Tipuan
Jumat,
27 Oktober 2017
Chyntia
masih berkutat dengan tumpukan map berisi statistik keuntungan dan perolehan
organ manusia yang didapatkan HOVTA selama empat tahun. Kacamata petak
tergantung tepat di depan kedua bola mata. Dirinya sedang mencocokkan apakah
data asli sudah sesuai dengan data hasil rekayasanya. Chyntia mengecek tiap
kata per kata, angka per angka.
Pada
hasil laporan yang asli, tahun 2013 jumlah ketersediaan ginjal mencapai 6 buah.
Namun setelah direkayasa, ia menggantinya menjadi 4 buah. Di pasar gelap harga
ginjal mencapai kurang lebih sembilan ratus juta rupiah. Seharusnya pendapatan
HOVTA dari hasil penjualan ginjal bisa mencapai lima miliar empat ratus juta
rupiah. Karena sudah ada campur tangan sang sekretaris, jumlahnya berubah
menjadi tiga miliar enam ratus juta rupiah. Catatan statistika tahun 2013 sudah
disesuaikan dengan data yang dia palsukan.
Konsentrasinya
beralih pada laporan tahun 2015. Perempuan itu beralih pada statistik
ketersedian liver di data asli sekitar 3 buah. Akan tetapi Chyntia malah menggetok
kepalanya sendiri ketika menyadari kalau ia lupa mengganti total penjualan
liver pada data hasil rekayasanya. Ia membuat total penjualan dua liver sama
dengan total penjualan tiga liver.
“Argh,
kenapa aku bisa selupa ini? Bagaimana kalau dia menyadari ketidaktelitianku?”
gerutu Chyntia pada dirinya sendiri.
Meski
masih dalam keadaan geram, Chyntia kembali mengoreksi data hasil rekayasanya
pada laporan tahun 2016. Ia mengerahkan seluruh konsentrasi untuk memeriksa apa
saja keteledorannya dalam merekayasa laporan HOVTA.
Bulir
keringat dingin mulai meluncur pelan dari kening mulusnya. Ia tak henti-henti
menyalahkan kecerobohannya. Ia tak sengaja mengubah tanggal persetujuan laporan
yang seharusnya tak bisa diubah. Pada data asli, persetujuan hasil laporan
ditandatangani tanggal pada 28 Desember
2016 tapi ia malah mengubahnya menjadi 29 Desember 2016. Padahal ia masih
mengingat kalau kepala pimpinan memerintahkan dirinya untuk membuat deadline penyusunan laporan pada tanggal
28 Desember 2018.
Dalam hati Chyntia, ia terus meyakinkan diri kalau
kepala pimpinan sindikat HOVTA bukanlah orang yang serba teliti. Namun
bagaimana kalau dua ketidaktelitian hasil data rekayasa miliknya diketahui oleh
Jonas?
Menurutnya
Jonas adalah sosok lelaki yang misterius. Lagi pula ia tidak terlalu mengenal
dekat lelaki itu. Tapi kalau dilihat dari penampilan luar dan keseharian Jonas,
perempuan berkulit cokelat muda itu menyimpulkan kalau lelaki berusia 27 tahun
itu merupakan sosok laki-laki kekanak-kanakan. Ia masih suka mengoleksi figure action anime Jepang serta
poster-poster anime seperti Full Metal
Alchemist, Code Geass,Tokyo Ghoul,Attack on Titan, Highschool
DxD dan anime jepang lainnya menyesaki tembok di ruang pribadinya. Pernah
Anggara dan Fiolina menyebutnya bocah wibu.
Chyntia
tak menyangka kalau lelaki yang sedang dia pikirkan tiba-tiba menyingkap
ruangannya.
“Kon’nichiwa, anata wa dodesu ka, Chyntia?”
sapa Jonas dengan bahasa dan logat Jepang yang ia pelajari secara otodidak.
Chyntia
setengah terkejut melihat kedatangan Jonas secara tiba-tiba ke ruangannya. Ia
mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan apa yang dikatakan temannya.
“Itu
artinya ‘hei sayang, apa kabar, Chyntia’. Jangan pasang muka cemberut gitu
dong. Serem.” Kini Jonas sudah berdiri di depan perempuan itu. Ia mengenakan
kemeja biru laut berlengan panjang dan dasi hitam panjang.
“Lain
kali ketuk pintu dulu sebelum masuk ke ruangan orang.” Chyntia menasihati
temannya dengan sikap was-was.
“Hei
aku sudah mengetuk pintumu tapi kelihatannya kau sedang serius,” elak lelaki
berkacamata kotak itu. Kemudian pandangannya beralih pada tumpukan berkas yang
belum dibereskan Chyntia dari meja kerjanya.
“Apa
ini? Kelihatannya menarik.” Ketika tangan Jonas akan menyentuh berkas itu,
tangan Chyntia menahan gerak tangan lelaki itu. “Jangan asal sentuh barang
orang lain.”
Tatap
mata Chyntia menyalak seperti akan menerkam Jonas. Menanggapi perlakuan
perempuan dari temannya, lelaki kurus itu tertawa terbahak. “Oke baik-baik.
Maafkan perbuatanku yang semberono ini ya, Chyntia. Kau mau memaafkanku kan?”
Chyntia
cuma diam saja. Ia tidak terlalu mempedulikan apa kata temannya. Keduanya
tangannya masih sibuk bekerja menyusun berkas-berkas laporan rekayasa miliknya yang
hampir disentuh oleh Jonas.
“Kau
tahu kenapa aku berpakaian rapi dan formal seperti ini? Karena kepala pimpinan
akan pulang hari ini.” Jonas menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri.
Perempuan
berwajah bulat itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Raut wajah khawatir
itu tidak bisa ditutup-tutupi, alami. Alam pikirannya segera memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan
buruk apabila kepala pimpinannya mengetahui ketidakberesan hasil laporan
sindikat HOVTA.
“Darimana
kau bisa tahu?” respons Chyntia.
“Kepala
pimpinan sendiri yang meneleponku. Hei ngomong-ngomong, ke mana dua
cecurutbusuk itu pergi? Sudah dua hari mereka belum pulang ke markas.”
“Mereka
sedang ada tugas. Pak Setno memerintahkan mereka mengantar kantung darah ke
salah satu rumah sakit yang ada di Tangerang. Oh ya mereka punya nama. Nama
mereka Anggara dan Fiolina.”
“Oh
ya, kau tahu aku sangat membenci mereka. Kan kalau seseorang sudah membenci,
segala sesuatu tentang orang yang mereka benci pastilah buruk. Mereka sama
buruknya dengan cecurut,” jawab Jonas enteng. Baru kali ini Chyntia mendengar
lelaki itu berkata-kata. Ia tak menduga kalau lelaki yang tampangnya lemah dan
terlihat culun itu, mampu mengeluarkan perkataan sepedas dan sehina itu pada
sesama rekannya.
“Lebih
baik kau keluar dari ruanganku daripada kau membuat mood-ku memburuk,” ujar Chyntia seraya menarik kunci lacinya.
Jonas
mengulum senyum pada perempuan di depannya lalu berkata, “Sebenarnya maksudku
datang kemari, aku ingin mengajakmu ikut bersamaku menjemput kepala pimpinan di
Bandara Halim Perdana Kusuma. Sekalian mengajakmu makan di resto juga.
Bagaimana?” ajak Jonas.
“Aku
tidak salah dengar ‘kan?”
“Tidak.
Ini sungguhan. Kau tidak mau?” tebak Jonas, blak-blakan.
Chyntia
berpikir sejenak sebelum menentukan keputusan. Memang tidak ada salahnya kalau
ia menerima ajakan dari rekan kerjanya. Ia ingin tahu bagaimana sifat lelaki
itu apabila dia sedang berdua dengan seorang wanita sekaligus mencari informasi
lebih mengenai kepala pimpinan. Chyntia tahu kalau Jonas merupakan tangan kanan
kepala pimpinan kedua setelah Anggara.
“Baiklah
aku terima tawaranmu tapi kau bisa menungguku sebentar? Aku mau ganti pakaian
dulu.” Jonas mengangguk pelan mengiyakan permintaan perempuan itu. Chyntia
mengulurkan tangan ke arah pintu mengisyaratkan agar lelaki itu keluar sebentar
saat ia mengganti pakaian. Jonas sekali lagi mengangguk pelan seraya
memalingkan badan.
Kini
Jonas berada di luar ruangan Chyntia. Ia berdiri di balik tembok lalu melirik
sedikit ke arah kantong belakang celana satin hitamnya. Lelaki itu menyeringai
perlahan melihat benda itu masih tersimpan rapi di dalam sana.
***
Ipda
Eddu Afrianto dan Aiptu Sary Sustina sudah tiba di depan apartemen Sinar
Perkasa. Akan tetapi mereka tidak mengenakan seragam dinas polisi. Mereka
menggunakan seragam pegawai Pizza Hot
delivery. Mereka berpura-pura sebagai tukang antar pizza ke markas sindikat HOVTA. Walaupun sempat ragu kalau usaha
mereka akan berhasil, akan tetapi karena perintah dan demi membalaskan dendam,
mereka harus siap apapun yang terjadi.
“Apa
benar ini, Aiptu Sary?”
“Ini
sesuai dengan alamat yang tertulis di kertas ini, Ipda Eddu. Itu pos jaganya.
Ayo kita ke sana,” ajak Aiptu Sarry pada rekannya.
Sebelum
menuju apartemen, mereka tadi memarkirkan sepeda motor di rumah salah satu
penduduk yang ada di sana. Kemudian berjalan lima puluh meter lagi dari rumah
penduduk ke tempat tujuan mereka.
Sesampainya
mereka berdua, pos berukuran 3x4 meter itu diisi oleh dua lelaki berkaos
cokelat. Salah satunya mengenakan jaket kulit hitam. Dilihat dari tampang kedua
lelaki itu, sepertinya tidak meyakinkan kalau mereka akan memperoleh banyak
informasi. Akan tetapi tidak ada salahnya dicoba menurut pikiran Ipda Eddu.
“Permisi
Pak. Kami mengantar pizza pesanan Bapak Sarman. Boleh panggilan beliau?” tanya
Aiptu Sary.
Dua
penjaga pos itu beradu pandang. Mungkin berpikir-pikir apakah ada rekan mereka
bernama Sarman. Setelah lama berpandangan, mereka menoleh kembali ke arah
tukang antar pizza itu. “Pesanan bapak
Sarman...? Tunggu sebentar ya, biar kami lihat.”
Lelaki
berjaket kulit hitam bangkit berdiri lalu memalingkan badan mengarah ke pintu
masuk apartemen. Kedua perwira polisi itu menggunakan kesempatan untuk mengorek
informasi dari salah satu anggota sindikat HOVTA.
“Lebih
baik Bapak letakkan saja pizza-nya di sini. Manatahu orangnya lagi enggak ada
hehehe,” ucap lelaki berkaos hitam sambil tertawa garing. Ipda Eddu yang
memegang pizza menuruti perkataan lelaki itu. Ia meletakkan pizza sesuai tempat
yang ditunjukkan lelaki berkaos hitam itu.
Lelaki
berkaos hitam itu mengambil dua bangku plastik kemudia disodorkan pada dua
tukang antar pizza itu. “Silakan duduk, Pak.” Kedua polisi itu mendaratkan
pantat mereka di atas kursi plastik yang tersedia untuk mereka.
“Kalau
boleh tahu namanya siapa, Pak?” tanya Ipda Eddu.
“Nama
saya Sarif, Pak. Jangan panggil Bapak usia saya masih 33 tahun. Panggil saja
Abang. Bapak sendiri namanya siapa?” Lelaki berkaos hitam dengan bentuk wajah
kekotakan memperkenalkan diri seraya tertawa kecil. Sarif menanyakan nama
laki-laki tukang antar pizza itu.
“Nama
saya Yanto, Bang. Usia saya masih 30 tahun, Bang. Jangan dipanggil Abang juga.”
Sarif
mengangguk pelan lalu tangan kanannya
menunjuk pada Aipda Sary. “Lalu mbak ini namanya siapa?”
“Nama
saya Susti, Bang,” ucap Ipda Sary dengan kuluman senyum tegas. Lelaki yang
merupakan penjaga markas curi-curi pandang pada perempuan tukang antar pizza itu. Paras Aiptu Sarry memang
menawan. Ia tipikal perempuan berwajah tegas, memilik tahi lalat kecil di
pinggir kanan bibirnya. Berwajah oval. Rambut sebahu lurus tergerai. Lirik mata
Sarif juga mengarah pada ukuran dada Aiptu Sarry yang terbilang cukup
memanjakan pikiran kotor para lelaki.
“Udah
lama, Bang, jadi tukang antar pizza?” Sarif mengalihkan pikiran kotornya dengan
mengajukan pertanyaan pada Ipda Eddu yang memakai nama samaran Yanto.
“Baru
3 tahun, Bang. Abang kerja di sini sebagai satpam?”
“Iya,
Bang. Bisa dibilang satpam apartemen inilah.”
“Kalau
boleh tahu, apartemen ini milik siapa ya Bang?” Ketika Ipda Erru ingin mengorek
informasi tentang pemilik apartemen itu, teman Sarif yang mengenakan jaket
hitam menginterupsi percakapan mereka.
“Enggak
ada di sini yang namanya Sarman, Pak. Mungkin Anda salah alamat,” ujar lelaki
itu.
“Kalau
begitu kita beli aja, Don. Ngomong-ngomong berapa sekotak pizzanya, Bang?”
“Lima
puluh ribu, Bang.” Sarif menarik dompet kulit imitasi miliknya lalu menyodorkan
uang nominal seratus ribu rupiah untuk membayar dua kotak pizza. Begitu sudah dibayar, tangan Sarif langsung
melepas selotip transparan yang melekat pada pembungkus pizza.
Kedua
lelaki itu cukup lahap memakan pizza itu. Padahal mereka tidak tahu kalau pizza
itu sudah diberikan obat tidur dengan dosis 30%. Mungkin sekitar 4 menit
kemudian, mereka akan merasa kepala mereka berat disertai dengan kantuk.
“Hmm
permisi Bang, ngomong-ngomong, kalau boleh tahu siapa ya pemilik apartemen
ini?” Aiptu Sary mengulang kembali pertanyaan dari rekannya.
“Oh
ya, apartemen ini milik orang Cina. Dia seorang pengusaha hotel dan spa di tiga
cabang di kota ini.
“Kami
boleh tahu siapa namanya?” Ipda Eddu Afrianto mencoba membuka memancing Sarif
lebih jauh lagi.
Ketika
mulutnya hendak mengatakan, lelaki berjaket kulit hitam itu membeliakkan mata
sambil berdecak kuat, memberi isyarat agar ia tidak berkata lebih jauh lagi.
“Oh
ya maaf sebelumnya. Itu rahasia dan sudah menjadi peraturan di apartemen ini,”
tolak Sarif secara halus. Mulut kedua pria itu masih aktif mengunyah pizza.
Sementarakedua perwira polisi itu memilih diam lalu memandang satu sama lain.
Mereka berkomunikasi lewat tatap mata, memikirkan apa lagi pertanyaan yang bisa
memancing kedua anggota sindikat itu agar mau membuka mulutnya tentang siapa
pimpinan besar mereka.
Empat
menit berlalu ketika melahap potongan pizza, Sarif dan temannya mulai memegang
kepala mereka. Keduanya mengernyitkan kening mereka sambil menggelengkan kepala
berharap pening dan kunang-kunang yang menguasai otak mereka sirna. Akan tetapi
hal itu tidak memberikan hasil apa-apa.Sebelum jatuh pingsan, Sarif mengarahkan
pandangan pada dua tukang pizza yang masih berdiri di hadapan mereka.
“Kalian...”
Sarif tak sempat berkata-kata lebih banyak. Ia dan temannya langsung tak
sadarkan diri.
Ipda
Eddu dan Aiptu Sarry menghampiri kedua penjaga pos seraya menggoyang-goyangkan
badan mereka, memastikan obat tidur itu benar-benar bekerja.
“Ini
kesempatan kita, Aiptu Sarry. Kita akan menyusup ke dalam markas mereka dengan
menggunakan seragam kedua penjaga ini. Tapi kita harus cepat. Sebelum sebelum
ada yang memergoki kita,” instruksi Ipda Eddu ditanggapi dengan anggukan tegas
dari Aiptu Sarry. Sebelum menyekap mereka, Ipda Eddu dan Aiptu Sarry melucuti
pakaian yang dikenakan kedua penjaga pos itu.
Ipda
Eddu mengenakan pakaian Sarman sedangkan Aiptu Sarry memakai pakaian Sarif. Tergesa-gesa
keduanya mengganti pakaian sebelum para anggota HOVTA memergoki perbuatan
mereka. Usai berganti pakaian, keduanya beralih pada dua penjaga pos yang masih
tak sadarkan diri. Mereka langsung mengikatkan tali rafia hitam pada kedua
pergelangan tangan dan kaki dua lelaki paruh baya itu. Mulut mereka juga
disumpal dengan bulatan kertas koran.
Mereka
berdua menyembunyikan dua pria itu dan kotak pizza di bawah kolong meja dan
bersikap seperti biasa. Kedua perwira polisi mengambil posisi masing-masing.
Ipda Eddu pura-pura membaca koran dan Aiptu Sarry memainkan gawai pribadinya.
Berselang
enam menit setelah mereka mengambil alih pos jaga, seorang lelaki yang
diperkirakan berusia 20 tahun menghampiri mereka. “Siapkan diri kalian.
Sebentar lagi, kiita akan menyambut kepulangan pimpinan ke markas.” Setelah
memnberikan pengumuman lelaki berusia 20 tahun itu membalikkan badan, menjauh
dari pos jaga.
“Ini
kesempatan kita,” kata Ipda Eddu pada rekannya. Keduanya begitu bersemangat dan
tidak sabaran melihat orang yang selama ini mereka buru. Ipda Eddu meraba-raba
pistol yang terjepit di pinggang celana jinsnya.

No comments:
Post a Comment