Rencana Selanjutnya
Adit dan teman-temannya berada di tempat parkiri sepeda
motor. Napas mereka terasa menyesakkan dada. Mereka melihat dari belakang para
polisi mulai mencari biang kerok atas insiden kecil di panggung tadi.
“Cepat Adit!” suruh Djarot dari belakang.
Usai memutar kunci, Adit menekan kopling sambil menekan tombol electric stater. Begitu mesin menyala,
lelaki agak pendek itu menarik tali gas, meninggalkan lapangan Merdeka. Diikuti
dua motor di belakang Adit.
Merasa sudah begitu jauh dan tak ada
tanda-tanda kejaran polisi, Adit memperlambat
laju motor. Dua motor di belakang Adit melaju agak
cepat supaya bisa di samping sepeda motor Adit.
“Yang tadi itu hampir saja,” ujar
Martin yang mengendarai motornya sendirian.
“Benar juga, Tin. Kalau kita tadi
enggak cepat-cepat keluar, bisa saja kita langsung diringkus. Tapi berkat
penonton yang hampir lebih dari lima kompi tentara, para polisi enggak bisa
melacak kita,” tambah Edo yang dibonceng
Anton.
“Tapi gua merasa kurang puas gitu.
Bisa saja gangguan tadi tidak terlalu berpengaruh sama penampilan mereka. Bisa
saja mereka break sebentar lalu
lanjut lagi,” kata Djarot.
“Benar juga loe, Rot. Gua saja enggak
sampai berpikir ke sana,” dukung Adit sambil berfokus
pada kemudin motornya.
“Tapi loe semua tenang saja. Gua
punya rencana yang bakal membuat The Beauty Symphony hancur lebur.” Djarot menutup perkataannya dengan senyum kecil mengandung
sejumlah tanda tanya.
*
Untung saja hari ini Aldo dan Fidel masuk perkuliahan pukul 12.40 tengah
hari. Dua perosnil The Beauty Symphony sedang menikmati sarapan pagi di hotel
JW Marriot. Sementara itu, Jimmy dan Riky sedang menelepon teman sekelas
mereka.
“Mega, tolong ya sampaikan sama
ketua group kita kalau aku enggak bisa masuk hari ini. Soalnya aku masih di
Medan, oke?” Begitu mendengar balasan ‘oke’ dari orang yang dihubungi, Jimmy
langsung menekan tombol merah.
“Lex, titipkan absenku ya. Aku lagi
di Medan ini.” Begitu permintaanya disetujui, Riky langsung menyimpan telepon
genggam miliknya ke dalam saku celana.
Riky dan Jimmy segera menghampiri
meja makan. Sudah tersedia semangkuk sup telur puyuh ditambah ikan nila besar
ditaburi sambal cabe dan lalapan sayur sawi. Mengamati menu sarapan pagi yang
menggiurkan, Riky dan Jimmy langsung menarik bangku, mendekati meja makan.
“Ada jadwal perkuliahan hari ini?”
tanya Fidel sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
“Masuk pukul 09.40 ya tapi enggak
mungkin terkejar lagi sampai di Pematangsiantar,” jawab Riky seraya mengangkat
ikan nila ke atas piringnya.
Aldo melirik ke arloji yang selalu setia di lengan
tangannya. Pukul 07.20 pagi. Memang tidak mungkin perjalanan dari Medan sampai
ke Pematangsiantar ditempuh dalam waktu dua jam. Jika diperkiraan akan
membutuhkan waktu maksimal tiga jam perjalanan dan paling sedikit dua jam empat
puluh menit.
“Jadi elo masuk jam berapa, Jim?”
tanya Aldo.
“Jam 07.30. Padahal ini sudah ketiga
kalinya aku absen. Dosen mata kuliah yang satu ini, agak susah diajak
negosiasi,” sahut Jimmy sambil menguyah daging ikan.
“Hmm, kami pun juga begitu. Hampir
di setiap mata kuliah absen kami selalu ada. Minimal satu. Sebenarnya sih
bisa-bisa aja cuti untuk satu sampai dua tahun tapi lama nanti tamatnya,” jelas
Fidel sambil mencelupkan tangan ke dalam kobokan lalu agak membilas bagian
tangan yang masih kotor.
“Kalau tamat nanti, kita bisa
mencurahkan konsentrasi untuk band ini. Aku punya impian kalau band kita bisa
konser keluar negeri. Ya minimal di konser di negara-negara di Asia
Tenggara-lah,” sambung Aldo sambil meneguk
segelas air.
Teman-teman Aldo mengangguk setuju sambil mengaminkan perkataan
dari sang vokalis. Mereka sudah selesai menghabiskan sarapan pagi. Begitu juga
dengan sang manajer. Ia tidak terlibat dalam pembicaraan mereka meskipun sang
manager berada satu meja dengan mereka.
“Tapi aku masih penasaran dan geram
dengan pelempar bom asap di konser kita. Untung konser kita enggak langsung
kacau gara-gara ulah si pelempar itu,” ungkap Fidel sambil menyingkirkan piring
bekas makanannya.
“Polisi sudah menemukan ciri-ciri
pelempar bom itu,” kata sang manajer tiba-tiba.
Ketika Vinno dan teman-temannya
hampir meninggalkan meja makan, mereka sontak melirik ke arah manajer mereka.
“Pak Edward tahu darimana?” tanya Aldo, heran.
“Nanti
saya ceritakan di mobil,” tunda sang manajer sambil menyuruh mereka beranjak
pergi dari sana.

No comments:
Post a Comment