Friday, 5 October 2018

DUAL - 12


Tipuan
            Jumat, 27 Oktober 2017
            Chyntia masih berkutat dengan tumpukan map berisi statistik keuntungan dan perolehan organ manusia yang didapatkan HOVTA selama empat tahun. Kacamata petak tergantung tepat di depan kedua bola mata. Dirinya sedang mencocokkan apakah data asli sudah sesuai dengan data hasil rekayasanya. Chyntia mengecek tiap kata per kata, angka per angka.
            Pada hasil laporan yang asli, tahun 2013 jumlah ketersediaan ginjal mencapai 6 buah. Namun setelah direkayasa, ia menggantinya menjadi 4 buah. Di pasar gelap harga ginjal mencapai kurang lebih sembilan ratus juta rupiah. Seharusnya pendapatan HOVTA dari hasil penjualan ginjal bisa mencapai lima miliar empat ratus juta rupiah. Karena sudah ada campur tangan sang sekretaris, jumlahnya berubah menjadi tiga miliar enam ratus juta rupiah. Catatan statistika tahun 2013 sudah disesuaikan dengan data yang dia palsukan.
            Konsentrasinya beralih pada laporan tahun 2015. Perempuan itu beralih pada statistik ketersedian liver di data asli sekitar 3 buah. Akan tetapi Chyntia malah menggetok kepalanya sendiri ketika menyadari kalau ia lupa mengganti total penjualan liver pada data hasil rekayasanya. Ia membuat total penjualan dua liver sama dengan total penjualan tiga liver.
            “Argh, kenapa aku bisa selupa ini? Bagaimana kalau dia menyadari ketidaktelitianku?” gerutu Chyntia pada dirinya sendiri.  
            Meski masih dalam keadaan geram, Chyntia kembali mengoreksi data hasil rekayasanya pada laporan tahun 2016. Ia mengerahkan seluruh konsentrasi untuk memeriksa apa saja keteledorannya dalam merekayasa laporan HOVTA.
            Bulir keringat dingin mulai meluncur pelan dari kening mulusnya. Ia tak henti-henti menyalahkan kecerobohannya. Ia tak sengaja mengubah tanggal persetujuan laporan yang seharusnya tak bisa diubah. Pada data asli, persetujuan hasil laporan ditandatangani tanggal pada  28 Desember 2016 tapi ia malah mengubahnya menjadi 29 Desember 2016. Padahal ia masih mengingat kalau kepala pimpinan memerintahkan dirinya untuk membuat deadline penyusunan laporan pada tanggal 28 Desember 2018.
            Dalam  hati Chyntia, ia terus meyakinkan diri kalau kepala pimpinan sindikat HOVTA bukanlah orang yang serba teliti. Namun bagaimana kalau dua ketidaktelitian hasil data rekayasa miliknya diketahui oleh Jonas?
            Menurutnya Jonas adalah sosok lelaki yang misterius. Lagi pula ia tidak terlalu mengenal dekat lelaki itu. Tapi kalau dilihat dari penampilan luar dan keseharian Jonas, perempuan berkulit cokelat muda itu menyimpulkan kalau lelaki berusia 27 tahun itu merupakan sosok laki-laki kekanak-kanakan. Ia masih suka mengoleksi figure action anime Jepang serta poster-poster anime seperti Full Metal Alchemist, Code Geass,Tokyo Ghoul,Attack on Titan, Highschool DxD dan anime jepang lainnya menyesaki tembok di ruang pribadinya. Pernah Anggara dan Fiolina menyebutnya bocah wibu.
            Chyntia tak menyangka kalau lelaki yang sedang dia pikirkan tiba-tiba menyingkap ruangannya.
            Kon’nichiwa, anata wa dodesu ka, Chyntia?” sapa Jonas dengan bahasa dan logat Jepang yang ia pelajari secara otodidak.
            Chyntia setengah terkejut melihat kedatangan Jonas secara tiba-tiba ke ruangannya. Ia mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan apa yang dikatakan temannya.
            “Itu artinya ‘hei sayang, apa kabar, Chyntia’. Jangan pasang muka cemberut gitu dong. Serem.” Kini Jonas sudah berdiri di depan perempuan itu. Ia mengenakan kemeja biru laut berlengan panjang dan dasi hitam panjang.
            “Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk ke ruangan orang.” Chyntia menasihati temannya dengan sikap was-was.
            “Hei aku sudah mengetuk pintumu tapi kelihatannya kau sedang serius,” elak lelaki berkacamata kotak itu. Kemudian pandangannya beralih pada tumpukan berkas yang belum dibereskan Chyntia dari meja kerjanya.
            “Apa ini? Kelihatannya menarik.” Ketika tangan Jonas akan menyentuh berkas itu, tangan Chyntia menahan gerak tangan lelaki itu. “Jangan asal sentuh barang orang lain.”
            Tatap mata Chyntia menyalak seperti akan menerkam Jonas. Menanggapi perlakuan perempuan dari temannya, lelaki kurus itu tertawa terbahak. “Oke baik-baik. Maafkan perbuatanku yang semberono ini ya, Chyntia. Kau mau memaafkanku kan?”
            Chyntia cuma diam saja. Ia tidak terlalu mempedulikan apa kata temannya. Keduanya tangannya masih sibuk bekerja menyusun berkas-berkas laporan rekayasa miliknya yang hampir disentuh oleh Jonas.
            “Kau tahu kenapa aku berpakaian rapi dan formal seperti ini? Karena kepala pimpinan akan pulang hari ini.” Jonas menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri.
            Perempuan berwajah bulat itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Raut wajah khawatir itu tidak bisa ditutup-tutupi, alami.  Alam pikirannya segera memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan buruk apabila kepala pimpinannya mengetahui ketidakberesan hasil laporan sindikat HOVTA.
            “Darimana kau bisa tahu?” respons Chyntia.
            “Kepala pimpinan sendiri yang meneleponku. Hei ngomong-ngomong, ke mana dua cecurutbusuk itu pergi? Sudah dua hari mereka belum pulang ke markas.”
            “Mereka sedang ada tugas. Pak Setno memerintahkan mereka mengantar kantung darah ke salah satu rumah sakit yang ada di Tangerang. Oh ya mereka punya nama. Nama mereka  Anggara dan Fiolina.”
            “Oh ya, kau tahu aku sangat membenci mereka. Kan kalau seseorang sudah membenci, segala sesuatu tentang orang yang mereka benci pastilah buruk. Mereka sama buruknya dengan cecurut,” jawab Jonas enteng. Baru kali ini Chyntia mendengar lelaki itu berkata-kata. Ia tak menduga kalau lelaki yang tampangnya lemah dan terlihat culun itu, mampu mengeluarkan perkataan sepedas dan sehina itu pada sesama rekannya. 
            “Lebih baik kau keluar dari ruanganku daripada kau membuat mood-ku memburuk,” ujar Chyntia seraya menarik kunci lacinya.
            Jonas mengulum senyum pada perempuan di depannya lalu berkata, “Sebenarnya maksudku datang kemari, aku ingin mengajakmu ikut bersamaku menjemput kepala pimpinan di Bandara Halim Perdana Kusuma. Sekalian mengajakmu makan di resto juga. Bagaimana?” ajak Jonas.
            “Aku tidak salah dengar ‘kan?”
            “Tidak. Ini sungguhan. Kau tidak mau?” tebak Jonas, blak-blakan.
            Chyntia berpikir sejenak sebelum menentukan keputusan. Memang tidak ada salahnya kalau ia menerima ajakan dari rekan kerjanya. Ia ingin tahu bagaimana sifat lelaki itu apabila dia sedang berdua dengan seorang wanita sekaligus mencari informasi lebih mengenai kepala pimpinan. Chyntia tahu kalau Jonas merupakan tangan kanan kepala pimpinan kedua setelah Anggara.
            “Baiklah aku terima tawaranmu tapi kau bisa menungguku sebentar? Aku mau ganti pakaian dulu.” Jonas mengangguk pelan mengiyakan permintaan perempuan itu. Chyntia mengulurkan tangan ke arah pintu mengisyaratkan agar lelaki itu keluar sebentar saat ia mengganti pakaian. Jonas sekali lagi mengangguk pelan seraya memalingkan badan.
            Kini Jonas berada di luar ruangan Chyntia. Ia berdiri di balik tembok lalu melirik sedikit ke arah kantong belakang celana satin hitamnya. Lelaki itu menyeringai perlahan melihat benda itu masih tersimpan rapi di dalam sana.
***
            Ipda Eddu Afrianto dan Aiptu Sary Sustina sudah tiba di depan apartemen Sinar Perkasa. Akan tetapi mereka tidak mengenakan seragam dinas polisi. Mereka menggunakan seragam pegawai Pizza Hot delivery. Mereka berpura-pura sebagai tukang antar pizza ke markas sindikat HOVTA. Walaupun sempat ragu kalau usaha mereka akan berhasil, akan tetapi karena perintah dan demi membalaskan dendam, mereka harus siap apapun yang terjadi.
            “Apa benar ini, Aiptu Sary?”
            “Ini sesuai dengan alamat yang tertulis di kertas ini, Ipda Eddu. Itu pos jaganya. Ayo kita ke sana,” ajak Aiptu Sarry pada rekannya.
            Sebelum menuju apartemen, mereka tadi memarkirkan sepeda motor di rumah salah satu penduduk yang ada di sana. Kemudian berjalan lima puluh meter lagi dari rumah penduduk ke tempat tujuan mereka.
            Sesampainya mereka berdua, pos berukuran 3x4 meter itu diisi oleh dua lelaki berkaos cokelat. Salah satunya mengenakan jaket kulit hitam. Dilihat dari tampang kedua lelaki itu, sepertinya tidak meyakinkan kalau mereka akan memperoleh banyak informasi. Akan tetapi tidak ada salahnya dicoba menurut pikiran Ipda Eddu.
            “Permisi Pak. Kami mengantar pizza pesanan Bapak Sarman. Boleh panggilan beliau?” tanya Aiptu Sary.
            Dua penjaga pos itu beradu pandang. Mungkin berpikir-pikir apakah ada rekan mereka bernama Sarman. Setelah lama berpandangan, mereka menoleh kembali ke arah tukang antar pizza itu. “Pesanan bapak Sarman...? Tunggu sebentar ya, biar kami lihat.”
            Lelaki berjaket kulit hitam bangkit berdiri lalu memalingkan badan mengarah ke pintu masuk apartemen. Kedua perwira polisi itu menggunakan kesempatan untuk mengorek informasi dari salah satu anggota sindikat HOVTA.
            “Lebih baik Bapak letakkan saja pizza-nya di sini. Manatahu orangnya lagi enggak ada hehehe,” ucap lelaki berkaos hitam sambil tertawa garing. Ipda Eddu yang memegang pizza menuruti perkataan lelaki itu. Ia meletakkan pizza sesuai tempat yang ditunjukkan lelaki berkaos hitam itu.
            Lelaki berkaos hitam itu mengambil dua bangku plastik kemudia disodorkan pada dua tukang antar pizza itu. “Silakan duduk, Pak.” Kedua polisi itu mendaratkan pantat mereka di atas kursi plastik yang tersedia untuk mereka.
            “Kalau boleh tahu namanya siapa, Pak?” tanya Ipda Eddu.
            “Nama saya Sarif, Pak. Jangan panggil Bapak usia saya masih 33 tahun. Panggil saja Abang. Bapak sendiri namanya siapa?” Lelaki berkaos hitam dengan bentuk wajah kekotakan memperkenalkan diri seraya tertawa kecil. Sarif menanyakan nama laki-laki tukang antar pizza itu.
            “Nama saya Yanto, Bang. Usia saya masih 30 tahun, Bang. Jangan dipanggil Abang juga.”
            Sarif mengangguk pelan lalu tangan  kanannya menunjuk pada Aipda Sary. “Lalu mbak ini namanya siapa?”
            “Nama saya Susti, Bang,” ucap Ipda Sary dengan kuluman senyum tegas. Lelaki yang merupakan penjaga markas curi-curi pandang pada perempuan tukang antar pizza itu. Paras Aiptu Sarry memang menawan. Ia tipikal perempuan berwajah tegas, memilik tahi lalat kecil di pinggir kanan bibirnya. Berwajah oval. Rambut sebahu lurus tergerai. Lirik mata Sarif juga mengarah pada ukuran dada Aiptu Sarry yang terbilang cukup memanjakan pikiran kotor para lelaki.
            “Udah lama, Bang, jadi tukang antar pizza?” Sarif mengalihkan pikiran kotornya dengan mengajukan pertanyaan pada Ipda Eddu yang memakai nama samaran Yanto.
            “Baru 3 tahun, Bang. Abang kerja di sini sebagai satpam?”
            “Iya, Bang. Bisa dibilang satpam apartemen inilah.”
            “Kalau boleh tahu, apartemen ini milik siapa ya Bang?” Ketika Ipda Erru ingin mengorek informasi tentang pemilik apartemen itu, teman Sarif yang mengenakan jaket hitam menginterupsi percakapan mereka.
            “Enggak ada di sini yang namanya Sarman, Pak. Mungkin Anda salah alamat,” ujar lelaki itu.
            “Kalau begitu kita beli aja, Don. Ngomong-ngomong berapa sekotak pizzanya, Bang?”
            “Lima puluh ribu, Bang.” Sarif menarik dompet kulit imitasi miliknya lalu menyodorkan uang nominal seratus ribu rupiah untuk membayar dua kotak pizza.  Begitu sudah dibayar, tangan Sarif langsung melepas selotip transparan yang melekat pada pembungkus pizza.
            Kedua lelaki itu cukup lahap memakan pizza itu. Padahal mereka tidak tahu kalau pizza itu sudah diberikan obat tidur dengan dosis 30%. Mungkin sekitar 4 menit kemudian, mereka akan merasa kepala mereka berat disertai dengan kantuk.
            “Hmm permisi Bang, ngomong-ngomong, kalau boleh tahu siapa ya pemilik apartemen ini?” Aiptu Sary mengulang kembali pertanyaan dari rekannya.
            “Oh ya, apartemen ini milik orang Cina. Dia seorang pengusaha hotel dan spa di tiga cabang di kota ini.
            “Kami boleh tahu siapa namanya?” Ipda Eddu Afrianto mencoba membuka memancing Sarif lebih jauh lagi.
            Ketika mulutnya hendak mengatakan, lelaki berjaket kulit hitam itu membeliakkan mata sambil berdecak kuat, memberi isyarat agar ia tidak berkata lebih jauh lagi.
            “Oh ya maaf sebelumnya. Itu rahasia dan sudah menjadi peraturan di apartemen ini,” tolak Sarif secara halus. Mulut kedua pria itu masih aktif mengunyah pizza. Sementarakedua perwira polisi itu memilih diam lalu memandang satu sama lain. Mereka berkomunikasi lewat tatap mata, memikirkan apa lagi pertanyaan yang bisa memancing kedua anggota sindikat itu agar mau membuka mulutnya tentang siapa pimpinan besar mereka.
            Empat menit berlalu ketika melahap potongan pizza, Sarif dan temannya mulai memegang kepala mereka. Keduanya mengernyitkan kening mereka sambil menggelengkan kepala berharap pening dan kunang-kunang yang menguasai otak mereka sirna. Akan tetapi hal itu tidak memberikan hasil apa-apa.Sebelum jatuh pingsan, Sarif mengarahkan pandangan pada dua tukang pizza yang masih berdiri di hadapan  mereka.
            “Kalian...” Sarif tak sempat berkata-kata lebih banyak. Ia dan temannya langsung tak sadarkan diri.
            Ipda Eddu dan Aiptu Sarry menghampiri kedua penjaga pos seraya menggoyang-goyangkan badan mereka, memastikan obat tidur itu benar-benar bekerja.
            “Ini kesempatan kita, Aiptu Sarry. Kita akan menyusup ke dalam markas mereka dengan menggunakan seragam kedua penjaga ini. Tapi kita harus cepat. Sebelum sebelum ada yang memergoki kita,” instruksi Ipda Eddu ditanggapi dengan anggukan tegas dari Aiptu Sarry. Sebelum menyekap mereka, Ipda Eddu dan Aiptu Sarry melucuti pakaian yang dikenakan kedua penjaga pos itu.
            Ipda Eddu mengenakan pakaian Sarman sedangkan Aiptu Sarry memakai pakaian Sarif. Tergesa-gesa keduanya mengganti pakaian sebelum para anggota HOVTA memergoki perbuatan mereka. Usai berganti pakaian, keduanya beralih pada dua penjaga pos yang masih tak sadarkan diri. Mereka langsung mengikatkan tali rafia hitam pada kedua pergelangan tangan dan kaki dua lelaki paruh baya itu. Mulut mereka juga disumpal dengan bulatan kertas koran.
            Mereka berdua menyembunyikan dua pria itu dan kotak pizza di bawah kolong meja dan bersikap seperti biasa. Kedua perwira polisi mengambil posisi masing-masing. Ipda Eddu pura-pura membaca koran dan Aiptu Sarry memainkan gawai pribadinya.
            Berselang enam menit setelah mereka mengambil alih pos jaga, seorang lelaki yang diperkirakan berusia 20 tahun menghampiri mereka. “Siapkan diri kalian. Sebentar lagi, kiita akan menyambut kepulangan pimpinan ke markas.” Setelah memnberikan pengumuman lelaki berusia 20 tahun itu membalikkan badan, menjauh dari pos jaga.
            “Ini kesempatan kita,” kata Ipda Eddu pada rekannya. Keduanya begitu bersemangat dan tidak sabaran melihat orang yang selama ini mereka buru. Ipda Eddu meraba-raba pistol yang terjepit di pinggang celana jinsnya.  

No comments:

Post a Comment