Negosiasi
11 April 2014
Bola
mata Anggara memperhatikan dengan seksama para pengunjung yang perlahan
memadati lantai dansa pub. Kelap-kelip lampu
dansa menyilaukan bergerak kiri kanan, mengganggu pengamatan lelaki
berambut agak pirang itu . Dentuman electronic
dance music menghentak-hentak jantung serta gerakan para pengunjung pub.
Mereka berjoget, meliuk-liukan badan serta pinggul mereka memasuki dunia tanpa
batas norma susila. Para lelaki berjoget sambil menggunakan kesempatan meraba
setiap jengkal tubuh mulus para gadis malam mulai terlena irama musik dari
piringan hitam yang dimainkan para disc
jockey.
“Aku
yakin kau pasti salah memilih tempat pertemuan, Gara.”
“Apa
maksudmu, Fiolina?” tanya Anggara balik pada rekannya.
“Kelihatannya
mereka tidak akan datang meski kau mengatakan pada mereka kalau ini adalah
pertemuan penting. Mereka tidak akan mungkin menemuimu di tempat yang seperti
ini,” jawab Fiolina dengan argumen yang menguatkan pernyataan pertamanya.
Anggara
cuma memberikan senyum kecil pada Fiolina sambil menoleh kembali ke arah
pengunjung yang kelihatan tak mempedulikan sejenak kepenatan duniawi. Mereka
melampiaskan kebosanan mereka atas rutinitas yang begitu-begitu saja dengan
menaikkan salah satu tangan mereka ke atas sambil menggoyang-goyangkan badan ke
kiri dan kanan. Para lelaki mesum mengajak para gadis yang teler berjoget ria
sambil sesekali meremas-remas bagian kemaluan dan payudara mereka. Tidak ada
penolakan sama sekali. Para gadis teler dan penari perempuan mendesah kecil dan
terus berjoget dengan goyangan seronok yang tentu saja menaikkan tingkat
kecabulan para lelaki.
Namun
di antara para para pengunjung yang menikmati musik-musik erotis dari dunia
malam, sepasang lelaki dan perempuan baru saja memasuki pintu masuk pub.
Keduanya melangkah begitu santai di antara kerumunan para pengunjung yang
berjoget liar. Lelaki berambut cepat berwajah kotak menggerakkan leher mereka
tengah mencari seseorang yang begitu penting untuk mereka.
“Kau
tahu, Varo, walaupun aku sudah terbiasa dengan kebisingan musik disko Pak
Fahnan sebenarnya aku tidak suka berlama-lama di tempat seperti ini,” ungkap
Aretha pada Alvaro.
“Sabar,
Aretha. Aku yakin orang yang akan kita temui ini punya sesuatu yang penting
untuk kita juga.” Alvaro berusaha menenangkan rekan perempuannya yang mulai
gelisah.
Ketika
Alvaro mengarahkan pandangannya ke sebelah kiri agak sudut dari bartender, ia
melihat seorang lelaki tengah tersenyum kepadanya. Mulai timbul perasaan kalau
orang yang tengah tersenyum misterius itu adalah orang yang mereka cari. Alvaro
tanpa aba-aba langsung menarik tangan Aretha mengajaknya ke tempat lelaki yang
memberikan kode berupa senyuman. Tangan kanan Alvaro berusaha mengurai keramaian
agar kedua bisa bergerak lebih leluasa. Begitu keduanya sudah berada di pinggir
bartender, Alvaro berinisiatif bertanya pada sepasang lelaki dan perempuan
tengah santai menikmati anggur dingin.
“Apa
kalian Anggara dan Fiolina yang sedang kami cari? Maaf membuat kalian lama
menunggu.”
Keduanya
mengangguk setuju. “Tidak masalah. Lagipula kami baru datang lima belas menit
yang lalu. Ngomong-ngomong kalian mau minum apa? Biar aku yang pesankan.”
Anggara menawarkan diri.
Alvaro
dan Aretha saling berpandangan untuk menentukan minuman apa yang akan mereka
pesan. “Errr, Heineken aja deh,” bilang Aretha.
Kebetulan
ketika barista sedang mengambil gelas dan botol anggur milik keduanya, Anggara
langsung mengatakan pesanan minuman dua orang tamunya.
“Aku
pikir kita perlu pindah dari sini. Kelihatannya suasana sudah semakin panas,”
usul Fiolina.
Ketiganya
mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan Fiolina. Lirikan mata Anggara mengitari
seisi ruangan pub. Sorot mata Anggara mengarah ke lantai atas yang tidak
terlalu banyak pengunjung di sana. Anggara berjalan lebih dulu disusul dengan
Fiolina, Aretha dan Alvaro di belakangnya. Lantai atas pub diperlengkapi dengan
lima bilik berisi dua kursi sofa panjang. Bagian pinggir dibatas kaca fiber
bening. Sebelum mereka berempat pergi, lelaki berambut pirang itu terlebih dulu
mengatakan kalau pesanannya diantarkan ke lantai atas.
Mereka
memilik bilik nomor tiga. Alvaro duduk bersama dengan Aretha dan begitupula
Anggara duduk dengan Fiolina. Mereka berempat duduk berhadapan. Sebelum memulai
pembicaraan lebih jauh, Anggara memulai awal percakapan dengan sedikit
basa-basi.
“Aku
sempat mengira kalau kalian tidak akan datang begitu tahu tempat ini jadi titik
temu kita.”
“Tidak
begitu. Pimpinan kami juga membuka kafe seperti ini di markas. Kami fine-fine aja dengan suasana ribut kayak gini. Kami terlambat karena
menempuh jalur alternatif yang jauh untuk menghindar dari razia polisi,” tepis
Alvaro. Ketika Alvaro selesai bicara, seorang lelaki memakai rompi hitam dan
dasi kupu-kupu mengantarkan sebuah nampan yang di atasnya terdapat sebotol
Heineken dan dua gelas kaca.
“Silakan
diminum dulu.” Anggara merentangkan telapak tanganmengisyaratkan dirinya
memberikan kesempatan tamunya untuk menikmati minuman yang mereka pesan. Alvaro
dan Aretha menggangguk takzim.
Anggara
kembali melanjutkan pembicaraan. Kali ini dia memasuki topik pembicaraan.
“Kalian anggota Killer Order?”
Lelaki
berpotongan rambut ala tentara menjawab pertanyaan dari tamu mereka setelah dia
meletakkan kembali gelas yang masih berisi Heineken di atas meja. “Ya benar.
Sebagai anggota Killer Order, kami memiliki tato di bagian dada yang terdapat
inisial organisasi dan empat digit angka yang merupakan tanggal dan bulan
kelahiran masing-masing anggota. Apa cuma itu saja yang ingin kau tanyakan?”
Lelaki
berambut agak piranng itu mengangguk dua kali menandakan kalau dia paham.
“Baiklah seperti yang pernah kami katakan jauh-jauh hari via telepon. Bagaimana
kalian tertarik bekerjasama dengan kami?”
Aretha
yang sedari tadi menyimak kini membuka suara. “Sejujurnya aku masih belum paham
apa rencana kalian dan bagaimana aku harus menyikapinya. Bisa kau jelaskan lagi
secara jelas dan padat?”
Sebelum
menjelaskan kembali kesepakatan yang akan mereka setujui, Anggara memilih
menuangkan cocktail ke dalam gelas.
Ia menyeruput sedikit cairan berwarna cokelat dan berasa agak sepet. “Baiklah
biara kujelaskan. Seminggu setelah kami mengunjungi markas besar kalian untuk
menjalin kerjasama, kau bilang kau... ingin berhadapan langsung dengan kepala pimpinan
kami. Bukan begitu?”
Aretha
tak langsung menjawab pertanyaan dari Anggara ia lantas berkata, “Lalu?”
“Kami
bisa saja mempertemukan kau langsung dengan pimpinan kami tapi perlu kau
ketahui kalau orang-orang HOVTA merupakan sarang berkumpulnya orang-orang sakit
jiwa dan tak mengenal kata ampun dalam menghabisi nyawa seseorang. Bahkan kami
berdua pun tidak bisa menghadapi mereka semuanya. Kita hanya perlu
menyingkirkan yang kecil-kecilnya dulu barulah kita tinggal gampang menghabisi
yang besarnya karena kerikil-kerikil kecil yang mengganggu sudah kita sisihkan
dari jalan.”
Alvaro
sedang berusaha mengartikan apa yang dikatakan Anggara. Cukup membingungkan memahami
rencana mereka. Ditambah lagi lelaki berambut pirang berkulit putih bak orang
Jepang itu membuat analogi yang tidak perlu.
“Tunggu
dulu, maksudmu, kau menggunakan kami sebagai alat untuk memuluskan rencana
kalian sendiri ‘kan?” sangka Alvaro.
“Hei.
Jangan salah paham dulu, Bung. Kau tahu kami punya rencana untuk mengambil
semua keuntungan dari sindikat perdagangan organ tubuh manusia terbesar di
dunia. Setelah rencana kita berhasil, kami akan meninggalkan HOVTA, memulai
hidup baru di luar negeri. Tentu saja hasil yang kita dapatkan, kita akan bagi
sesuai dengan kesepakatan. Bagaimana?” Anggara memberikan penawaran.
“Tapi
berapa keuntungan yang didapatkan HOVTA selama setahun?”
“Kalau
dihitung secara bersih, total penghasilan mereka per tahun bisa mencapai 3-4
miliar rupiah. Kau bisa bayangkan sudah berapa tahun HOVTA sudah beroperasi? Ini
sudah memasuki tahun kelima, berarti penghasilan HOVTA sudah mencapai
16.500.000.000,00 miliar. Jumlah yang fantastis bukan?”
Jumlah
nominal uang yang disebutkan Anggara, perlahan mulai memengaruhi pikiran
Alvaro. Kalau mereka memberikan dua puluh persen saja, itu sudah termasuk cukup
banyak. Dalam hati Alvaro memilih menerima tawaran dari Anggara.
“Baiklah...
kami setuju.”
Anggara
dan Fiolina tersenyum puas. “Kalau begitu kalian harus menandatangi surat ini.”
Lelaki berambut agak pirang itu mengeluarkan sebuah map dari dalam jaketnya. Ia
membuka map itu kemudian disodorkan MoU serta sebuah pulpen pada mereka berdua.
Sebelum
membubuhkan tandatangan, mereka membaca sekilas dan memahami apa isi perjanjian
yang akan mereka tandatangi. Setelah dibaca dua kali mereka mendapatkan dua
poin penting dari isi perjanjian itu. Pertama, mereka diberi waktu 2,5 tahun
untuk menyelesaikan misi mereka terhitung sejak tanggal penandatanganan
perjanjian ini. Kedua, setelah mereka menyelesaikan misi, mereka akan
mendapatkan bagian sebesar 25% jika mereka benar-benar menyelesaikan misi
dengan baik. Tidak ada keluhan atau pertanyaan terucap dari bibir mereka
berdua. Tinta pulpen yang mereka pegang sudah membubuhkan tandatangan mereka
menandakan mereka setuju dengan isi perjanjian di dalamnya. Alvaro dan Aretha
berjabatan tangan dengan Anggara dan Fiolina untuk meneguhkan perjanjian yang
telah mereka sepakati.
Akan
tetapi dari lantai satu di sudut meja bartender, seorang lelaki mengenakan
kemeja kotak-kotak hitam putih mengamati kegiatan mereka. Ia juga mengenakan
mantel ala penduduk eskimo.
Apa yang sedang mereka tandatangi?

No comments:
Post a Comment