Kehadiran
Usai para personil band The Beauty Symphony dan sang
manajer menikmati sarapan pagi, mereka sudah berada di depan pintu masuk hotel.
Di saat itu pula, Pak Tono, sang supir pribadi memberhentikan mobil tepat di
hadapan mereka.
Sang supir mempercepat laju mobil
begitu semuanya berada di dalam.
“Nah Pak Edward, sekarang Bapak bisa
jelaskan bagaimana ciri-ciri pelaku pelemparan bos asap itu.” Aldo yang masih diliputi penasaran, menyuruh pak Edward
melanjutkan pembicaraanya tadi.
“Hmm baiklah. Begitu insiden
pelemparan itu terjadi, saya langsung menyuruh polisi untuk mencari si pelaku.
Meskipun polisi tidak berhasil meringkus pelaku, tapi polisi sudah mengantongi
ciri-ciri pelaku dan nomor plat sepeda motornya,” tutur Pak Edward.
“Si pelaku mengenakan topi hitam,
jaket kulit cokelat muda. Tinggi sekitar 167 sentimeter. Kelihatannya rambut
gondrong meski kepala si pelaku tertutup topi. Nomor plat kendaraan BK 2345
XYZ.”
Keempat lelaki itu diam sejenak
sambil menganalisa penjelasan yang dikatakan sang manajer.
“Topi hitam? Gondrong? Plat BK 2345
XYZ?” ulang Jimmy.
“Bukannya itu... Eko?” sambar Riky
sambil menerka nama si pelaku. Aldo, Fidel dan
Jimmy kompak menengok ke arah Riky.
“Maksudmu Edo personil band Pentatonic yang terkenal di kampus
kita?” Fidel meminta penjelasan mengenai Edo yang disebutkan Riky.
Riky mengangguk pelan, membenarkan
penegasan dari Fidel. “Benar sekali. Ciri-ciri yang sebutkan Pak Edward hampir
mirip dengan Eko. Dia berambut gondrong, sering memakai topi hitam dan
mengendarai sepeda motor RX King dengan plat nomor BK 2345 XYZ.”
“Berarti firasatku tidak salah lagi.
Kalian tahu, sewaktu gumpalan asap yang mengerubungi kita mulai menipis, aku seperti
melihat Naryo sedang tergesa-gesa menuju pintu keluar. Aku yakin sabotase di
panggung itu ulah mereka.” Aldo juga angkat bicara.
“Kita tidak bisa menuduh mereka
sembarangan tanpa bukti yang jelas. Bisa yang kita atau para polisi lihat memang
mirip dengan Aldo dan Edo,” sanggah Fidel dengan apa yang diutarakan Aldo.
“Ya aku juga yakin pasti itu ulah
mereka. Mereka merasa iri dan tersaingi begitu mendengar kabar kalau kita akan
masuk dapur rekaman di salah satu perusahaan musik nasional. Sabotase yang mereka lakukan adalah usaha untuk
menghancurkan image band kita,”
dukung Jimmy pada pendapat Vinno.
Fidel menghela napas lelah melihat
teman-temannya yang sulit dinasihati terlebih Aldo, sang vokalis yang keras
kepala. Fidel berharap ia dan teman-temannya akan sampai di rumah.
*
Ada sekitar dua kafe berada di luar
lingkungan kampus. Kantin Wanada berada di seberang jalan kampus Mensenno dan
selalu ramai dikunjungi para mahasiswa dari berbagai jurusan untuk sekadar
melamun sampai dengan bermain domino. Di antara keramaian itu, lima lelaki
duduk di salah satu meja bundar sedang asyik berbincang serius dengan volume
suara agak pelan.
“Elo yakin Rot, cewek itu bisa kita
manfaatkan buat ngedeketin si Aldo?” tanya Adit kurang yakin.
“Iya. Kayaknya gua juga kurang yakin
gitu. Bisa-bisa dia bakal ngebongkar rencana kita buat menghancurkan The Beauty
Symphony?” sambung Edo. Ia juga menyatakan ketidakyakinannya pada rencana
Djarot.
Djarot berdecak pelan sambil menggelengkan
kepala melihat Adit dan Edo masih meragukan rencana yang dia rancang. “Kalau loe
masih enggak yakin. Mungkin Anton bisa menjelaskan.” Djarot merentangkan
telapak tangannya ke arah Anton. Memberikan isyarat kepada temannya untuk
menjelaskan siapa perempuan yang Djarot maksud.
“Sebenarnya perempuan itu sudah lama
memendam rasa kepada Djarot. Seminggu lalu, perempuan itu memberanikan diri
mengungkapkan perasaannya secara lang—“
“Wah hebat loe, Rot. Sangking
gantengnya elo, cewek pun sampai memberanikan diri menembak cinta loe. Loe
terima enggak?” potong Marthin cepat.
Anton menautkan kedua alisnya
melihat tingkah Martin yang seenak mulutnya memotong cerita Anton.
“Eh tikus got, gua belum selesai
cerita. Sekali lagi elo motong cerita gue, gue lempar kepala loe pake gelas
kaca, ngerti?!” gertak Anton sambil memegang gelas kaca lalu dilepaskan kembali
genggaman tangannya.
“Djarot bilang kepada perempuan itu
kalau dia butuh waktu untuk berpikir. Tapi kalian tahu sendiri ‘kan, bagaimana
selera Djarot kalau memilih cewek? Jadi dengan memanfaatkan cinta si cewek
tadi, Djarot membuat satu persyaratan—dia harus mendekati Aldo dan buat dia
jatuh cinta padanya.” Anton menyeringai.
Sontak Marthin, Edo dan Adit
terbelalak mendengar hal itu. Si cewek jatuh cinta padamu dan kau membuat satu
persyaratan yakni si perempuan harus membuat laki-laki lain jatuh cinta
kepadanya. Gila!
“Kau tidak sedang bercanda, bukan?”
Adit menoleh ke arah Djarot, mempertanyakan apakah yang dijelaskan Anton memang
benar dari dirinya.
“Coba kau lihat wajah ini? Apakah
aku sedang bercanda?” tunjuk Djarot pada wajahnya lalu berbicara lagi,
“lagipula, perempuan itu bilang dia akan berbuat apa saja agar aku bisa
menerima cintanya. Dan lagi-lagi benar kata pujangga itu. Cinta itu buta. Dan
melalui kebutaan itu, aku mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama, aku punya
alat yang bisa menghancurkan The Beauty Symphony secara perlahan dan yang
kedua. Aku berhasil mendapat sesuatu yang berharga milik gadis itu...”
Adit, Edo dan Marthin tercengang
sekaligus merinding sesaat melihat roman bengis Djarot. Adit secara pribadi
tidak menyukai para personil The Beauty Symphony tapi dia sendiri tidak sampai
memikirkan rencana itu. Seberapa besar kebencian Djarot pada Aldo dan
teman-temannya?
“Boleh aku tahu siapa nama perempuan
itu?” tanya Adit pada Djarot.
“Margareth. Kau kenal?” jawab Djarot.
Bertambah lagi kekagetan Adit. Siapa
tidak mengenal Margareth. Hampir seluruh masyarakat kampus mengenal perempuan
berambut sebahu itu. Perempuan yang selalu mendapatkan IPK cumlaude di kampus
Mensenno. Perempuan itu memang tidak cantik tapi raut wajah manis dengan gigi
ginsul sebelah kiri, bisa membuat lelaki di kampus itu tak bosan memandangnya.
Tapi siapa sangka perempuan itu
punya rasa kepada Djarot yang sifatnya bertolak belakang dengan Margareth.
Djarot, lelaki berkulit putih sering gonta-ganti pacar dan memiliki IPK rendah,
bisa dicintai oleh perempuan seindah Margareth. Dan sungguh disayangkan
Margareth sudah jatuh dalam pesona maut Djarot.
“Oh di sini kalian rupanya, para
pengacau!” Kelima lelaki yang asyik berbincang itu langsung ambil sikap waspada
begitu Aldo dan teman-temannya menghampiri.
“Eh kalian ngapain di sini?” Edo
berbasa-basi. Sebenarnya Edo sendiri pun sudah tahu apa maksud kedatangan para
personil The Beauty Symphony ke kantin Wanada.
“Enggak usah kebanyakan basa-basi!
Kalian ‘kan yang sudah mengacaukan konser kami?!” tanya Riky geram.
Edo menggerakkan kepala ke kanan dan
kiri sambil menggaruk kecil kepalanya. “Maksud loe apa sih Rik? Gua sama sekali
enggak ngerti.” Edo mengangkat bahunya.
Melihat tingkah Edo pura-pura tak
tahu, membuat Aldo geram lalu mencengkeram kerah kaus lelaki gondrong itu,
membenturkan tubuh kurus Edo ke dinding kantin.
“Elo
enggak usah pura-pura lupa deh!
Siapa lagi di kampus ini yang gondrong, make
topi hitam, naik Megapro BK 2345 XYZ kalau bukan elo?!” maki Aldo dengan suara keras.
Memang tidak terlalu banyak
pengunjung di kantin Wanada. Tapi melihat kondisi perseteruan Aldo dan Edo
semakin menegangkan, membuat orang-orang yang sekedar lewat berduyun-duyun
mendatangi kantin itu sekedar memenuhi penasaran mereka.
Fidel sesegara mungkin menarik
cengkeraman tangan Aldo dari kerah baju Edo.
“Aldo sudah cukup! Loe bakal buat
keributan besar jika loe enggak bisa kendaliin emosi loe,” cegah Fidel.
Sementara itu tangan Aldo masih kuat mencengkeram kerah kaus Edo.
Situasi semakin panas. Orang-orang
mulai memadati kantin Wanada. Bukan untuk jajan atau sekadar duduk. Tapi
menyaksikan duel panas Edo dan Aldo yang segera dimulai. Adit menyuruh Edo
berada di belakang sambil dijaga Djarot, Anton dan Marthin. Mana tahu Aldo
tiba-tiba bermain kasar.
“Aldo, ayo kita pergi!” suruh Fidel
sambil membalikkan badan Aldo. Badannya sudah berbalik tapi tatapan mata tak
bisa lepas dari Edo. Tak puas hati Aldo kalau belum menghajar wajah para personil
Pentatonik sampai lebam.
*
“Loe semua kenapa sih pada ngalangin
gue?!” damprat Aldo kepada teman-temannya.
Fidel turut emosi dengan perkataan
Aldo juga membalas, “Ini demi kebaikan kita, Do. Imageband kita. Elo enggak
mau ‘kan band kita dicela orang-orang
dengan sebutan band berandalan?!”
“Oh jadi elo mau band kita hancur perlahan-lahan karena ulah mereka?!
Ayo jawab gua?!”
Tak terima dirinya dibentak-bentak
sang vokalis, tinju kanan Fidel tak sengaja mengenai pipi Aldo. Aldo tidak
terima dengan perlakuan Fidel, membalas lagi dengan pukulan di bagian perut.
Fidel mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya. Lalu Fidel membalas pukulan
Aldo dengan meninju dagu sang vokalis.
Situasi semakin tak tentu. Kedua
lelaki itu terlibat baku hantam. Riky dan Jimmy dengan sigap melerai Aldo dan
Fidel.
“Elo berdua kenapa jadi berantam,
hah?! Kita ini satu band! Kita ini ibarat keluarga. Dalam keluarga enggak boleh
saling menyakiti satu sama lain. Semua persoalan bisa diselesaikan baik-baik,”
tegur Riky pada kedua temannya.
Tak mau mendengarkan teguran dari
Riky, Aldo langsung mengeluarkan sepeda motor kemudian menekan tombol electric stater.
“Gua mau cari angin dulu.” Begitu mesin
sepeda motor menyala, Aldo langsung menarik tali gas, cepat-cepat meninggalkan
pekarangan kontrakan.
*
Tak ada tempat menenangkan diri yang
sering dikunjungi Aldo selain taman kampus. Usai memakirkan sepeda motor, Aldo
mencari kursi besi, mengistirahatkan pikiran yang kacau balau.
Usai menarik dan membuang napas
sebanyak tiga kali, Aldo baru sadar kalau dia memang sudah termakan emosi.
Dirinya hampir saja membuat kekacauan di kantin Wanada kalau tidak segera
dilerai Fidel. Dan karena masih terbawa emosi, Aldo membentak-bentak Fidel.
“Maafkan aku, teman-teman. Maafkan aku
juga, Fidel,” ucap Aldo lirih.
Aldo memilih membenamkan diri dalam
lamunan. Sambil merenungi kesalahan, dia berencana kembali ke rumah sambil
meminta maaf pada teman-temannya terutama Fidel. Sembari menikmati keasrian
lingkungan kampus, Aldo mengambil gitar yang dia letakkan di sebelahnya.
“Hei.”


