Sunday, 21 October 2018

DUAL - 14



Negosiasi                                
            11 April 2014
            Bola mata Anggara memperhatikan dengan seksama para pengunjung yang perlahan memadati lantai dansa pub. Kelap-kelip lampu  dansa menyilaukan bergerak kiri kanan, mengganggu pengamatan lelaki berambut agak pirang itu . Dentuman electronic dance music menghentak-hentak jantung serta gerakan para pengunjung pub. Mereka berjoget, meliuk-liukan badan serta pinggul mereka memasuki dunia tanpa batas norma susila. Para lelaki berjoget sambil menggunakan kesempatan meraba setiap jengkal tubuh mulus para gadis malam mulai terlena irama musik dari piringan hitam yang dimainkan para disc jockey. 
            “Aku yakin kau pasti salah memilih tempat pertemuan, Gara.”
            “Apa maksudmu, Fiolina?” tanya Anggara balik pada rekannya.
            “Kelihatannya mereka tidak akan datang meski kau mengatakan pada mereka kalau ini adalah pertemuan penting. Mereka tidak akan mungkin menemuimu di tempat yang seperti ini,” jawab Fiolina dengan argumen yang menguatkan pernyataan pertamanya.
            Anggara cuma memberikan senyum kecil pada Fiolina sambil menoleh kembali ke arah pengunjung yang kelihatan tak mempedulikan sejenak kepenatan duniawi. Mereka melampiaskan kebosanan mereka atas rutinitas yang begitu-begitu saja dengan menaikkan salah satu tangan mereka ke atas sambil menggoyang-goyangkan badan ke kiri dan kanan. Para lelaki mesum mengajak para gadis yang teler berjoget ria sambil sesekali meremas-remas bagian kemaluan dan payudara mereka. Tidak ada penolakan sama sekali. Para gadis teler dan penari perempuan mendesah kecil dan terus berjoget dengan goyangan seronok yang tentu saja menaikkan tingkat kecabulan para lelaki.
            Namun di antara para para pengunjung yang menikmati musik-musik erotis dari dunia malam, sepasang lelaki dan perempuan baru saja memasuki pintu masuk pub. Keduanya melangkah begitu santai di antara kerumunan para pengunjung yang berjoget liar. Lelaki berambut cepat berwajah kotak menggerakkan leher mereka tengah mencari seseorang yang begitu penting untuk mereka.
            “Kau tahu, Varo, walaupun aku sudah terbiasa dengan kebisingan musik disko Pak Fahnan sebenarnya aku tidak suka berlama-lama di tempat seperti ini,” ungkap Aretha pada Alvaro.
            “Sabar, Aretha. Aku yakin orang yang akan kita temui ini punya sesuatu yang penting untuk kita juga.” Alvaro berusaha menenangkan rekan perempuannya yang mulai gelisah.
            Ketika Alvaro mengarahkan pandangannya ke sebelah kiri agak sudut dari bartender, ia melihat seorang lelaki tengah tersenyum kepadanya. Mulai timbul perasaan kalau orang yang tengah tersenyum misterius itu adalah orang yang mereka cari. Alvaro tanpa aba-aba langsung menarik tangan Aretha mengajaknya ke tempat lelaki yang memberikan kode berupa senyuman. Tangan kanan Alvaro berusaha mengurai keramaian agar kedua bisa bergerak lebih leluasa. Begitu keduanya sudah berada di pinggir bartender, Alvaro berinisiatif bertanya pada sepasang lelaki dan perempuan tengah santai menikmati anggur dingin.
            “Apa kalian Anggara dan Fiolina yang sedang kami cari? Maaf membuat kalian lama menunggu.”
            Keduanya mengangguk setuju. “Tidak masalah. Lagipula kami baru datang lima belas menit yang lalu. Ngomong-ngomong kalian mau minum apa? Biar aku yang pesankan.” Anggara menawarkan diri.
            Alvaro dan Aretha saling berpandangan untuk menentukan minuman apa yang akan mereka pesan. “Errr, Heineken aja deh,” bilang Aretha.
            Kebetulan ketika barista sedang mengambil gelas dan botol anggur milik keduanya, Anggara langsung mengatakan pesanan minuman dua orang tamunya.
            “Aku pikir kita perlu pindah dari sini. Kelihatannya suasana sudah semakin panas,” usul Fiolina.
            Ketiganya mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan Fiolina. Lirikan mata Anggara mengitari seisi ruangan pub. Sorot mata Anggara mengarah ke lantai atas yang tidak terlalu banyak pengunjung di sana. Anggara berjalan lebih dulu disusul dengan Fiolina, Aretha dan Alvaro di belakangnya. Lantai atas pub diperlengkapi dengan lima bilik berisi dua kursi sofa panjang. Bagian pinggir dibatas kaca fiber bening. Sebelum mereka berempat pergi, lelaki berambut pirang itu terlebih dulu mengatakan kalau pesanannya diantarkan ke lantai atas.
            Mereka memilik bilik nomor tiga. Alvaro duduk bersama dengan Aretha dan begitupula Anggara duduk dengan Fiolina. Mereka berempat duduk berhadapan. Sebelum memulai pembicaraan lebih jauh, Anggara memulai awal percakapan dengan sedikit basa-basi.
            “Aku sempat mengira kalau kalian tidak akan datang begitu tahu tempat ini jadi titik temu kita.”
            “Tidak begitu. Pimpinan kami juga membuka kafe seperti ini di markas. Kami fine-fine aja dengan suasana ribut kayak gini. Kami terlambat karena menempuh jalur alternatif yang jauh untuk menghindar dari razia polisi,” tepis Alvaro. Ketika Alvaro selesai bicara, seorang lelaki memakai rompi hitam dan dasi kupu-kupu mengantarkan sebuah nampan yang di atasnya terdapat sebotol Heineken dan dua gelas kaca.
            “Silakan diminum dulu.” Anggara merentangkan telapak tanganmengisyaratkan dirinya memberikan kesempatan tamunya untuk menikmati minuman yang mereka pesan. Alvaro dan Aretha menggangguk takzim.
            Anggara kembali melanjutkan pembicaraan. Kali ini dia memasuki topik pembicaraan. “Kalian anggota Killer Order?”
            Lelaki berpotongan rambut ala tentara menjawab pertanyaan dari tamu mereka setelah dia meletakkan kembali gelas yang masih berisi Heineken di atas meja. “Ya benar. Sebagai anggota Killer Order, kami memiliki tato di bagian dada yang terdapat inisial organisasi dan empat digit angka yang merupakan tanggal dan bulan kelahiran masing-masing anggota. Apa cuma itu saja yang ingin kau tanyakan?”
            Lelaki berambut agak piranng itu mengangguk dua kali menandakan kalau dia paham. “Baiklah seperti yang pernah kami katakan jauh-jauh hari via telepon. Bagaimana kalian tertarik bekerjasama dengan kami?”
            Aretha yang sedari tadi menyimak kini membuka suara. “Sejujurnya aku masih belum paham apa rencana kalian dan bagaimana aku harus menyikapinya. Bisa kau jelaskan lagi secara jelas dan padat?”
            Sebelum menjelaskan kembali kesepakatan yang akan mereka setujui, Anggara memilih menuangkan cocktail ke dalam gelas. Ia menyeruput sedikit cairan berwarna cokelat dan berasa agak sepet. “Baiklah biara kujelaskan. Seminggu setelah kami mengunjungi markas besar kalian untuk menjalin kerjasama, kau bilang kau... ingin berhadapan langsung dengan kepala pimpinan kami. Bukan begitu?”
            Aretha tak langsung menjawab pertanyaan dari Anggara ia lantas berkata, “Lalu?”
            “Kami bisa saja mempertemukan kau langsung dengan pimpinan kami tapi perlu kau ketahui kalau orang-orang HOVTA merupakan sarang berkumpulnya orang-orang sakit jiwa dan tak mengenal kata ampun dalam menghabisi nyawa seseorang. Bahkan kami berdua pun tidak bisa menghadapi mereka semuanya. Kita hanya perlu menyingkirkan yang kecil-kecilnya dulu barulah kita tinggal gampang menghabisi yang besarnya karena kerikil-kerikil kecil yang mengganggu sudah kita sisihkan dari jalan.”
            Alvaro sedang berusaha mengartikan apa yang dikatakan Anggara. Cukup membingungkan memahami rencana mereka. Ditambah lagi lelaki berambut pirang berkulit putih bak orang Jepang itu membuat analogi yang tidak perlu.
            “Tunggu dulu, maksudmu, kau menggunakan kami sebagai alat untuk memuluskan rencana kalian sendiri ‘kan?” sangka Alvaro.
            “Hei. Jangan salah paham dulu, Bung. Kau tahu kami punya rencana untuk mengambil semua keuntungan dari sindikat perdagangan organ tubuh manusia terbesar di dunia. Setelah rencana kita berhasil, kami akan meninggalkan HOVTA, memulai hidup baru di luar negeri. Tentu saja hasil yang kita dapatkan, kita akan bagi sesuai dengan kesepakatan. Bagaimana?” Anggara memberikan penawaran.
            “Tapi berapa keuntungan yang didapatkan HOVTA selama setahun?”
            “Kalau dihitung secara bersih, total penghasilan mereka per tahun bisa mencapai 3-4 miliar rupiah. Kau bisa bayangkan sudah berapa tahun HOVTA sudah beroperasi? Ini sudah memasuki tahun kelima, berarti penghasilan HOVTA sudah mencapai 16.500.000.000,00 miliar. Jumlah yang fantastis bukan?”
            Jumlah nominal uang yang disebutkan Anggara, perlahan mulai memengaruhi pikiran Alvaro. Kalau mereka memberikan dua puluh persen saja, itu sudah termasuk cukup banyak. Dalam hati Alvaro memilih menerima tawaran dari Anggara.
            “Baiklah... kami setuju.”
            Anggara dan Fiolina tersenyum puas. “Kalau begitu kalian harus menandatangi surat ini.” Lelaki berambut agak pirang itu mengeluarkan sebuah map dari dalam jaketnya. Ia membuka map itu kemudian disodorkan MoU serta sebuah pulpen pada mereka berdua.
            Sebelum membubuhkan tandatangan, mereka membaca sekilas dan memahami apa isi perjanjian yang akan mereka tandatangi. Setelah dibaca dua kali mereka mendapatkan dua poin penting dari isi perjanjian itu. Pertama, mereka diberi waktu 2,5 tahun untuk menyelesaikan misi mereka terhitung sejak tanggal penandatanganan perjanjian ini. Kedua, setelah mereka menyelesaikan misi, mereka akan mendapatkan bagian sebesar 25% jika mereka benar-benar menyelesaikan misi dengan baik. Tidak ada keluhan atau pertanyaan terucap dari bibir mereka berdua. Tinta pulpen yang mereka pegang sudah membubuhkan tandatangan mereka menandakan mereka setuju dengan isi perjanjian di dalamnya. Alvaro dan Aretha berjabatan tangan dengan Anggara dan Fiolina untuk meneguhkan perjanjian yang telah mereka sepakati.
            Akan tetapi dari lantai satu di sudut meja bartender, seorang lelaki mengenakan kemeja kotak-kotak hitam putih mengamati kegiatan mereka. Ia juga mengenakan mantel ala penduduk eskimo.
            Apa yang sedang mereka tandatangi?

No comments:

Post a Comment