Monday, 29 January 2018

The Beauty Symphony - 9



Kehadiran     
            Usai para personil band The Beauty Symphony dan sang manajer menikmati sarapan pagi, mereka sudah berada di depan pintu masuk hotel. Di saat itu pula, Pak Tono, sang supir pribadi memberhentikan mobil tepat di hadapan mereka.
            Sang supir mempercepat laju mobil begitu semuanya berada di dalam.
            “Nah Pak Edward, sekarang Bapak bisa jelaskan bagaimana ciri-ciri pelaku pelemparan bos asap itu.” Aldo yang masih diliputi penasaran, menyuruh pak Edward melanjutkan pembicaraanya tadi.
            “Hmm baiklah. Begitu insiden pelemparan itu terjadi, saya langsung menyuruh polisi untuk mencari si pelaku. Meskipun polisi tidak berhasil meringkus pelaku, tapi polisi sudah mengantongi ciri-ciri pelaku dan nomor plat sepeda motornya,” tutur Pak Edward.
            “Cepat beritahu dong, Pak Edward. Jangan bikin penasaran,” desak Riky.
            “Si pelaku mengenakan topi hitam, jaket kulit cokelat muda. Tinggi sekitar 167 sentimeter. Kelihatannya rambut gondrong meski kepala si pelaku tertutup topi. Nomor plat kendaraan BK 2345 XYZ.”
            Keempat lelaki itu diam sejenak sambil menganalisa penjelasan yang dikatakan sang manajer.
            “Topi hitam? Gondrong? Plat BK 2345 XYZ?” ulang Jimmy.
            “Bukannya itu... Eko?” sambar Riky sambil menerka nama si pelaku. Aldo, Fidel dan Jimmy kompak menengok ke arah Riky.
            “Maksudmu Edo personil band Pentatonic yang terkenal di kampus kita?” Fidel meminta penjelasan mengenai Edo yang disebutkan Riky.
            Riky mengangguk pelan, membenarkan penegasan dari Fidel. “Benar sekali. Ciri-ciri yang sebutkan Pak Edward hampir mirip dengan Eko. Dia berambut gondrong, sering memakai topi hitam dan mengendarai sepeda motor RX King dengan plat nomor BK 2345 XYZ.”
            “Berarti firasatku tidak salah lagi. Kalian tahu, sewaktu gumpalan asap yang mengerubungi kita mulai menipis, aku seperti melihat Naryo sedang tergesa-gesa menuju pintu keluar. Aku yakin sabotase di panggung itu ulah mereka.” Aldo juga angkat bicara.
            “Kita tidak bisa menuduh mereka sembarangan tanpa bukti yang jelas. Bisa yang kita atau para polisi lihat memang mirip dengan Aldo dan Edo,” sanggah Fidel dengan apa yang diutarakan Aldo.
            “Ya aku juga yakin pasti itu ulah mereka. Mereka merasa iri dan tersaingi begitu mendengar kabar kalau kita akan masuk dapur rekaman di salah satu perusahaan musik nasional. Sabotase yang  mereka lakukan adalah usaha untuk menghancurkan image band kita,” dukung Jimmy pada pendapat Vinno.
            Fidel menghela napas lelah melihat teman-temannya yang sulit dinasihati terlebih Aldo, sang vokalis yang keras kepala. Fidel berharap ia dan teman-temannya akan sampai di rumah.
*
            Ada sekitar dua kafe berada di luar lingkungan kampus. Kantin Wanada berada di seberang jalan kampus Mensenno dan selalu ramai dikunjungi para mahasiswa dari berbagai jurusan untuk sekadar melamun sampai dengan bermain domino. Di antara keramaian itu, lima lelaki duduk di salah satu meja bundar sedang asyik berbincang serius dengan volume suara agak pelan.
            “Elo yakin Rot, cewek itu bisa kita manfaatkan buat ngedeketin si Aldo?” tanya Adit kurang yakin.
            “Iya. Kayaknya gua juga kurang yakin gitu. Bisa-bisa dia bakal ngebongkar rencana kita buat menghancurkan The Beauty Symphony?” sambung Edo. Ia juga menyatakan ketidakyakinannya pada rencana Djarot.
            Djarot berdecak pelan sambil menggelengkan kepala melihat Adit dan Edo masih meragukan rencana yang dia rancang. “Kalau loe masih enggak yakin. Mungkin Anton bisa menjelaskan.” Djarot merentangkan telapak tangannya ke arah Anton. Memberikan isyarat kepada temannya untuk menjelaskan siapa perempuan yang Djarot maksud.
            “Sebenarnya perempuan itu sudah lama memendam rasa kepada Djarot. Seminggu lalu, perempuan itu memberanikan diri mengungkapkan perasaannya secara lang—“
            “Wah hebat loe, Rot. Sangking gantengnya elo, cewek pun sampai memberanikan diri menembak cinta loe. Loe terima enggak?” potong Marthin cepat.
            Anton menautkan kedua alisnya melihat tingkah Martin yang seenak mulutnya memotong cerita Anton.
            “Eh tikus got, gua belum selesai cerita. Sekali lagi elo motong cerita gue, gue lempar kepala loe pake gelas kaca, ngerti?!” gertak Anton sambil memegang gelas kaca lalu dilepaskan kembali genggaman tangannya.
            “Djarot bilang kepada perempuan itu kalau dia butuh waktu untuk berpikir. Tapi kalian tahu sendiri ‘kan, bagaimana selera Djarot kalau memilih cewek? Jadi dengan memanfaatkan cinta si cewek tadi, Djarot membuat satu persyaratan—dia harus mendekati Aldo dan buat dia jatuh cinta padanya.” Anton menyeringai.
            Sontak Marthin, Edo dan Adit terbelalak mendengar hal itu. Si cewek jatuh cinta padamu dan kau membuat satu persyaratan yakni si perempuan harus membuat laki-laki lain jatuh cinta kepadanya. Gila!
            “Kau tidak sedang bercanda, bukan?” Adit menoleh ke arah Djarot, mempertanyakan apakah yang dijelaskan Anton memang benar dari dirinya.
            “Coba kau lihat wajah ini? Apakah aku sedang bercanda?” tunjuk Djarot pada wajahnya lalu berbicara lagi, “lagipula, perempuan itu bilang dia akan berbuat apa saja agar aku bisa menerima cintanya. Dan lagi-lagi benar kata pujangga itu. Cinta itu buta. Dan melalui kebutaan itu, aku mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama, aku punya alat yang bisa menghancurkan The Beauty Symphony secara perlahan dan yang kedua. Aku berhasil mendapat sesuatu yang berharga milik gadis itu...”
            Adit, Edo dan Marthin tercengang sekaligus merinding sesaat melihat roman bengis Djarot. Adit secara pribadi tidak menyukai para personil The Beauty Symphony tapi dia sendiri tidak sampai memikirkan rencana itu. Seberapa besar kebencian Djarot pada Aldo dan teman-temannya?
            “Boleh aku tahu siapa nama perempuan itu?” tanya Adit pada Djarot.
            “Margareth. Kau kenal?” jawab Djarot.
            Bertambah lagi kekagetan Adit. Siapa tidak mengenal Margareth. Hampir seluruh masyarakat kampus mengenal perempuan berambut sebahu itu. Perempuan yang selalu mendapatkan IPK cumlaude di kampus Mensenno. Perempuan itu memang tidak cantik tapi raut wajah manis dengan gigi ginsul sebelah kiri, bisa membuat lelaki di kampus itu tak bosan memandangnya.
            Tapi siapa sangka perempuan itu punya rasa kepada Djarot yang sifatnya bertolak belakang dengan Margareth. Djarot, lelaki berkulit putih sering gonta-ganti pacar dan memiliki IPK rendah, bisa dicintai oleh perempuan seindah Margareth. Dan sungguh disayangkan Margareth sudah jatuh dalam pesona maut Djarot.
            “Oh di sini kalian rupanya, para pengacau!” Kelima lelaki yang asyik berbincang itu langsung ambil sikap waspada begitu Aldo dan teman-temannya menghampiri.
            “Eh kalian ngapain di sini?” Edo berbasa-basi. Sebenarnya Edo sendiri pun sudah tahu apa maksud kedatangan para personil The Beauty Symphony ke kantin Wanada.
            “Enggak usah kebanyakan basa-basi! Kalian ‘kan yang sudah mengacaukan konser kami?!” tanya Riky geram.
            Edo menggerakkan kepala ke kanan dan kiri sambil menggaruk kecil kepalanya. “Maksud loe apa sih Rik? Gua sama sekali enggak ngerti.” Edo mengangkat bahunya.
            Melihat tingkah Edo pura-pura tak tahu, membuat Aldo geram lalu mencengkeram kerah kaus lelaki gondrong itu, membenturkan tubuh kurus Edo ke dinding kantin.
            Elo enggak usah pura-pura lupa deh! Siapa lagi di kampus ini yang gondrong, make topi hitam, naik Megapro BK 2345 XYZ kalau bukan elo?!” maki Aldo dengan suara keras.
            Memang tidak terlalu banyak pengunjung di kantin Wanada. Tapi melihat kondisi perseteruan Aldo dan Edo semakin menegangkan, membuat orang-orang yang sekedar lewat berduyun-duyun mendatangi kantin itu sekedar memenuhi penasaran mereka.
            Fidel sesegara mungkin menarik cengkeraman tangan Aldo dari kerah baju Edo.
            “Aldo sudah cukup! Loe bakal buat keributan besar jika loe enggak bisa kendaliin emosi loe,” cegah Fidel. Sementara itu tangan Aldo masih kuat mencengkeram kerah kaus Edo.
            Situasi semakin panas. Orang-orang mulai memadati kantin Wanada. Bukan untuk jajan atau sekadar duduk. Tapi menyaksikan duel panas Edo dan Aldo yang segera dimulai. Adit menyuruh Edo berada di belakang sambil dijaga Djarot, Anton dan Marthin. Mana tahu Aldo tiba-tiba bermain kasar.
            “Aldo, ayo kita pergi!” suruh Fidel sambil membalikkan badan Aldo. Badannya sudah berbalik tapi tatapan mata tak bisa lepas dari Edo. Tak puas hati Aldo kalau belum menghajar wajah para personil Pentatonik sampai lebam.
*
            “Loe semua kenapa sih pada ngalangin gue?!” damprat Aldo kepada teman-temannya.
            Fidel turut emosi dengan perkataan Aldo juga membalas, “Ini demi kebaikan kita, Do. Imageband kita. Elo enggak mau ‘kan band kita dicela orang-orang dengan sebutan band berandalan?!”
            “Oh jadi elo mau band kita  hancur perlahan-lahan karena ulah mereka?! Ayo jawab gua?!”
            Tak terima dirinya dibentak-bentak sang vokalis, tinju kanan Fidel tak sengaja mengenai pipi Aldo. Aldo tidak terima dengan perlakuan Fidel, membalas lagi dengan pukulan di bagian perut. Fidel mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya. Lalu Fidel membalas pukulan Aldo dengan meninju dagu sang vokalis.
            Situasi semakin tak tentu. Kedua lelaki itu terlibat baku hantam. Riky dan Jimmy dengan sigap melerai Aldo dan Fidel.
            “Elo berdua kenapa jadi berantam, hah?! Kita ini satu band! Kita ini ibarat keluarga. Dalam keluarga enggak boleh saling menyakiti satu sama lain. Semua persoalan bisa diselesaikan baik-baik,” tegur Riky pada kedua temannya.
            Tak mau mendengarkan teguran dari Riky, Aldo langsung mengeluarkan sepeda motor kemudian menekan tombol electric stater.
            “Gua mau cari angin dulu.” Begitu mesin sepeda motor menyala, Aldo langsung menarik tali gas, cepat-cepat meninggalkan pekarangan kontrakan.
*
            Tak ada tempat menenangkan diri yang sering dikunjungi Aldo selain taman kampus. Usai memakirkan sepeda motor, Aldo mencari kursi besi, mengistirahatkan pikiran yang kacau balau.
            Usai menarik dan membuang napas sebanyak tiga kali, Aldo baru sadar kalau dia memang sudah termakan emosi. Dirinya hampir saja membuat kekacauan di kantin Wanada kalau tidak segera dilerai Fidel. Dan karena masih terbawa emosi, Aldo membentak-bentak Fidel.
            “Maafkan aku, teman-teman. Maafkan aku juga, Fidel,” ucap Aldo lirih.
            Aldo memilih membenamkan diri dalam lamunan. Sambil merenungi kesalahan, dia berencana kembali ke rumah sambil meminta maaf pada teman-temannya terutama Fidel. Sembari menikmati keasrian lingkungan kampus, Aldo mengambil gitar yang dia letakkan di sebelahnya.
            “Hei.”

Saturday, 27 January 2018

The Beauty Symphony - 8



Rencana Selanjutnya
            Adit dan teman-temannya berada di tempat parkiri sepeda motor. Napas mereka terasa menyesakkan dada. Mereka melihat dari belakang para polisi mulai mencari biang kerok atas insiden kecil di panggung tadi.
            “Cepat Adit!” suruh Djarot dari belakang.
            Usai memutar kunci, Adit menekan kopling sambil menekan tombol electric stater. Begitu mesin menyala, lelaki agak pendek itu menarik tali gas, meninggalkan lapangan Merdeka. Diikuti dua motor di belakang Adit.
            Merasa sudah begitu jauh dan tak ada tanda-tanda kejaran polisi, Adit memperlambat laju motor. Dua motor di belakang Adit melaju agak cepat supaya bisa di samping sepeda motor Adit.
            “Yang tadi itu hampir saja,” ujar Martin yang mengendarai motornya sendirian.
            “Benar juga, Tin. Kalau kita tadi enggak cepat-cepat keluar, bisa saja kita langsung diringkus. Tapi berkat penonton yang hampir lebih dari lima kompi tentara, para polisi enggak bisa melacak kita,” tambah Edo yang dibonceng Anton.
            “Tapi gua merasa kurang puas gitu. Bisa saja gangguan tadi tidak terlalu berpengaruh sama penampilan mereka. Bisa saja mereka break sebentar lalu lanjut lagi,” kata Djarot.
            “Benar juga loe, Rot. Gua saja enggak sampai berpikir ke sana,” dukung Adit sambil berfokus pada kemudin motornya.
            “Tapi loe semua tenang saja. Gua punya rencana yang bakal membuat The Beauty Symphony hancur lebur.” Djarot menutup perkataannya dengan senyum kecil mengandung sejumlah tanda tanya.
*
            Untung saja hari ini Aldo dan Fidel masuk perkuliahan pukul 12.40 tengah hari. Dua perosnil The Beauty Symphony sedang menikmati sarapan pagi di hotel JW Marriot. Sementara itu, Jimmy dan Riky sedang menelepon teman sekelas mereka.
            “Mega, tolong ya sampaikan sama ketua group kita kalau aku enggak bisa masuk hari ini. Soalnya aku masih di Medan, oke?” Begitu mendengar balasan ‘oke’ dari orang yang dihubungi, Jimmy langsung menekan tombol merah.
            “Lex, titipkan absenku ya. Aku lagi di Medan ini.” Begitu permintaanya disetujui, Riky langsung menyimpan telepon genggam miliknya ke dalam saku celana.
            Riky dan Jimmy segera menghampiri meja makan. Sudah tersedia semangkuk sup telur puyuh ditambah ikan nila besar ditaburi sambal cabe dan lalapan sayur sawi. Mengamati menu sarapan pagi yang menggiurkan, Riky dan Jimmy langsung menarik bangku, mendekati meja makan.
            “Ada jadwal perkuliahan hari ini?” tanya Fidel sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
            “Masuk pukul 09.40 ya tapi enggak mungkin terkejar lagi sampai di Pematangsiantar,” jawab Riky seraya mengangkat ikan nila ke atas piringnya.
            Aldo melirik ke arloji yang selalu setia di lengan tangannya. Pukul 07.20 pagi. Memang tidak mungkin perjalanan dari Medan sampai ke Pematangsiantar ditempuh dalam waktu dua jam. Jika diperkiraan akan membutuhkan waktu maksimal tiga jam perjalanan dan paling sedikit dua jam empat puluh menit.
            “Jadi elo masuk jam berapa, Jim?” tanya Aldo.
            “Jam 07.30. Padahal ini sudah ketiga kalinya aku absen. Dosen mata kuliah yang satu ini, agak susah diajak negosiasi,” sahut Jimmy sambil menguyah daging ikan.
            “Hmm, kami pun juga begitu. Hampir di setiap mata kuliah absen kami selalu ada. Minimal satu. Sebenarnya sih bisa-bisa aja cuti untuk satu sampai dua tahun tapi lama nanti tamatnya,” jelas Fidel sambil mencelupkan tangan ke dalam kobokan lalu agak membilas bagian tangan yang masih kotor.
            “Kalau tamat nanti, kita bisa mencurahkan konsentrasi untuk band ini. Aku punya impian kalau band kita bisa konser keluar negeri. Ya minimal di konser di negara-negara di Asia Tenggara-lah,” sambung Aldo sambil meneguk segelas air.
            Teman-teman Aldo mengangguk setuju sambil mengaminkan perkataan dari sang vokalis. Mereka sudah selesai menghabiskan sarapan pagi. Begitu juga dengan sang manajer. Ia tidak terlibat dalam pembicaraan mereka meskipun sang manager berada satu meja dengan mereka.
            “Tapi aku masih penasaran dan geram dengan pelempar bom asap di konser kita. Untung konser kita enggak langsung kacau gara-gara ulah si pelempar itu,” ungkap Fidel sambil menyingkirkan piring bekas makanannya.
            “Polisi sudah menemukan ciri-ciri pelempar bom itu,” kata sang manajer tiba-tiba.
            Ketika Vinno dan teman-temannya hampir meninggalkan meja makan, mereka sontak melirik ke arah manajer mereka.
            “Pak Edward tahu darimana?” tanya Aldo, heran.
            “Nanti saya ceritakan di mobil,” tunda sang manajer sambil menyuruh mereka beranjak pergi dari sana.

Friday, 26 January 2018

The Beauty Symphony - 7



Konser di Medan
            12 Mei 2016. Hari yang ditunggu-tunggu Fidel dan kawan-kawan telah tiba.Fidel, Riky dan Jimmy mengenakan kaus oblong berpadu celana panjang model koyak di bagian lutut. Sementara Aldo, sang vokalis memakai kemeja flanel motif merah bergaris hitam.
            “Wes, nice banget gaya loe, Aldo. Kayaknya loe udah siap mengguncang panggung Medan,” ujar Fidel sambil mengamati sekilas penampilan sang vokalis.
            “Jelaslah. Tinggal menunggu manajer kita yang belum datang. Tapi kalian enggak ada ditelepon pihak event organizer soal jadwal panggung kita?” tanya Aldo sambil menyisir rambutnya yang mulai panjang.
            “Oh tadi mereka menelepon gua dan bilang kalau kita akan tampil jam sembilan malam,” sahut Riky.
            “Dan sekarang sudah jam berapa?” tanya Aldo lagi.
            Jimmy melirik arloji Seiko yang melingkar di lengannya. “Sekarang pukul 17.50.”
            Aldo refleks memegang kepalanya sambil berkata,”Aduh! Seharusnya ‘kan Pak Edward sudah datang menjemput kita ke sini. Kalau begini ceritanya, bisa-bisa kita telat datang ke konser.”
            Melihat sang vokalis mulai panik, lantas Fidel merogoh saku celana panjang seraya menarik telepon genggam miliknya. Begitu telepon sudah di tangan, jemari kurus Fidel mencari kontak manajer mereka.
            Fidel sedang mencoba menghubungi Pak Edward—manajer mereka tapi tak ada jawaban.
            Sial, maki batin Fidel.
            Ketika akan menghubungi sang manajer kedua kali, mobil Terios hitam melaju pelan kemudian memasuki pekarangan kontrakan mereka.
            “Ayo cepat masuk,” suruh lelaki berkemeja cokelat dalam mobil itu.
            Tanpa banyak tanya, Aldo dan kawan-kawan langsung membuka kenop mobil seraya mendaratkan bokong mereka di atas jok mobil. Begitu keempat lelaki itu masuk, sang supir tancap gas meninggalkan pekarangan kontrakan.
*
            Jalan lintas Pematangsiantar menuju Tebing Tinggi memang selalu gelap. Tanpa lampu jalan bertengger menerangi setiap kendaraan melintas di sana. Hutan karet mendominasi pemandangan di sebelah kiri dan kanan mereka.
            “Ini jalan lintas kok enggak ada dibikin lampu jalannya gitu? Jalan raya dengan kondisi begini ‘kan bisa mengundang tindak kejahatan kayak begal, penodongan, perampok bahkan pemerkosaan.” Jimmy beropini tentang jalan yang sedang mereka lalui saat ini.
            “Ya mau gimana lagi pemerintah setempat juga kurang menyerap aspirasi masyarakat di sini. Dan lagipula, pemerintah cuma mengharapkan kesadaran dan inisiatif perusahaan pengelola hutan karet untuk menambah fasilitas jalan di sini,” jawab Pak Edward.
            “Tapi omong-omong Pak Edward tinggal di sekitar jalan lintas ini ‘kan?” sela Riky.
            “Tidak. Cuma ada kerabat saya tinggal dan bekerja di sekitar sini sebagai pegawai tetap di perusahaan pengelolaan hutan karet.”
            Riky mengangguk pelan begitu mendengar jawaban dari Pak Edward. “Tapi apa yang menyebabkan Bapak terlambat menjemput kami?”
            “Begini. Pak Haris, supir kita ini, bilang kalau dia sedang membawa anak perempuannya berobat ke puskesmas jadi beliau minta maaf pada saya perihal keterlambatannya termasuk kepada kalian juga,” jelas Pak Edward mengenai keterlambatan dirinya. Ia bercerita sambil menolehkan sedikit kepalanya ke arah keempat pemuda itu.
            “Oh jadi begitu. Tapi kalau boleh tahu, anak perempuan Pak Haris sudah kelas berapa sekarang?” tanya Jimmy pada sang supir.
            “Anak perempuan saya sudah kelas 7 SMP, Nak,” jawab sang supir atas pertanyaan Jimmy.
            “Ya elah masih sempat-sempatnya loe nanya soal cewek, Jim. Fokus kita saat ini bagaimana kita bisa memberikan penampilan terbaik dan memuaskan para penggemar kita. Ini juga merupakan konser kita yang keempat kalinya di Sumatra Utara. Keep your focus, okey?” Fidel menasihati Jimmy yang selalu saja memikirkan cewek bahkan di saat-saat penting.
            “Oke, Bro. Gua mengerti,” balas Jimmy dengan anggukkan pasrah.
            “Dan tambahan dari saya,” sambung Pak Edward, “jaga kekompakan kalian dan bicarakan dengan kepala dingin dan hati damai jika ada masalah yang mengganjal pikiran kalian. Bisa?”
            “Bisa, Pak,” jawab mereka serentak.
            “Dan satu lagi. Ketika kalian berada di panggung, beraksilah sebagaimana diri kalian sendiri. Buatlah para penggemar kalian terkesan dan bangga dengan performa kalian. Oke?” ujar Pak Edward dengan semangat.
            Nasihat yang diberikan sang manajer biasanya cukup ampuh membakar semangat mereka. Karena Pak Edward sendiri pun sudah bersama dengan mereka selama satu setengah tahun. Jadi tidak susah bagi sang manajer memahami watak mereka masing-masing. Serta memacu niat dan usaha mereka agar mereka tetap berkarya.
*
            Ban mobil Terios berdecit pelan ketika para penumpang di dalam mobil itu mengamati kerumunan manusia mulai memadati lapangan Merdeka. Mungkin kalau ditaksir hampir ribuan orang berbondong-bondong menyaksikan penampilan para bintang tamu termasuk perfoma dari The Beauty Symphony.
            “Maju terus, Pak, sampai ke tenda di belakang panggung itu,” suruh sang manajer seraya sang supir mengikuti instruksi.
            Akhirnya mereka sampai di tempat yang telah ditentukan. Sebelum mereka turun dari mobil, kedatangan mereka disambut dengan hormat dari dua laki-laki berdinas polisi.
            “Maaf, Pak, ada keperluan apa di sini?” tanya salah satu polisi itu.
            Sang manajer membuka kaca mobil seraya menjawab, ”Kami dari The Beauty Symphony band dan saya manajer dari band ini. Kami juga merupakan bintang tamu dari acara ini. Bapak perlu bukti juga?”
            Pak Edward mengambil telepon genggam dari dalam saku lalu mencari kontak event organizer dalam acara itu.
            “Sebentar ya, Pak,” tahan sang manajer sambil menunggu panggilan telepon tersambung.
            Lewat dari tiga detik, panggilan telepon dari sang manajer sudah tersambung ke nomor tujuan.
            “Halo, Pak Herman.”
            “Iya, Halo. Saya berbicara dengan siapa saat ini?”
            “Ini saya Edward Liem, manajer dari band The Beauty Symphony,” jawab Edward.
            “Oh iya, iya. Ada perlu apa ya, Pak Edward?”
            “Ada dua orang polisi ingin berbicara dengan Anda.” Edward memberikan telepon genggamnya kepada salah satu polisi itu.
            Begitu mendengar jawaban dari event organizer acara itu, dua polisi itu langsung mempersilahkan para penumpang dalam mobil turun.
            “Ayo silakan turun, Pak. Biar kami antar Bapak ke tenda yang telah disediakan.” Sang manajer dan sang supir turun terlebih dahulu kemudian disusul Aldo dan teman-temannya.
            Begitu mereka semua sudah menginjakkan kaki, kedua polisi berada di samping para personil The Beauty Symphony dan sang manajer menuju tenda yang telah disediakan.
            Dari belakang panggung, Fidel bisa mengamati para penonton sedang menikmati penampilan dari penyanyi trio Batak. Ada penonton yang bersenandung mengikuti lirik-lirik yang dinyanyikan sang penyanyi. Dan ada pula sekadar mengamati sambil merekam dengan aplikasi video perekam dari telepon genggam. Fidel melihat sekilas arloji yang melingkar di lengan.
            Apa kami sudah terlambat? tanya Fidel dalam hati.
            Mereka semua sudah berada di hadapan tenda terpal putih yang berdiri megah di  belakang panggung. Mungkin event organizer acara itu sudah menunggu dengan wajah cemberut sambil melipat tangan di dada.
            “Silakan masuk, Pak,” ujar polisi itu seraya menjulurkan tangan ke arah tenda.
            Para personil The Beauty Symphony dan sang manajer memasuki tenda saat mendapat aba-aba dari polisi. Begitu memasuki tenda, mereka melihat seorang lelaki berambut cepak memakai jaket berbahan jins berdiri membelakangi mereka.
            “Pak Herman,” panggil Edward pada laki-laki yang berada di depannya.
            Merasa namanya dipanggil oleh seseorang, lelaki berambut cepak itu menoleh ke belakang.
            “Oh Pak Edward, manajer dari band The Beauty Symphony ‘kan?” tunjuk Herman pada lelaki berkemeja cokelat itu, “Ayo silakan duduk dulu.”
            Aldo dan kawan-kawan duduk di bangku yang telah disediakan pihak event organizer. Dari tiga dari empat konser yang mereka jalani, hanya kota Medanlah yang memberikan fasilitas terbaik bagi para bintang tamu. Meja sekaligus cermin rias dikhususkan untuk para bintang tamu, terpampang di depan mata. Dispenser dan kasur sebagai tempat perebahkan badan dan kepala.
            “Saya tahu apa yang kalian pikirkan.Pasti kalian berpikir kalau kalian sudah terlambat untuk tampil di panggung, bukan?” tebak pak Herman. Aldo tersenyum kecil ketika tebakan pak Herman benar.
            “Kalian tidak usah cemas. Kami sudah mengatur semuanya sedemikian apik dan sistematis. Setelah penampilan terakhir dari trio penyanyi Batak yang satu ini, di situlah giliran kalian tampil,” jelas pak Herman, sang event organizer.
            Aldo dan kawan-kawan mengangguk setuju dengan penjelasan Herman. Pak Edward, Aldo dan teman-teman memilih mengobrol sambil memainkan gawai pribadi mereka masing-masing. Tak ingin membuat bintang tamu menunggu, sang event organizer menelepon pemandu acara yang bertugas di atas panggung.
            Usai berbicara sebentar dengan pemandu acara, Herman langsung mendatangi Edward, Aldo dan teman-temannya.
            “Oke. Setelah lagu ini berakhir, kalian harus segera siap-siap.”
            Mendengar aba-aba dari Herman, Aldo dan teman-teman segera menyudahi percakapan sekaligus menyimpan gawai pribadi milik mereka. Mereka mengambil posisi berdiri dengan sedikit membusungkan dada sambil menyimak aba-aba dari pemandu acara. Begitu mereka mendengar pemandu acara mulai menyebutkan nama band mereka,Aldo dan teman-teman segera keluar dari tenda menuju panggung.
            “Ini dia, The Beauty Symphony!” sorak sang pemandu acara. Aldo dan teman-temam dengan langkah gagah dan penuh percaya diri memasuki panggung. Para personil sudah mengambil posisi masing-masing. Seperti biasa, Aldo sebagai vokalis. Fidel sebagai gitaris melodi. Jimmy sebagai bassist dan Riky sebagai drummer.
            Sebelum menyanyikan lagu, Aldo sang vokalis memilih menyapa para penggemar dan penonton yang sedang menyaksikan aksi panggung mereka.
            “Selamat malam semuanya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu wali dan wakil wali kota Medan yang bersedia menyaksikan acara ini. Terimakasih juga buat pihak pengelola acara dan juga untuk para penggemar dan penonoton acara ini. Dan terakhir saya mengucapkan selamat hari jadi kota Medan. Semoga kota Medan menjadi kota yang tentram. Kota yang aman, nyaman dan kota yang paling sejahtera para penduduknya. Amin?” Para penonton menyambut dengan balasan ‘amin’ juga.
            Aldo menolehkan kepala ke arah Fidel. Dan Fidel mengangguk mengerti. Lelaki kurus berbadan agak padat itu, mulai memainkan jemari, memetik senar gitar secara cepat. Para penonton mulai bersorak riuh.
            “Sebelum kami membawakan lagu-lagu ciptaan kami, kami akan membawakan lagu Separuh Nafasku.”
            Separuh nafasku terbang bersama dirimu
            Saat kautinggalkanku salahkanku
            Salahkah aku bila aku bukanlah seperti
            Aku yang dahulu...
            Melihat penampilan sang vokalis yang begitu bersemangat dan menghayati lirik lagu, para penonton dan penggemar seakan-akan hanyut dan larut oleh performa band itu. Mereka menggoyangkan kepala sambil ikut bernyanyi dengan sang vokalis.
            Ketika Aldo dan teman-temannya begitu all outmenampilkan performa mereka,  Aldo dan teman-teman tidak menyadari bahwa Adit dan temannya sedang merencanakan sesuatu yang buruk pada mereka.
            “Oke. Ini saat yang tepat untuk melemparkan bom asap itu ke mereka.” Edo, lelaki berambut gondrong itu sudah memegang bulatan hitam itu di tangan. Djarot dan Anton yang berada di depan Edo di barisan paling tengah, sedang menutupi Edo agar aksi mereka tidak diketahui pihak keamanan.
            Begitu mendapatkan momen dan sasaran yang pas, Edo menggerakkan tangan secara cepat, melemparkan bom asap itu dan mengenai lantai panggung.
            Bom asap sudah pecah. Kepulan asap tipis berangsur-angsur tebal langsung mengerubungi para personil band The Beauty Symphony. Para penonton yang melihat kejadian itu bertanya-tanya sekaligus rada panik. Kepulan asap itu mengganggu penglihatan Aldo dan teman-temannya sekaligus membuat mereka batuk kecil.
            Djarot, Anton, dan Edo segera menyingkir dari barisan tengah menuju Adit yang menunggu dan memantau di barisan paling belakang dan terpinggir dari kerumunan. Keempat lelaki itu mempercepat kaki menuju pintu keluar.
            Kepulan asap semakin menipis.Aldo dan teman-temannya perlahan-lahan mulai bisa melihat dengan normal. Gangguan kecil itu hampir saja membuat penampilan mereka berhenti. Tapi bola mata Aldo mengarah pada segerombolan laki-laki yang tergesa melewati pintu keluar.
            Sepertinya aku mengenali mereka...apa jangan-jangan...
            Aldo tak ingin pikirannya teralihkan begitu saja hanya karena gangguan ini. Ia menarik napas pelan sambil melirik ke arah Fidel, membisikkan sesuatu.