Saturday, 27 January 2018

The Beauty Symphony - 8



Rencana Selanjutnya
            Adit dan teman-temannya berada di tempat parkiri sepeda motor. Napas mereka terasa menyesakkan dada. Mereka melihat dari belakang para polisi mulai mencari biang kerok atas insiden kecil di panggung tadi.
            “Cepat Adit!” suruh Djarot dari belakang.
            Usai memutar kunci, Adit menekan kopling sambil menekan tombol electric stater. Begitu mesin menyala, lelaki agak pendek itu menarik tali gas, meninggalkan lapangan Merdeka. Diikuti dua motor di belakang Adit.
            Merasa sudah begitu jauh dan tak ada tanda-tanda kejaran polisi, Adit memperlambat laju motor. Dua motor di belakang Adit melaju agak cepat supaya bisa di samping sepeda motor Adit.
            “Yang tadi itu hampir saja,” ujar Martin yang mengendarai motornya sendirian.
            “Benar juga, Tin. Kalau kita tadi enggak cepat-cepat keluar, bisa saja kita langsung diringkus. Tapi berkat penonton yang hampir lebih dari lima kompi tentara, para polisi enggak bisa melacak kita,” tambah Edo yang dibonceng Anton.
            “Tapi gua merasa kurang puas gitu. Bisa saja gangguan tadi tidak terlalu berpengaruh sama penampilan mereka. Bisa saja mereka break sebentar lalu lanjut lagi,” kata Djarot.
            “Benar juga loe, Rot. Gua saja enggak sampai berpikir ke sana,” dukung Adit sambil berfokus pada kemudin motornya.
            “Tapi loe semua tenang saja. Gua punya rencana yang bakal membuat The Beauty Symphony hancur lebur.” Djarot menutup perkataannya dengan senyum kecil mengandung sejumlah tanda tanya.
*
            Untung saja hari ini Aldo dan Fidel masuk perkuliahan pukul 12.40 tengah hari. Dua perosnil The Beauty Symphony sedang menikmati sarapan pagi di hotel JW Marriot. Sementara itu, Jimmy dan Riky sedang menelepon teman sekelas mereka.
            “Mega, tolong ya sampaikan sama ketua group kita kalau aku enggak bisa masuk hari ini. Soalnya aku masih di Medan, oke?” Begitu mendengar balasan ‘oke’ dari orang yang dihubungi, Jimmy langsung menekan tombol merah.
            “Lex, titipkan absenku ya. Aku lagi di Medan ini.” Begitu permintaanya disetujui, Riky langsung menyimpan telepon genggam miliknya ke dalam saku celana.
            Riky dan Jimmy segera menghampiri meja makan. Sudah tersedia semangkuk sup telur puyuh ditambah ikan nila besar ditaburi sambal cabe dan lalapan sayur sawi. Mengamati menu sarapan pagi yang menggiurkan, Riky dan Jimmy langsung menarik bangku, mendekati meja makan.
            “Ada jadwal perkuliahan hari ini?” tanya Fidel sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
            “Masuk pukul 09.40 ya tapi enggak mungkin terkejar lagi sampai di Pematangsiantar,” jawab Riky seraya mengangkat ikan nila ke atas piringnya.
            Aldo melirik ke arloji yang selalu setia di lengan tangannya. Pukul 07.20 pagi. Memang tidak mungkin perjalanan dari Medan sampai ke Pematangsiantar ditempuh dalam waktu dua jam. Jika diperkiraan akan membutuhkan waktu maksimal tiga jam perjalanan dan paling sedikit dua jam empat puluh menit.
            “Jadi elo masuk jam berapa, Jim?” tanya Aldo.
            “Jam 07.30. Padahal ini sudah ketiga kalinya aku absen. Dosen mata kuliah yang satu ini, agak susah diajak negosiasi,” sahut Jimmy sambil menguyah daging ikan.
            “Hmm, kami pun juga begitu. Hampir di setiap mata kuliah absen kami selalu ada. Minimal satu. Sebenarnya sih bisa-bisa aja cuti untuk satu sampai dua tahun tapi lama nanti tamatnya,” jelas Fidel sambil mencelupkan tangan ke dalam kobokan lalu agak membilas bagian tangan yang masih kotor.
            “Kalau tamat nanti, kita bisa mencurahkan konsentrasi untuk band ini. Aku punya impian kalau band kita bisa konser keluar negeri. Ya minimal di konser di negara-negara di Asia Tenggara-lah,” sambung Aldo sambil meneguk segelas air.
            Teman-teman Aldo mengangguk setuju sambil mengaminkan perkataan dari sang vokalis. Mereka sudah selesai menghabiskan sarapan pagi. Begitu juga dengan sang manajer. Ia tidak terlibat dalam pembicaraan mereka meskipun sang manager berada satu meja dengan mereka.
            “Tapi aku masih penasaran dan geram dengan pelempar bom asap di konser kita. Untung konser kita enggak langsung kacau gara-gara ulah si pelempar itu,” ungkap Fidel sambil menyingkirkan piring bekas makanannya.
            “Polisi sudah menemukan ciri-ciri pelempar bom itu,” kata sang manajer tiba-tiba.
            Ketika Vinno dan teman-temannya hampir meninggalkan meja makan, mereka sontak melirik ke arah manajer mereka.
            “Pak Edward tahu darimana?” tanya Aldo, heran.
            “Nanti saya ceritakan di mobil,” tunda sang manajer sambil menyuruh mereka beranjak pergi dari sana.

No comments:

Post a Comment