Friday, 26 January 2018

The Beauty Symphony - 7



Konser di Medan
            12 Mei 2016. Hari yang ditunggu-tunggu Fidel dan kawan-kawan telah tiba.Fidel, Riky dan Jimmy mengenakan kaus oblong berpadu celana panjang model koyak di bagian lutut. Sementara Aldo, sang vokalis memakai kemeja flanel motif merah bergaris hitam.
            “Wes, nice banget gaya loe, Aldo. Kayaknya loe udah siap mengguncang panggung Medan,” ujar Fidel sambil mengamati sekilas penampilan sang vokalis.
            “Jelaslah. Tinggal menunggu manajer kita yang belum datang. Tapi kalian enggak ada ditelepon pihak event organizer soal jadwal panggung kita?” tanya Aldo sambil menyisir rambutnya yang mulai panjang.
            “Oh tadi mereka menelepon gua dan bilang kalau kita akan tampil jam sembilan malam,” sahut Riky.
            “Dan sekarang sudah jam berapa?” tanya Aldo lagi.
            Jimmy melirik arloji Seiko yang melingkar di lengannya. “Sekarang pukul 17.50.”
            Aldo refleks memegang kepalanya sambil berkata,”Aduh! Seharusnya ‘kan Pak Edward sudah datang menjemput kita ke sini. Kalau begini ceritanya, bisa-bisa kita telat datang ke konser.”
            Melihat sang vokalis mulai panik, lantas Fidel merogoh saku celana panjang seraya menarik telepon genggam miliknya. Begitu telepon sudah di tangan, jemari kurus Fidel mencari kontak manajer mereka.
            Fidel sedang mencoba menghubungi Pak Edward—manajer mereka tapi tak ada jawaban.
            Sial, maki batin Fidel.
            Ketika akan menghubungi sang manajer kedua kali, mobil Terios hitam melaju pelan kemudian memasuki pekarangan kontrakan mereka.
            “Ayo cepat masuk,” suruh lelaki berkemeja cokelat dalam mobil itu.
            Tanpa banyak tanya, Aldo dan kawan-kawan langsung membuka kenop mobil seraya mendaratkan bokong mereka di atas jok mobil. Begitu keempat lelaki itu masuk, sang supir tancap gas meninggalkan pekarangan kontrakan.
*
            Jalan lintas Pematangsiantar menuju Tebing Tinggi memang selalu gelap. Tanpa lampu jalan bertengger menerangi setiap kendaraan melintas di sana. Hutan karet mendominasi pemandangan di sebelah kiri dan kanan mereka.
            “Ini jalan lintas kok enggak ada dibikin lampu jalannya gitu? Jalan raya dengan kondisi begini ‘kan bisa mengundang tindak kejahatan kayak begal, penodongan, perampok bahkan pemerkosaan.” Jimmy beropini tentang jalan yang sedang mereka lalui saat ini.
            “Ya mau gimana lagi pemerintah setempat juga kurang menyerap aspirasi masyarakat di sini. Dan lagipula, pemerintah cuma mengharapkan kesadaran dan inisiatif perusahaan pengelola hutan karet untuk menambah fasilitas jalan di sini,” jawab Pak Edward.
            “Tapi omong-omong Pak Edward tinggal di sekitar jalan lintas ini ‘kan?” sela Riky.
            “Tidak. Cuma ada kerabat saya tinggal dan bekerja di sekitar sini sebagai pegawai tetap di perusahaan pengelolaan hutan karet.”
            Riky mengangguk pelan begitu mendengar jawaban dari Pak Edward. “Tapi apa yang menyebabkan Bapak terlambat menjemput kami?”
            “Begini. Pak Haris, supir kita ini, bilang kalau dia sedang membawa anak perempuannya berobat ke puskesmas jadi beliau minta maaf pada saya perihal keterlambatannya termasuk kepada kalian juga,” jelas Pak Edward mengenai keterlambatan dirinya. Ia bercerita sambil menolehkan sedikit kepalanya ke arah keempat pemuda itu.
            “Oh jadi begitu. Tapi kalau boleh tahu, anak perempuan Pak Haris sudah kelas berapa sekarang?” tanya Jimmy pada sang supir.
            “Anak perempuan saya sudah kelas 7 SMP, Nak,” jawab sang supir atas pertanyaan Jimmy.
            “Ya elah masih sempat-sempatnya loe nanya soal cewek, Jim. Fokus kita saat ini bagaimana kita bisa memberikan penampilan terbaik dan memuaskan para penggemar kita. Ini juga merupakan konser kita yang keempat kalinya di Sumatra Utara. Keep your focus, okey?” Fidel menasihati Jimmy yang selalu saja memikirkan cewek bahkan di saat-saat penting.
            “Oke, Bro. Gua mengerti,” balas Jimmy dengan anggukkan pasrah.
            “Dan tambahan dari saya,” sambung Pak Edward, “jaga kekompakan kalian dan bicarakan dengan kepala dingin dan hati damai jika ada masalah yang mengganjal pikiran kalian. Bisa?”
            “Bisa, Pak,” jawab mereka serentak.
            “Dan satu lagi. Ketika kalian berada di panggung, beraksilah sebagaimana diri kalian sendiri. Buatlah para penggemar kalian terkesan dan bangga dengan performa kalian. Oke?” ujar Pak Edward dengan semangat.
            Nasihat yang diberikan sang manajer biasanya cukup ampuh membakar semangat mereka. Karena Pak Edward sendiri pun sudah bersama dengan mereka selama satu setengah tahun. Jadi tidak susah bagi sang manajer memahami watak mereka masing-masing. Serta memacu niat dan usaha mereka agar mereka tetap berkarya.
*
            Ban mobil Terios berdecit pelan ketika para penumpang di dalam mobil itu mengamati kerumunan manusia mulai memadati lapangan Merdeka. Mungkin kalau ditaksir hampir ribuan orang berbondong-bondong menyaksikan penampilan para bintang tamu termasuk perfoma dari The Beauty Symphony.
            “Maju terus, Pak, sampai ke tenda di belakang panggung itu,” suruh sang manajer seraya sang supir mengikuti instruksi.
            Akhirnya mereka sampai di tempat yang telah ditentukan. Sebelum mereka turun dari mobil, kedatangan mereka disambut dengan hormat dari dua laki-laki berdinas polisi.
            “Maaf, Pak, ada keperluan apa di sini?” tanya salah satu polisi itu.
            Sang manajer membuka kaca mobil seraya menjawab, ”Kami dari The Beauty Symphony band dan saya manajer dari band ini. Kami juga merupakan bintang tamu dari acara ini. Bapak perlu bukti juga?”
            Pak Edward mengambil telepon genggam dari dalam saku lalu mencari kontak event organizer dalam acara itu.
            “Sebentar ya, Pak,” tahan sang manajer sambil menunggu panggilan telepon tersambung.
            Lewat dari tiga detik, panggilan telepon dari sang manajer sudah tersambung ke nomor tujuan.
            “Halo, Pak Herman.”
            “Iya, Halo. Saya berbicara dengan siapa saat ini?”
            “Ini saya Edward Liem, manajer dari band The Beauty Symphony,” jawab Edward.
            “Oh iya, iya. Ada perlu apa ya, Pak Edward?”
            “Ada dua orang polisi ingin berbicara dengan Anda.” Edward memberikan telepon genggamnya kepada salah satu polisi itu.
            Begitu mendengar jawaban dari event organizer acara itu, dua polisi itu langsung mempersilahkan para penumpang dalam mobil turun.
            “Ayo silakan turun, Pak. Biar kami antar Bapak ke tenda yang telah disediakan.” Sang manajer dan sang supir turun terlebih dahulu kemudian disusul Aldo dan teman-temannya.
            Begitu mereka semua sudah menginjakkan kaki, kedua polisi berada di samping para personil The Beauty Symphony dan sang manajer menuju tenda yang telah disediakan.
            Dari belakang panggung, Fidel bisa mengamati para penonton sedang menikmati penampilan dari penyanyi trio Batak. Ada penonton yang bersenandung mengikuti lirik-lirik yang dinyanyikan sang penyanyi. Dan ada pula sekadar mengamati sambil merekam dengan aplikasi video perekam dari telepon genggam. Fidel melihat sekilas arloji yang melingkar di lengan.
            Apa kami sudah terlambat? tanya Fidel dalam hati.
            Mereka semua sudah berada di hadapan tenda terpal putih yang berdiri megah di  belakang panggung. Mungkin event organizer acara itu sudah menunggu dengan wajah cemberut sambil melipat tangan di dada.
            “Silakan masuk, Pak,” ujar polisi itu seraya menjulurkan tangan ke arah tenda.
            Para personil The Beauty Symphony dan sang manajer memasuki tenda saat mendapat aba-aba dari polisi. Begitu memasuki tenda, mereka melihat seorang lelaki berambut cepak memakai jaket berbahan jins berdiri membelakangi mereka.
            “Pak Herman,” panggil Edward pada laki-laki yang berada di depannya.
            Merasa namanya dipanggil oleh seseorang, lelaki berambut cepak itu menoleh ke belakang.
            “Oh Pak Edward, manajer dari band The Beauty Symphony ‘kan?” tunjuk Herman pada lelaki berkemeja cokelat itu, “Ayo silakan duduk dulu.”
            Aldo dan kawan-kawan duduk di bangku yang telah disediakan pihak event organizer. Dari tiga dari empat konser yang mereka jalani, hanya kota Medanlah yang memberikan fasilitas terbaik bagi para bintang tamu. Meja sekaligus cermin rias dikhususkan untuk para bintang tamu, terpampang di depan mata. Dispenser dan kasur sebagai tempat perebahkan badan dan kepala.
            “Saya tahu apa yang kalian pikirkan.Pasti kalian berpikir kalau kalian sudah terlambat untuk tampil di panggung, bukan?” tebak pak Herman. Aldo tersenyum kecil ketika tebakan pak Herman benar.
            “Kalian tidak usah cemas. Kami sudah mengatur semuanya sedemikian apik dan sistematis. Setelah penampilan terakhir dari trio penyanyi Batak yang satu ini, di situlah giliran kalian tampil,” jelas pak Herman, sang event organizer.
            Aldo dan kawan-kawan mengangguk setuju dengan penjelasan Herman. Pak Edward, Aldo dan teman-teman memilih mengobrol sambil memainkan gawai pribadi mereka masing-masing. Tak ingin membuat bintang tamu menunggu, sang event organizer menelepon pemandu acara yang bertugas di atas panggung.
            Usai berbicara sebentar dengan pemandu acara, Herman langsung mendatangi Edward, Aldo dan teman-temannya.
            “Oke. Setelah lagu ini berakhir, kalian harus segera siap-siap.”
            Mendengar aba-aba dari Herman, Aldo dan teman-teman segera menyudahi percakapan sekaligus menyimpan gawai pribadi milik mereka. Mereka mengambil posisi berdiri dengan sedikit membusungkan dada sambil menyimak aba-aba dari pemandu acara. Begitu mereka mendengar pemandu acara mulai menyebutkan nama band mereka,Aldo dan teman-teman segera keluar dari tenda menuju panggung.
            “Ini dia, The Beauty Symphony!” sorak sang pemandu acara. Aldo dan teman-temam dengan langkah gagah dan penuh percaya diri memasuki panggung. Para personil sudah mengambil posisi masing-masing. Seperti biasa, Aldo sebagai vokalis. Fidel sebagai gitaris melodi. Jimmy sebagai bassist dan Riky sebagai drummer.
            Sebelum menyanyikan lagu, Aldo sang vokalis memilih menyapa para penggemar dan penonton yang sedang menyaksikan aksi panggung mereka.
            “Selamat malam semuanya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu wali dan wakil wali kota Medan yang bersedia menyaksikan acara ini. Terimakasih juga buat pihak pengelola acara dan juga untuk para penggemar dan penonoton acara ini. Dan terakhir saya mengucapkan selamat hari jadi kota Medan. Semoga kota Medan menjadi kota yang tentram. Kota yang aman, nyaman dan kota yang paling sejahtera para penduduknya. Amin?” Para penonton menyambut dengan balasan ‘amin’ juga.
            Aldo menolehkan kepala ke arah Fidel. Dan Fidel mengangguk mengerti. Lelaki kurus berbadan agak padat itu, mulai memainkan jemari, memetik senar gitar secara cepat. Para penonton mulai bersorak riuh.
            “Sebelum kami membawakan lagu-lagu ciptaan kami, kami akan membawakan lagu Separuh Nafasku.”
            Separuh nafasku terbang bersama dirimu
            Saat kautinggalkanku salahkanku
            Salahkah aku bila aku bukanlah seperti
            Aku yang dahulu...
            Melihat penampilan sang vokalis yang begitu bersemangat dan menghayati lirik lagu, para penonton dan penggemar seakan-akan hanyut dan larut oleh performa band itu. Mereka menggoyangkan kepala sambil ikut bernyanyi dengan sang vokalis.
            Ketika Aldo dan teman-temannya begitu all outmenampilkan performa mereka,  Aldo dan teman-teman tidak menyadari bahwa Adit dan temannya sedang merencanakan sesuatu yang buruk pada mereka.
            “Oke. Ini saat yang tepat untuk melemparkan bom asap itu ke mereka.” Edo, lelaki berambut gondrong itu sudah memegang bulatan hitam itu di tangan. Djarot dan Anton yang berada di depan Edo di barisan paling tengah, sedang menutupi Edo agar aksi mereka tidak diketahui pihak keamanan.
            Begitu mendapatkan momen dan sasaran yang pas, Edo menggerakkan tangan secara cepat, melemparkan bom asap itu dan mengenai lantai panggung.
            Bom asap sudah pecah. Kepulan asap tipis berangsur-angsur tebal langsung mengerubungi para personil band The Beauty Symphony. Para penonton yang melihat kejadian itu bertanya-tanya sekaligus rada panik. Kepulan asap itu mengganggu penglihatan Aldo dan teman-temannya sekaligus membuat mereka batuk kecil.
            Djarot, Anton, dan Edo segera menyingkir dari barisan tengah menuju Adit yang menunggu dan memantau di barisan paling belakang dan terpinggir dari kerumunan. Keempat lelaki itu mempercepat kaki menuju pintu keluar.
            Kepulan asap semakin menipis.Aldo dan teman-temannya perlahan-lahan mulai bisa melihat dengan normal. Gangguan kecil itu hampir saja membuat penampilan mereka berhenti. Tapi bola mata Aldo mengarah pada segerombolan laki-laki yang tergesa melewati pintu keluar.
            Sepertinya aku mengenali mereka...apa jangan-jangan...
            Aldo tak ingin pikirannya teralihkan begitu saja hanya karena gangguan ini. Ia menarik napas pelan sambil melirik ke arah Fidel, membisikkan sesuatu.

No comments:

Post a Comment