Wednesday, 24 October 2018

DUAL - 15


Negosiasi – 2
            Ipda Eddu dan Aipda Sari berada tepat di depan markas besar polres Bekasi. Mereka berdua mengucapkan terimakasih atas tumpangan dari si pengendara mobil. Si pengendara menekan klakson menandakan kalau ucapan terimakasih mereka diterima. Sebelum melangkah memasuki markas, keduanya menunggu mobil itu melesat jauh dari hadapan mereka. Lelaki berambut pendek itu melirik ke arah arloji. Jarum panjang dan pendek dalam arloji menunjukkan pukul 18.03.
            “Apa kita masih sempat melaporkan kejadian yang sudah kita lihat, Bapak Ipda Eddu?
            “Kelihatannya markas masih ramai. Mungkin masih sempat. Ayo kita ke sana.” Keduanya melangkah cepat menuju markas. Bagian depan markas masih dijaga tiga lelaki berpakaian dinas polisi.
            “Ipda Eddu, apakah kita juga  akan melaporkan apa yang direncakan oleh mereka berdua?” Lelaki berparas gagah itu memilih tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Ia masih berpikir sambil mengatur langkah kakinya.
            “Tidak usah. Kalau urusan itu, aku sendiri yang akan melaporkan  setelah Bapak Kompol Widjajanto mengumumkan rencana penyergapan.”
***
            “Aku berani taruhan kalau kalian sedang mencari informasi mengenai kami berdua kan?” tanya Anggara sambil berkacak pinggang di hadapan kedua polisi itu.
            Ipda Eddu dan Aipda Sari refleks mengangkat pistol mereka, mengacungkannya pada kedua penjahat itu.
            “Insting kalian sebagai pemberantas kejahatan cukup bagus. Begitu tahu kalau target mereka ada di depan mata, tangan kalian sudah bersiap-siap mengangkat senjata.”
            “Tidak usah banyak bicara. Cukup serahkan diri kalian baik-baik.Kami pun akan memperlakukan kalian dengan baik pula.” Ipda Eddu tetap mengancungkan pistol miliknya tepat di depan kening Anggara.
            “Ini daerah kekuasan musuh. Kalian nekat memasuki wilayah musuh tanpa memiliki strategi matang. Kami bisa saja menelepon orang-orang HOVTA begitu kalian nekat melakukan perlawanan atau kita bisa bicarakan ini baik-baik di dalam mobil kami. Oh ya kalian pasti ingin pulang ke markas kalian, bukan?”
            Hampir saja kedua polisi itu gegabah. Walaupun terkesan sok tahu, namun yang dikatakan lelaki berpostur tinggi itu ada benarnya. Tanpa mempersiapkan strategi matang dan perintah langsung dari atasan, mereka akan mati sia-sia di kandang musuh. Satu lagi, prioritas mereka datang ke sana hanya untuk mencari informasi sedetail mungkin mengenai HOVTA. 
            “Apa yang membuat kami bisa percaya dengan kalian?” Ipda Eddu memberikan isyarat pada rekannya untuk menurunkan pistol mereka dari wajah mereka.
            “Seperti yang kukatakan tadi, kami akan memberikan kalian informasi mengenai HOVTA sekaligus meminta bantuan kalian.”
            “Seorang kriminal besar meminta bantuan kepada kepolisian? That is not fucking funny! Kau ingin kami ikut mencari korban yang bisa dibujuk atau dirayu supaya mereka mau menjual organ tubuh mereka? Jangan harap kami akan melakukan hal sekeji itu.” Aipda Sarry ikut mempertanyakan maksud perkataan Anggara yang terkesan aneh dan punya sesuatu mencurigakan di dalamnya.
            Anggara berusaha menahan kekesalan dengan mengulas senyum kecil. Lelaki itu beralih dari hadapan mereka menuju pintu mobil sebelah kanan. “Kita bisa bicarakan semuanya secara baik-baik di sini.” Ipda Eddu mengartikan sorot mata yang ditujukan pada mereka sebagai isyarat penuh keyakinan dan kejujuran. Ipda Eddu menoleh pada Aipda Sarry seraya mengangguk kepala sekali menyetujui permintaan mereka.
             Kedua perwira polisi itu sudah berada di dalam mobil. Anggara duduk di tengah Ipda Eddu dan Aipda Sarry. Fiolina dipercayakan untuk memegang kendali setir.
            “Kau harus menepati janjimu memberitahu kami informasi mengenai HOVTA dan menjelaskan maksud perkataanmu yang bilang kau ingin meminta bantuan pada kami.” Ipda Eddu mengingatkan perkataan Anggara pada mereka berdua.
            “Baiklah, itu sebabnya aku berada di tengah-tengah kalian. Tapi ada dua hal yang perlu kupastikan juga dari kalian. Pertama, aku harap kalian tidak menyimpan borgol di saku kantung kalian.”
            “Kami tidak membawa borgol ke sini. Cepatlah bercerita. Kami tidak punya banyak waktu,” desak Ipda Eddu.
            “Yang kedua.” Anggara memberikan isyarat dengan membengkokkan jari telunjuk ke bawah seperti menekan tombol. Fiolina mengangguk pelan. Ia menekan tombol yang dimaksud Anggara. Keempat pintu mobil itu dalam kondisi terkunci dari dalam.
            “Hei apa maksudnya ini?” protes Aipda Sary.
            “Aku hanya memastikan keamanan saja. Baiklah, aku akan bercerita mengenai HOVTA. HOVTA, sindikat perdagangan organ tubuh manusia bertaraf internasional yang sudah ada sejak 2009. HOVTA beranggotakan lima puluh orang akan tetapi terus mengalami penurunan hingga menjadi tiga puluh orang termasuk kami berdua di dalamnya. Kami menggunakan sebuah tato berinisial HVT, tanggal dan bulan kelahiran masing-masing anggota. Anggota yang lahir pada bulan Januari sampai Mei diangkat kepala pimpinan menjadi bagian penting dalam HOVTA. Sisanya menjadi pasukan biasa. Aku dan temanku di depan termasuk anggota yang lahir dalam lima bulan yang ditentukan itu. Kami adalah tangan kanan kepala pimpinan yang bertugas mencari korban dengan cara  kerjasamadan  negosiasi. Bagaimana sudah jelas?”
            “Kau bilang jumlah anggota awal mencapai lima puluh orang tapi kenapa bisa mengalami penurunan sampai tigapuluh orang?” tanya Ipda Eddu.
            “Itu rahasia kami berdua. Kami tidak bisa mengatakannya kepada orang yang baru saja kami kenal,” jawab Fiolina dari jok depan. Ipda Eddu berdecak kesal mendengar jawaban Fiolina.
            “Lalu bagaimana dengan kepala pimpinan kalian? Apa yang kalian ketahui tentang kepala pimpinan kalian?” Kini giliran Aipda Sary bertanya pada Anggara.
            “Kami tidak tahu banyak mengenai kepala pimpinan kami. Ia orang yang sangat misterius. Jarang berbaur dengan anggota-anggota lain. Ia lebih suka mendengar informasi dari orang-orang pilihannya seperti kami berdua. Kalau pun dalam keadaan terpaksa, ia akan selalu mengenakan topeng,” jelas Anggara pada Aipda Sary.
            “Apa dia memakai topeng karena wajahnya jelek?” ejek Aipda.
            “Tidak juga. Kepala pimpinan punya wajah cukup tampan meskipun beliau sudah memasuki usia setengah abad,” tepis Fiolina pada ejekan perwira perempuan itu.
            “Jadi?”
            “Ya karena begitulah kebiasaan pimpinan kami,” jawab Anggara enteng.
            Kedua perwira polisi itu kesal mendengarkan jawaban dari lelaki berambut pirang itu. Tapi mereka harus menjaga wibawa agar tidak menunjukkan emosi spontan mereka. Akan tetapi informasi yang diberikan kedua penjahat itu cukup berguna untuk mereka dalam menyusun rencana untuk meringkus sindikat biadab yang sudah beroperasi selama bertahun-tahun.
            Mereka berempat sempat diam untuk sesaat. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan lagi. Namun Ipda Eddu mengamati dengan seksama anggota HOVTA yang ada di kirinya.
            “Kalian berdua tahu, jika melihat wajah kalian, pertama kali aku tidak yakin kalau kalian adalah anggota sindikat HOVTA. Wajah kalian belum cukup meyakinkanku kalau kalian adalah penjahat kelas kakap. Aku berani bertaruh kalau kalian tidak menyukai jalan hidup seperti ini kan? Kalian pasti menginginkan kehidupan orang normal sebagaimana mestinya. Tidak berususan dengan yang namanya darah dan kematian. Apa yang membuat kalian memilih menjadi seperti ini?” Ipda Eddu mencoba memancing perasaan mereka dengan penguatan-penguatan positif.  
            Kedua penjahat itu membisu selama tiga detik. Namun lewat dari tiga detik pun mereka belum mau bersuara. Mungkin perkataan perwira polisi itu cukup membuat tanda tanya besar dalam batin mereka.
            “Apa yang mau kau lakukan kalau kami mengungkapkan semuanya? Posisi kami adalah seorang penjahat dan kau seorang penegak keadilan dan hukum. Apakah dengan menjelaskan apa yang terjadi pada kami dahulu bisa mengubah kenyataan sekarang? Apakah kami juga beroleh pengampunan? Apa yang terjadi di masa lalu, itulah yang membentuk diri kami sekarang. Kami ada di masa sekarang karena dendam masa lalu. Masa lalu merenggut orang tua kami, tempat tinggal, teman-teman bahkan masa depan kami. Kami tidak punya alasan untuk hidup demi siapapun. Perlu kau tahu, mereka dibunuh juga secara brutal dan sadis oleh orang-orang itu. Kami berdua tidak bisa membiarkan siapapun mengambil semua seenaknya dari kami. Kami ingin keadilan. Dan apa bisa dengan melaporkan kejadian itu, kalian bisa menuntaskan semua secara gamblang dan jelas? Aku rasa itu tidak mungkin. Sebagaimana rumit dan berbelitnya birokrasi di negara ini, seperti itulah kalian institusi polisi. Kami tidak bisa menunggu lama. Kami perlu mencari mereka secepat mungkin dan bergabung dengan HOVTA adalah jawabannya,” urai Anggara secara runut. Fiolina cuma diam saja mendengar perkataan dari rekannya. Kedua mata dan tangannya memang fokus pada jalanan dan setir tetapi hati tak bisa menyangkal atau membantah apa yang dikatakan Anggara. Apa yang ingin disampaikannya kepada dua perwira polisi itu, itu sudah tersampaikan pula oleh Anggara.
            Ipda Eddu sudah menduga kalau umpan kecilnya berhasil memancing mereka untuk mengungkapkan apa yang menjadi isi hatinya. Dia menggunakan sedikit trik psikologi untuk mengorek informasi mengenai pikiran lawan bicaranya.
            “Tapi, apa yang siapa yang kau maksud dengan orang-orang itu, yang membantai orang tua dan teman-temanmu?” tukas Aipda Sary.
            “Kalau kami mengatakan siapa orang itu, pasti kalian bertindak lebih dulu untuk mencegah kami sebelum kami melakukan sesuatu pada mereka, bukan?” Anggara langsung menebak ke mana maksud perkataan Aipda Sary.
            “Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, aku ingin mengajak kalian bekerjasama memberangus sindikat HOVTA. Aku percaya kalau kalian pasti menunggu saat-saat ini ‘kan? Menghabisi para penjahat kelas kakap seperti kami dan menerima kenaikan pangkat secara signifikan atas pretasi yang kalian dapatkan. Bagaimana? Kalian mau?”
            “Apa maksud perkataanmu itu, Anak Muda? Kau berupaya menghianati HOVTA?”
            “Kira-kiraseperti itulah gambarannya. Bagaimana kalian tertarik?”
            “Kalian pikir dengan mengadakan kerjasama kotor seperti ini kalian bisa lolos begitu saja dari jeratan hukum?”
            “Begini, kau bisa menangkap kami langsung di markas kami. Lebih efisien ‘kan ketimbang kalian harus menangkap kami di sini? Lagipula hasil tangkapan kalian akan lebih besar dan banyak,” tawar Anggara pada kedua polisi itu. Keduanya benar-benar jengkel melihat wajah bengal lelaki berambut pirang seolah sombong memenangkan lotre berduit besar.
            “Sudah mau sampai rupanya. Sebagai bahan pertimbangan kalian, kami berdua akan memberikan ini.” Fiolina memberikan secarik kertas berisi nama lengkap keduanya beserta dengan nomor. Perempuan berkulit cokelat muda itu menekan tombol kecil agar pintu mobil terbuka. Begitu pintu terbuka, kedua polisi itu turun dari jok belakang. Ipda Eddu meremas kertas lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Begitu mengucapkan terimakasih, Anggara menutup pintu kanan dan kiri mobil kemudian menyuruh Fiolina  menambahkan kecepatan meninggalkan markas kepolisian.

No comments:

Post a Comment