Friday, 26 October 2018

DUAL - 16


Penderitaan yang Sama
            Alvaro dengan mobil Camry-nya sudah berada di depan pagar rumah Aretha. Lima belas menit lamanya agar perempuan berkulit putih itu keluar dari sana. Alvaro sudah menghabiskan tiga batang Surya untuk membunuh kebosanan.
            Lama sekali perempuan satu ini, ketus batin Alvaro sambil mengembuskan asap rokok ke atas awang-awang.
            Saat rokok itu mulai berpijar di ujung busa filter, lelaki berambut cepak ala tentara itu tak bisa mengedipkan kelopak mata selama lima detik. Entah berapa kalinya, matanya selalu dimanjakan dengan lihainya cara berpakaian Aretha. Untuk setelan atas, perempuan itu mengenakan kaus hitam berbahan katun. Bahan kaus itu cukup tipis dan agak menerawang hingga Alvaro bisa mengintip sedikit warna dan motif bra yang dipakai Aretha. Untuk setelan bawah, perempuan itu memakai celana jinsyang ketatnya hampir menceplak bentuk paha sampai mata kaki.  Kedua kaki mulusnya ditopang dengan flat shoes berwarna biru gelap.
            “Jangan nampakkan wajah mesummu itu padaku, Alvaro. Bukannya kita harus cepat-cepat pergi?” Aretha menepuk pelan pipi rekannya hingga lelaki itu tersentak kaget.
            “Oh i-iya. Lagipula kau yang membuat aku harus menunggu lama.” Alvaro menjatuhkan puntung rokoknya ke bawah lalu membuka pintu bagian depan di sebelah kirinya. Aretha memasukkan dirinya ke dalam kemudian disusul dengan Alvaro. Begitu keduanya sudah berada dalam posisi siap pergi, lelaki berambut cepak itu melesatkan mobil menjauhi kediaman Aretha.
            “Mana anggotanya si Rudi? Apa dia tidak ikut bersama dengan kita?” Lima menit lebih mobil itu melenggang di jalan raya, Aretha membuka tas sandang tergantung di pundak kiri. Ia merogoh sebuah sarung tangan kain berwarna hitam kemudian dikenakan di kedua tangan.
            “Apa kau lupa, dia sudah berada di kediaman Dedy Rahmad Yadi satu jam yang lalu untuk memata-matai apakah benar target akan pergi berlibur dengan keluarganya. Lagipula kau terlalu cepat menggunakan sarung tangan itu, Aretha,” ujar Alvaro sambil mengontrol setir dan jalan raya di hadapannya.
            “Tidak apa-apa, Alvaro. Untuk jaga-jaga saja.” Aretha menutup tas sandangnya lalu menyilangkan kedua tangannya ke bagian ketiak seperti orang sedang kedinginan.
            “Lagi demam ya?”
            “Iya, Al. Rada masuk angin gitu. Kayaknya gua kebanyakan begadang,” jawab Aretha jujur.
            “Kok bisa begitu?” tanya Alvaro balik.
            “Hampir dua minggu belakangan ini, gua mimpi kalau kita berdua bakalan mati. Gua lihat di mimpi gue kalau elu duluan bakal dihabisi sama seseorang yang gua sendiri enggak kenal. Dia seperti orang asing. Bukan anggota Killer Order atau HOVTA. Enggak hanya sekali. Ini sudah hampir ketiga kalinya. Mimpi ini bikin gua selalu terjaga. Apa ini pertanda buruk untuk kita?” Kedua tangan Aretha pindah ke bagian paha. Tatap mata Aretha menyiratkan kekhawatiran.
            “Kau terlalu berlebihan. Mimpi itu hanya bunga mimpi. Aku yakin ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu ‘kan? Ayo, ceritakan saja.”
            “Apa mungkin kalau Anggara dan Fiolina akan mengkhianati dan membunuh kita?” tambah Aretha.
            “Kamu ini kenapa sih?! Kenapa kamu malah mencurigai dua orang itu? Bukankah kita berdua sudah sepakat bekerjasama dengan mereka? Lagipula kamu ‘kan yang pertama kali membuka kesempatan bernegoisasi dengan mereka. Sebenarnya apa yang mengganggu pikiran kamu, Aretha?” Emosi Alvaro terpancing keluar gara-gara sikap rekannya hari ini mendadak aneh. Dalam batin Alvaro, tidak pernah rekannya menunjukkan sikap cengeng dan khawatir seperti anak mami manja.
            “Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Aretha Lili Meiliani? Tidak ada salahnya kau bercerita tentang apa yang kau rasakan.” kalau tadi lelaki berkulit kuning dikuasai amarah sesaat, kini ia menurunkan tekanan nada bicaranya menjadi lebih lembut untuk membujuk Aretha agar ia mau bicara.
            Gadis berwajah oval itu memilih diam saja. Ia memalingkan matanya ke arah luar kaca. Dirinya tidak menjawab apa yang ditanyakan rekannya. Alvaro mendengus kesal seraya memukul bulatan setir. Kini ia bersikap masa bodoh dengan apa yang dirasakan oleh rekannya. Ia mengalihkan konsentrasi pada setir dan jalan raya di hadapannya.
            Sebenarnya ia tidak tahan berlama-lama memalingkan diri dari hadapan Alvaro. Aretha berusaha curi-curi pandang, melirik lelaki yang berada di sampingnya. Ketika Alvaro hendak memutar lehernya, Aretha kembali bertingkah seolah ia masih marah dan tidak peduli.   Lelaki itu pun sepertinya tidak mau ambil pusing dengan apa yang rekannya lakukan. Ia tetap fokus. Lagi, Aretha menggerakkan sedikit lehernya. Ia kembali memandang Alvaro. Kedua katup bibirnya terbuka sedikit. Seperti akan menyampaikan sesuatu.
            Lagu metalcore Asking Alexandria yang menjadi nada dering handphone Aretha, sukses mengagetkan kedua insan manusia itu. Sontak Alvaro memandang heran bercampur kesal pada  rekannya.
            “Dari siapa?”
            “Santo Aruru.”
            “Cepat angkat.” Aretha menekan tombol hijau menjawab panggilan masuk dari Santo, “halo.”
            “Halo, ini Aretha? Apakah kalian berdua sedang di jalan?”
            “Ya kami sedang menuju perjalanan menuju rumah target. Apa mereka sudah mau berangkat?”
            “Aku cuma mau bilang segera ambil jalan tol. Kudengar keluarga Pak Dedy Rahmad Yadi akan berlibur ke pantai Pangandaran. Untung saja laju mobil mereka tidak terlalu cepat. Aku bisa mengikuti mereka dari belakang,” lapor lelaki berambut kriting itu lewat sambungan telepon.
            “Baiklah kalau begitu. Tetap awasi mereka. Tetap jaga jarak. Awas, jangan sampai mereka tahu.” Begitu mendapat jawaban dari rekannya, Aretha menekan tombol merah lalu menyimpan handphone  dalam saku celana sebelah kiri.
            “Kita lewat dari tol Jagorawi saja.” Alvaro langsung ambil keputusan seraya membelokkan kemudi ke kiri. Dua ratus meter di depan terdapat rambu “Anda Memasuki Kawasan Tol. Batas Kecepatan 100 km/jam.” Lelaki berkulit cokelat itu menarik persneling ke depan lalu dioper ke belakang. Jarum spedometer bergerak otomatis tapi pasti. Spedometer menunjukkan angka 83 km/jam.
            Meski sudah ada sabuk pengamat melintang di bagian dada, tetap saja Aretha tidak bisa mengabaikan rasa deg-degannya. Kecepatan mobil sudah memasuki angka 89 km/jam. Jemari Aretha tetap erat memegang sabuk.
            “Al, tidak bisa kembali kecepatan normal?” tanya perempuan berkulit putih halus itu.
            “Jangan sampai kita ketinggalan target. Itu misi kita,” respon Alvaro.
            Memasuki kawasan pemukiman penduduk kota, Alvaro mulai menurunkan kecepatan lalu memutar setir menuju kawasan kota kecil. Di kota ini, terdapat gedung-gedung tinggi namun tidak semegah gedung yang berada di kota yang mereka lewati sebelum memasuki jalan tol.  Di kota ini gedung tinggi didominasi apartemen dan rumh susun.
            “Coba kau tanya sama Santo, apa nomor plat mobil target kita?” Jemari perempuan cantik itu menekan monitor, merangkai huruf-huruf untuk pesan yang disampaikan pada Santo.
            T 55 DRY.
            Aretha membuka aplikasi Google Maps di handphone-nya lanjut mengetik tempat tujuan mereka. Aplikasi menunjukkan kalau mereka akan menghabisi waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai ke pantai Pangandaran. Setelah diamati baik-baik, mereka akan tiba di kawasan desa kecil yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam bunga melati dan daun teh. Akses jalan masih menggunakan pecahan batu padas untuk menutupi lubang-lubang besar di jalan.
            “Coba Aretha, kamu cari-cari nomor plat mobil yang ada di sebelah kananmu. Sementara aku mencari di sebelah kiri.” Bukannya melaksanakan apa yang dikatakan patnernya, Aretha malah sibuk memainkan Mobile Legends. 
            “Hei, dengar kalau orang lagi ngomong!” Alvaro menepuk agak kencang pundak Aretha. Ia hampir membuat handphone Arethaterjatuh.
            “Iyahh!,” ketus Aretha sambil tangan kanannya menggenggam kuat handphone itu lalu menghentikan aplikasi yang sedang ia mainkan. Ia konsentrasi dengan tugas yang diberikan Alvaro. Tidak banyak kendaraan bermotor lalu lalang di sekitar kawasan perkebunan melati. Lebih didominasi suara sepeda motor memadati jalan penuh kerikil tajam.Suara dari pecahan batu yang digilas ban mobil pribadi dan truk diesel menjadi kekhasan tersendiri apabila melewati jalanan seperti ini.
            Tak menemukan nomor plat yang dimaksud, Aretha kembali membuka Mobile Legends. Ia kembali ke arena setelah tadi AFK gara-gara Alvaro. Ketika ia menunggu loading, bola matanya menangkap sesuatu yang tengah mereka cari dari jarak pandang 220 meter.
            “Al, bukannya yang di depan sana itu motornya si Santo ya?”
            “Benar, dan juga di depan kita ada mobil Dedy Rahmad Yadi. Walaupun sudah ketemu, kita harus tetap jaga jarak. Biarkan Santo di depan. “ Alvaro tetap menjaga kecepatan dan jarak antara mobil sang target dengan mobilnya. Jangan sampai terlalu dekat dan jangan sampai mendahului terlalu cepat.
            Sebenarnya Alvaro sendiri pun ingin sekali mengeksekusi target mereka tetapi jalan mereka masih berupa lubang-lubang berukuran sedang dan kerikil tajam . Ia sudah tidak sabar ingin menghabisi target mereka sekaligus membalas dendam dengan apa yang dia perbuat kepada mereka bertiga melalui dua pengawalnya.
            Tinggal tersisa 1,2 kilometer lagi menuju jalan aspal. Lelaki berambut cepak itu masih tenang mengendalikan setir. Ia berusaha sebisa mungkin menghindari lubang-lubang yang menghiasi jalan menuju Pantai Pangandaran. Senyum Alvaro pelan-pelan sumringah ketika ia melihat aspal mulus terbentang di depan matanya.
            “Aretha, bilang pada Santo supaya dia agak menjauh dari mobil Dedy Rahmad Yadi. Suruh dia putar haluan, berpapasan dengan mobil target. Tembak mobil itu di bagian ban.” Tangan Aretha bergerak cepat memindahkan apa yang diinstruksikan Alvaro ke dalam bentuk teks.
            Sesudah pesan itu terkirim, Alvaro langsung menaikkan sedikit kecepatan mobil supaya ia bisa sedikit lebih dekat dengan target.
            Sementara di dalam mobil, calon gubernur Jawa Barat, Dedy Rahmad Yadi dan keluarganya sudah dilanda kepanikan. Terlebih lagi dua orang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Kedua anak perempuan itu tak henti meneteskan air mata sambil berdoa memohon keselamatan dari Tuhan.
            Istri Dedy Rahmad Yahdi, Nurhalijah Rahmad Yahdi mencoba menenangkan kedua anak perempuan mereka akan tetapi suara tangis bercampur sendu terus bergema di telinga keduanya. Lelaki berusia lebih setengah abad itu menaikkan kecepatan. Jarum spedometer bergerak dari angka 61km/jam menjadi 75 km/jam.
            Ketika mobil Dedy Rahmad Yadi sedang melaju kencang, seorang pengendara  motor NINJA DOUBLE R, juga melesat kencang berpapasan dengannya. Dedy Rahmad Yadi menduga kalau si pengandara motor ingin melakukan sesuatu yang tidak beres. Dari luar mobil terdengar suara ban mobil meletus. Fortuner yang dikendarai Dedy Rahmad Yadi, mendadak bergoyang ke kiri dan kanan. Lelaki tua itu mulai hilang keseimbangan mengendalikan setir. Dikarenakan ia dalam posisi kencang.
            Saat lelaki tua itu menekan pedal rem, kepala mobil bergerak liar. Ban mobil mulai berdecit kuat, memekakkan telinga. Istri dan dua anak Dedy Rahmad Yadi otomatis menutup telinga mereka. Jerit tangis dari kedua putri lelaki itu menyatu dengan kekacauan yang mulai mendominasi jalanan yang masih terlihat lengang tanpa pengendara kendaraan yang lain.
            Keduanya tidak memberikan kelonggaran pada keluarga Deddy. Alvaro mengarahkan setir menyerempet bagian luar mobil target. Ban depan  mobil hampir terangkat  dan sekali lagi Alvaro menubrukkan mobilnya hingga mobil itu benar-benar jungkir balik.
            “AYAHHH!” teriak salah seorang putri Deddy Rahmad Yahdi. Mobil yang dikendarai Deddy berguling-guling. Bagian luar mobil terseret aspal sampai akhirnya menabrak besi pembatas jalan.
            Alvaro, Aretha dan Santo berhenti tepat di depan besi pembatas jalan yang ditabrak mobil Deddy. Mereka bertiga menghampiri mobil ringsek itu sembari memastikan apakah keluarga Deddy Rahmad Yahdi sudah benar-benar mati. Darah mengalir deras dari kepala pasangan suami istri itu. Serpihan kaca memenuhi bagian lengan kiri dan separuh wajah keduanya. 
            Ketika ketiganya sudah berada di depan mobil, mereka mengintip dari kaca tebal yang menutupi bagian dalam mobil. Alvaro dan Santo mengklaim bahwa Deddy Rahmad Yadi dan istri sudah meninggal dunia. Akan tetapi saat Aretha menengok kondisi kedua putri Deddy Rahmad Yahdi, daun telinganya mendengar suara isak tangis pelan dari jok belakang. Gadis malang itu dalam kondisi lemah tak berdaya. Luka lecet hampir menghiasi bagian tangan.Kaus kasual yang dikenakan gadis itu sudah bau gosong. Lelehan darah dari kening hampir memenuhi raut wajah lugunya,
            “Ke-ke-kenapa ka-kalian...,” dalam kondisi setengah sadar, berbicara terbata-bata, putri Deddy yang masih selamat bicara kepada Aretha.
            “Ah ternyata masih ada yang selamat ya?” Santo langsung mendatangi Aretha ketika ia juga mendengar suara perempuan dari dalam mobil.
            “A-a-apa sa-salah ka-kami?” Ia berusaha menuntut jawaban dari kedua pembunuh yang berada di depannya.
            “Hehe salah kalian ya?” Santo menyunggingkan senyum bengis lalu disambungnya lagi, “siapa suruh kalian menjadi target kami.” Santo mengepalkan tangan lalu meninju kaca mobil. Kaca mobil pecah berkeping-keping terkena tinjuan Santo.
            “Bunuh dia, Aretha,” ujar Santo sambil menatap Aretha dingin.
            “Bu-bunuh dia?” tanya Aretha ragu.
            “Iya kau harus membunuh gadis itu, Aretha. Kalau dia kita biarkan hidup, dia pasti akan memberatkan langkah kita. Cepat lakukan Aretha sebelum jalanan ramai kembali,” sambung Alvaro sambil memastikan apakah jalan raya masih sepi.
            Bola mata Aretha melirik ke arah gadis yang dia perkirakan masih duduk di bangku SMP. Gadis itu terus meratap seraya mengeluarkan isak tangis sendu. Aretha tahu untuk siapa tetesan air mata gadis itu. Suara tangis gadis itu mengingatkan dirinya akan kejadian 8 tahun lalu. Kekelaman masa lalu karena kehilangan keluarga turut dirasakan batin Aretha. Kekelaman yang gadis itu rasakan menghalangi dirinya membunuh gadis itu.
             “Hei..., ada apa?” tanya Santo. Ia menengok ke arah Aretha. Ia mematung tak melakukan apapun yang disuruh Santo dan Alvaro. Ia hanya menatap gadis itu dengan perasaan takut dan tertekan.
            Khawatir jalanan kembali ramai, tanpa menunggu lama, Alvaro menarik pistol yang dijepit di pinggangnya lalu membidik ujung pistol ke arah kepala si gadis malang. Aretha yang masih tertegun, tak mampu menahan kaget saat ia mendengar letupan peluru sudah bersarang di kepala gadis itu.
            “ALVARO, APA YANG KAULAKUKAN?!” hardik Aretha.
            “Ayo kita pergi dari sini,” ujar Alvaro sambil menarik tangan rekannya. Santo Aruru bergerak menuju sepeda motornya yang terparkir di depan mobil yang sudah penyok dan lecet parah di bagian sampingnya.
            “Kelihatannya bos akan marah besar jika melihat kondisi mobilnya seperti ini.” Santo menyunggingkan senyum satir pada Alvaro tapi lelaki itu memilih tidak peduli. Ia tetap fokus apa urusannya, memaksa perempuan itu masuk ke mobil. Awalnya Aretha memberontak sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Alvaro yang terlalu erat pada pergelangan tangannya. Begitu Aretha sudah duduk di bangkunya, Alvaro menutup pintu samping lalu menekan pedal gas kuat.
            “Kenapa... kenapa kamu tega membunuh gadis itu, Alvaro?! Kamu enggak liat kalau dia menderita, hah?!” Aretha memberondong rekannya dengan pertanyaan-pertanyaan emosional.
            Alvaro berusaha mengendalikan diri agar tidak terpancing dengan amarah rekannya. Ia pura-pura tidak mendengarkan Aretha dengan konsentrasi pada setir dan jalan di hadapannya.
            “Kamu itu bodoh atau pura-pura enggak tahu?!! Target kita itu hanya membunuh Deddy Rahmad Yahdi bukan membunuh keluarganya apalagi gadis itu! Kamu paham?!”
            “DIAM!!!” bentak Alvaro. Kedua tangannya refleks menggebrak bulatan setir. Ketika konflik sedang berlangsung, keduanya mendapat klakson panjang berulang kali. Alvaro sontak membanting setir ke kiri ketika dirinya sadar kalau sedikit lagi kematian akan menjemput mereka perantara truk diesel.
            “Ini sudah jalan hidup kita, Aretha. Kita tidak bisa tahu si apa orang akan kita bunuh. Apakah dia dewasa, remaja, anak-anak atau pun bayi tak berdosa. Kita memperoleh kehidupan dari darah dan nyawa orang-orang yang kita habisi. Kau tahu, kalau kita membiarkan gadis itu hidup kita akan berada dalam masalah besar. Bisa-bisa kasus-kasus kita akan diangkat kepolisian ke ranah publik yang selama ini aman-aman saja. Jangan pernah libatkan perasaan semata pada profesi kita.” Lelaki berkulit cokelat muda itu mencoba mengatur hela napas yang semula berat. Juga sambil menurunkan lonjakan emosi yang meningkat secara tiba. Ia memberikan penjelasan logis mengenai apa yang dia lakukan pada gadis itu. Tetapi Aretha sendiri enggan mendengarkan penjelasan dari rekannya. Ia lebih memilih memalingkan wajahnya ke arah kaca penutup mobil.
            “Apakah selama kau menjadi hari-harimu sebagai pembunuh bayaran, kau selalu memberikan perasaanmu pada orang-orang yang kita bunuh? Atau, inikah sifat aslimu yang selalu kau coba tutup-tutupi, Aretha? Apakah kini kau baru menyadari kalau dirimu adalah seorang pembunuh?”
            Aretha membalas dengan kebisuan. Sorot matanya datar menatap kaca film mobil. Kelihatannya percuma membujuk Aretha untuk bicara. Alvaro memilih menyerah dan berkonsentrasi penuh pada setir.
            Selama menempuh perjalanan 65 km, bahasa diam dan sunyi menjadi pengisi perjalanan mereka. Alvaro berencana mengantar Aretha pulang ke rumah guna menenangkan diri. Untuk laporan misi pembunuhan Deddy Rahmad Yahdi dan pertanggungjawaban atas kerusakan mobil mereka yang kendarai, akan menjadi tanggungjawabnya bersama dengan Santo Aruru.
            “Pikirkanlah apa yang sebenarnya dirimu inginkan.” Akhir dari perjalanan dua jam tanpa bicara sama sekali terhenti di kediaman Aretha. Perempuan itu menarik gagang pintu ke depan lalu beranjak dari jok mobil. Tanpa mengucapkan salam, Aretha pergi begitu saja dari hadapan Alvaro.
            Perempuan itu melangkah menuju pintu gerbang. Ia menekan tombol bel yang menempel di tiang beton pagar. Sekuriti penjaga langsung membuka gembok, mendorong pagar mempersilahkan sang majikan lewat. Seorang wanita berumur 40 tahun bergegas menghampiri Aretha.
            “Ada apa, Non?”
            “Tolong siapkan air hangat di bathtub.” suruh Aretha disusul dengan anggukan kepala dari sang pembantu. Sesudah memberintah perintah, Aretha lanjut menuju kamarnya.
            Aretha membuka gagang pintu, melangkah lemah menuju ranjang. Ia menjatuhkan punggung di atas ranjang kemudian tatap matanya menerawang asbes-asbes yang terpasang di atas kamar tidurnya.
            Ke-ke-kenapa ka-kalian...
            A-a-apa sa-salah ka-kami?
            Perkataan terakhir dari gadis malang yang dibunuh Alvaro masih menghantui ruang pikiran Aretha. Air matanya terus meleleh dengan mudah. Seolah penderitaan yang dirasakan putri dari Deddy Rahmad Yahdi turut dia rasakan. Kesesakan dalam dada semakin menyeruak. Tapi Aretha tidak tau mesti bagaimana dia menghadapi kesesakan itu dan bagaimana melepaskannya.
            Aaaarrrrggh! Jeritan panjang Aretha menggema seisi kamar tidurnya.
***
            Jonas tersenyum lebar di hadapan tubuh perempuan tanpa tertutupi sehelai benang pun. Perempuan itu menatap lemah pada lelaki berkacamata itu.
            “Mengakulah atau aku masih bisa berbuat lebih kejam lagi daripada ini.”     Tangan Jonas dan pisau lipat yang digenggamnya terdapat lumuran darah kering.

No comments:

Post a Comment