Konser di Medan
12 Mei 2016. Hari yang ditunggu-tunggu
Fidel dan kawan-kawan telah tiba.Fidel, Riky dan Jimmy mengenakan kaus oblong
berpadu celana panjang model koyak di bagian lutut. Sementara Aldo, sang vokalis memakai kemeja flanel motif merah
bergaris hitam.
“Wes, nice banget gaya loe, Aldo.
Kayaknya loe udah siap mengguncang
panggung Medan,” ujar Fidel sambil mengamati sekilas penampilan sang vokalis.
“Jelaslah. Tinggal menunggu manajer
kita yang belum datang. Tapi kalian enggak ada ditelepon pihak event organizer soal jadwal panggung
kita?” tanya Aldo sambil menyisir rambutnya yang mulai
panjang.
“Oh tadi mereka menelepon gua dan
bilang kalau kita akan tampil jam sembilan malam,” sahut Riky.
“Dan sekarang sudah jam berapa?”
tanya Aldo lagi.
Jimmy melirik arloji Seiko yang
melingkar di lengannya. “Sekarang pukul 17.50.”
Aldo
refleks memegang kepalanya sambil berkata,”Aduh! Seharusnya ‘kan Pak Edward
sudah datang menjemput kita ke sini. Kalau begini ceritanya, bisa-bisa kita
telat datang ke konser.”
Melihat sang vokalis mulai
panik, lantas Fidel merogoh saku celana panjang seraya menarik telepon genggam
miliknya. Begitu telepon sudah di tangan, jemari kurus Fidel mencari kontak
manajer mereka.
Fidel sedang mencoba menghubungi Pak
Edward—manajer mereka tapi tak ada jawaban.
Sial,
maki batin Fidel.
Ketika akan menghubungi sang manajer
kedua kali, mobil Terios hitam melaju pelan kemudian memasuki pekarangan
kontrakan mereka.
“Ayo cepat masuk,” suruh lelaki
berkemeja cokelat dalam mobil itu.
Tanpa banyak tanya, Aldo dan kawan-kawan langsung membuka kenop mobil
seraya mendaratkan bokong mereka di atas jok mobil. Begitu keempat lelaki itu
masuk, sang supir tancap gas meninggalkan pekarangan kontrakan.
*
Jalan lintas Pematangsiantar menuju
Tebing Tinggi memang selalu gelap. Tanpa lampu jalan bertengger menerangi
setiap kendaraan melintas di sana. Hutan karet mendominasi pemandangan di
sebelah kiri dan kanan mereka.
“Ini jalan lintas kok enggak ada
dibikin lampu jalannya gitu? Jalan raya dengan kondisi begini ‘kan bisa
mengundang tindak kejahatan kayak begal, penodongan, perampok bahkan
pemerkosaan.” Jimmy beropini tentang jalan yang sedang mereka lalui saat ini.
“Ya mau gimana lagi pemerintah
setempat juga kurang menyerap aspirasi masyarakat di sini. Dan lagipula,
pemerintah cuma mengharapkan kesadaran dan inisiatif perusahaan pengelola hutan
karet untuk menambah fasilitas jalan di sini,” jawab Pak Edward.
“Tapi omong-omong Pak Edward tinggal
di sekitar jalan lintas ini ‘kan?” sela Riky.
“Tidak. Cuma ada kerabat saya
tinggal dan bekerja di sekitar sini sebagai pegawai tetap di perusahaan
pengelolaan hutan karet.”
Riky mengangguk pelan begitu
mendengar jawaban dari Pak Edward. “Tapi apa yang menyebabkan Bapak terlambat
menjemput kami?”
“Begini. Pak Haris, supir kita ini,
bilang kalau dia sedang membawa anak perempuannya berobat ke puskesmas jadi
beliau minta maaf pada saya perihal keterlambatannya termasuk kepada kalian
juga,” jelas Pak Edward mengenai keterlambatan dirinya. Ia bercerita sambil
menolehkan sedikit kepalanya ke arah keempat pemuda itu.
“Oh jadi begitu. Tapi kalau boleh
tahu, anak perempuan Pak Haris sudah kelas berapa sekarang?” tanya Jimmy pada
sang supir.
“Anak perempuan saya sudah kelas 7
SMP, Nak,” jawab sang supir atas pertanyaan Jimmy.
“Ya elah masih sempat-sempatnya loe nanya soal cewek, Jim. Fokus kita
saat ini bagaimana kita bisa memberikan penampilan terbaik dan memuaskan para
penggemar kita. Ini juga merupakan konser kita yang keempat kalinya di Sumatra
Utara. Keep your focus, okey?” Fidel
menasihati Jimmy yang selalu saja memikirkan cewek bahkan di saat-saat penting.
“Oke, Bro. Gua mengerti,” balas Jimmy dengan anggukkan pasrah.
“Dan tambahan dari saya,” sambung
Pak Edward, “jaga kekompakan kalian dan bicarakan dengan kepala dingin dan hati
damai jika ada masalah yang mengganjal pikiran kalian. Bisa?”
“Bisa, Pak,” jawab mereka serentak.
“Dan satu lagi. Ketika kalian berada
di panggung, beraksilah sebagaimana diri kalian sendiri. Buatlah para penggemar
kalian terkesan dan bangga dengan performa kalian. Oke?” ujar Pak Edward dengan
semangat.
Nasihat yang diberikan sang manajer
biasanya cukup ampuh membakar semangat mereka. Karena Pak Edward sendiri pun
sudah bersama dengan mereka selama satu setengah tahun. Jadi tidak susah bagi
sang manajer memahami watak mereka masing-masing. Serta memacu niat dan usaha
mereka agar mereka tetap berkarya.
*
Ban mobil Terios berdecit pelan
ketika para penumpang di dalam mobil itu mengamati kerumunan manusia mulai
memadati lapangan Merdeka. Mungkin kalau ditaksir hampir ribuan orang
berbondong-bondong menyaksikan penampilan para bintang tamu termasuk perfoma
dari The Beauty Symphony.
“Maju terus, Pak, sampai ke tenda di
belakang panggung itu,” suruh sang manajer seraya sang supir mengikuti
instruksi.
Akhirnya mereka sampai di tempat
yang telah ditentukan. Sebelum mereka turun dari mobil, kedatangan mereka
disambut dengan hormat dari dua laki-laki berdinas polisi.
“Maaf, Pak, ada keperluan apa di
sini?” tanya salah satu polisi itu.
Sang manajer membuka kaca mobil
seraya menjawab, ”Kami dari The Beauty Symphony band dan saya manajer dari band ini. Kami juga merupakan bintang
tamu dari acara ini. Bapak perlu bukti juga?”
Pak Edward mengambil telepon genggam
dari dalam saku lalu mencari kontak event
organizer dalam acara itu.
“Sebentar ya, Pak,” tahan sang
manajer sambil menunggu panggilan telepon tersambung.
Lewat dari tiga detik, panggilan
telepon dari sang manajer sudah tersambung ke nomor tujuan.
“Halo, Pak Herman.”
“Iya, Halo. Saya berbicara dengan
siapa saat ini?”
“Ini saya Edward Liem, manajer dari
band The Beauty Symphony,” jawab Edward.
“Oh iya, iya. Ada perlu apa ya, Pak
Edward?”
“Ada dua orang polisi ingin
berbicara dengan Anda.” Edward memberikan telepon genggamnya kepada salah satu
polisi itu.
Begitu mendengar jawaban dari event organizer acara itu, dua polisi
itu langsung mempersilahkan para penumpang dalam mobil turun.
“Ayo silakan turun, Pak. Biar kami
antar Bapak ke tenda yang telah disediakan.” Sang manajer dan sang supir turun
terlebih dahulu kemudian disusul Aldo
dan teman-temannya.
Begitu mereka semua sudah menginjakkan
kaki, kedua polisi berada di samping para personil The Beauty Symphony dan sang
manajer menuju tenda yang telah disediakan.
Dari belakang panggung, Fidel bisa
mengamati para penonton sedang menikmati penampilan dari penyanyi trio Batak.
Ada penonton yang bersenandung mengikuti lirik-lirik yang dinyanyikan sang
penyanyi. Dan ada pula sekadar mengamati sambil merekam dengan aplikasi video
perekam dari telepon genggam. Fidel melihat sekilas arloji yang melingkar di
lengan.
Apa
kami sudah terlambat? tanya Fidel dalam hati.
Mereka semua sudah berada di hadapan
tenda terpal putih yang berdiri megah di
belakang panggung. Mungkin event
organizer acara itu sudah menunggu dengan wajah cemberut sambil melipat
tangan di dada.
“Silakan masuk, Pak,” ujar polisi
itu seraya menjulurkan tangan ke arah tenda.
Para personil The Beauty Symphony
dan sang manajer memasuki tenda saat mendapat aba-aba dari polisi. Begitu
memasuki tenda, mereka melihat seorang lelaki berambut cepak memakai jaket
berbahan jins berdiri membelakangi mereka.
“Pak Herman,” panggil Edward pada laki-laki
yang berada di depannya.
Merasa namanya dipanggil oleh
seseorang, lelaki berambut cepak itu menoleh ke belakang.
“Oh Pak Edward, manajer dari band
The Beauty Symphony ‘kan?” tunjuk Herman pada lelaki berkemeja cokelat itu, “Ayo
silakan duduk dulu.”
Aldo
dan kawan-kawan duduk di bangku yang telah disediakan pihak event organizer. Dari tiga dari empat
konser yang mereka jalani, hanya kota Medanlah yang memberikan fasilitas
terbaik bagi para bintang tamu. Meja sekaligus cermin rias dikhususkan untuk
para bintang tamu, terpampang di depan mata. Dispenser dan kasur sebagai tempat
perebahkan badan dan kepala.
“Saya tahu apa yang kalian pikirkan.Pasti
kalian berpikir kalau kalian sudah terlambat untuk tampil di panggung, bukan?”
tebak pak Herman. Aldo tersenyum kecil ketika tebakan pak
Herman benar.
“Kalian tidak usah cemas. Kami sudah
mengatur semuanya sedemikian apik dan sistematis. Setelah penampilan terakhir
dari trio penyanyi Batak yang satu ini, di situlah giliran kalian tampil,”
jelas pak Herman, sang event organizer.
Aldo
dan kawan-kawan mengangguk setuju dengan penjelasan Herman. Pak Edward, Aldo dan teman-teman memilih mengobrol sambil memainkan
gawai pribadi mereka masing-masing. Tak ingin membuat bintang tamu menunggu,
sang event organizer menelepon
pemandu acara yang bertugas di atas panggung.
Usai berbicara sebentar dengan
pemandu acara, Herman langsung mendatangi Edward, Aldo dan teman-temannya.
“Oke. Setelah lagu ini berakhir,
kalian harus segera siap-siap.”
Mendengar aba-aba dari Herman, Aldo dan teman-teman segera menyudahi percakapan
sekaligus menyimpan gawai pribadi milik mereka. Mereka mengambil posisi berdiri
dengan sedikit membusungkan dada sambil menyimak aba-aba dari pemandu acara.
Begitu mereka mendengar pemandu acara mulai menyebutkan nama band mereka,Aldo dan teman-teman segera keluar dari tenda menuju
panggung.
“Ini dia, The Beauty Symphony!”
sorak sang pemandu acara. Aldo dan teman-temam
dengan langkah gagah dan penuh percaya diri memasuki panggung. Para personil
sudah mengambil posisi masing-masing. Seperti biasa, Aldo sebagai vokalis. Fidel sebagai gitaris melodi.
Jimmy sebagai bassist dan Riky
sebagai drummer.
Sebelum menyanyikan lagu, Aldo sang vokalis memilih menyapa para penggemar dan
penonton yang sedang menyaksikan aksi panggung mereka.
“Selamat malam semuanya. Saya
mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu wali dan wakil wali kota Medan yang
bersedia menyaksikan acara ini. Terimakasih juga buat pihak pengelola acara dan
juga untuk para penggemar dan penonoton acara ini. Dan terakhir saya
mengucapkan selamat hari jadi kota Medan. Semoga kota Medan menjadi kota yang
tentram. Kota yang aman, nyaman dan kota yang paling sejahtera para
penduduknya. Amin?” Para penonton menyambut dengan balasan ‘amin’ juga.
Aldo
menolehkan kepala ke arah Fidel. Dan Fidel mengangguk mengerti. Lelaki kurus
berbadan agak padat itu, mulai memainkan jemari, memetik senar gitar secara
cepat. Para penonton mulai bersorak riuh.
“Sebelum kami membawakan lagu-lagu
ciptaan kami, kami akan membawakan lagu Separuh
Nafasku.”
Separuh
nafasku terbang bersama dirimu
Saat
kautinggalkanku salahkanku
Salahkah
aku bila aku bukanlah seperti
Aku
yang dahulu...
Melihat penampilan sang vokalis yang
begitu bersemangat dan menghayati lirik lagu, para penonton dan penggemar
seakan-akan hanyut dan larut oleh performa band itu. Mereka menggoyangkan
kepala sambil ikut bernyanyi dengan sang vokalis.
Ketika Aldo dan teman-temannya
begitu all outmenampilkan performa
mereka, Aldo dan teman-teman tidak
menyadari bahwa Adit dan temannya sedang merencanakan
sesuatu yang buruk pada mereka.
“Oke. Ini saat yang tepat untuk melemparkan
bom asap itu ke mereka.” Edo, lelaki berambut
gondrong itu sudah memegang bulatan hitam itu di tangan. Djarot dan Anton
yang berada di depan Edo di barisan paling
tengah, sedang menutupi Edo agar aksi mereka
tidak diketahui pihak keamanan.
Begitu mendapatkan momen dan sasaran
yang pas, Edo menggerakkan tangan secara cepat,
melemparkan bom asap itu dan mengenai lantai panggung.
Bom asap sudah pecah. Kepulan asap
tipis berangsur-angsur tebal langsung mengerubungi para personil band The
Beauty Symphony. Para penonton yang melihat kejadian itu bertanya-tanya
sekaligus rada panik. Kepulan asap itu mengganggu penglihatan Aldo dan teman-temannya sekaligus membuat mereka batuk
kecil.
Djarot,
Anton, dan Edo segera menyingkir dari barisan
tengah menuju Adit yang menunggu dan memantau di barisan
paling belakang dan terpinggir dari kerumunan. Keempat lelaki itu mempercepat
kaki menuju pintu keluar.
Kepulan asap semakin menipis.Aldo dan teman-temannya perlahan-lahan mulai bisa
melihat dengan normal. Gangguan kecil itu hampir saja membuat penampilan mereka
berhenti. Tapi bola mata Aldo mengarah pada
segerombolan laki-laki yang tergesa melewati pintu keluar.
Sepertinya
aku mengenali mereka...apa jangan-jangan...
Aldo tak ingin pikirannya teralihkan begitu saja
hanya karena gangguan ini. Ia menarik napas pelan sambil melirik ke arah Fidel,
membisikkan sesuatu.

No comments:
Post a Comment