang karena dendam masa
lalu. Masa lalu merenggut orang tua kami, tempat tinggal, teman-teman bahkan
masa depan kami. Kami tidak punya alasan untuk hidup demi siapapun. Perlu kau
tahu, mereka dibunuh juga secara brutal dan sadis oleh orang-orang itu. Kami
berdua tidak bisa membiarkan siapapun mengambil semua seenaknya dari kami. Kami
ingin keadilan. Dan apa bisa dengan melaporkan kejadian itu, kalian bisa
menuntaskan semua secara gamblang dan jelas? Aku rasa itu tidak mungkin.
Sebagaimana rumit dan berbelitnya birokrasi di negara ini, seperti itulah
kalian institusi polisi. Kami tidak bisa menunggu lama. Kami perlu mencari
mereka secepat mungkin dan bergabung dengan HOVTA adalah jawabannya,” urai
Anggara secara runut. Fiolina cuma diam saja mendengar perkataan dari rekannya.
Kedua mata dan tangannya memang fokus pada jalanan dan setir tetapi hati tak
bisa menyangkal atau membantah apa yang dikatakan Anggara. Apa yang ingin
disampaikannya kepada dua perwira polisi itu, itu sudah tersampaikan pula oleh
Anggara.
Ipda
Eddu sudah menduga kalau umpan kecilnya berhasil memancing mereka untuk
mengungkapkan apa yang menjadi isi hatinya. Dia menggunakan sedikit trik
psikologi untuk mengorek informasi mengenai pikiran lawan bicaranya.
“Tapi,
apa yang siapa yang kau maksud dengan orang-orang itu, yang membantai orang tua
dan teman-temanmu?” tukas Aipda Sary.
“Kalau
kami mengatakan siapa orang itu, pasti kalian bertindak lebih dulu untuk
mencegah kami sebelum kami melakukan sesuatu pada mereka, bukan?” Anggara
langsung menebak ke mana maksud perkataan Aipda Sary.
“Itu
tidak penting. Yang terpenting sekarang, aku ingin mengajak kalian bekerjasama
memberangus sindikat HOVTA. Aku percaya kalau kalian pasti menunggu saat-saat
ini ‘kan? Menghabisi para penjahat kelas kakap seperti kami dan menerima
kenaikan pangkat secara signifikan atas pretasi yang kalian dapatkan.
Bagaimana? Kalian mau?”
“Apa
maksud perkataanmu itu, Anak Muda? Kau berupaya menghianati HOVTA?”
“Kira-kiraseperti
itulah gambarannya. Bagaimana kalian tertarik?”
“Kalian
pikir dengan mengadakan kerjasama kotor seperti ini kalian bisa lolos begitu
saja dari jeratan hukum?”
“Begini,
kau bisa menangkap kami langsung di markas kami. Lebih efisien ‘kan ketimbang kalian
harus menangkap kami di sini? Lagipula hasil tangkapan kalian akan lebih besar
dan banyak,” tawar Anggara pada kedua polisi itu. Keduanya benar-benar jengkel
melihat wajah bengal lelaki berambut pirang seolah sombong memenangkan lotre
berduit besar.
“Sudah
mau sampai rupanya. Sebagai bahan pertimbangan kalian, kami berdua akan
memberikan ini.” Fiolina memberikan secarik kertas berisi nama lengkap keduanya
beserta dengan nomor. Perempuan berkulit cokelat muda itu menekan tombol kecil
agar pintu mobil terbuka. Begitu pintu terbuka, kedua polisi itu turun dari jok
belakang. Ipda Eddu meremas kertas lalu memasukkannya ke dalam saku celana.
Begitu mengucapkan terimakasih, Anggara menutup pintu kanan dan kiri mobil
kemudian menyuruh Fiolina menambahkan
kecepatan meninggalkan markas kepolisian.

No comments:
Post a Comment