Sunday, 21 January 2018

The Beauty Symphony - 6



Persiapan
            Hamparan langit di malam Jumat begitu gelap. Jutaan bintang-bintang bertaburanseraya berkelap-kelip memperlihatkan indah pendaran cahayanya. Bulan menampakkan separuh dari wujudnya di atas angkasa. Dan malam ini, keempat lelaki itu akan menunaikan kewajiban mereka selama tinggal di kontrakan itu. Mereka sudah mempersiapkan uang masing-masing di dompet. Tinggal menunggu kedatangan tukang kontrakan yang biasanya menaiki Mio Soul.
            “Ah lama banget sih tukang kontrakan ini. Sempat aku khilaf, langsung kupakaikan uang ini buat mentraktir si Cindy, gebetan gua anak Bahasa Inggris itu,” gerutu Jimmy.
            “Sabar, Jim, sabar. Ya palingan tukang kontrakannya lagi on the way di Rambung Merah. Kan mereka sudah pernah bilang kalau rumah mereka ada di jalan Medan.”Aldo mencoba menenangkan Jimmy yang mulai menggerutu tak sabaran.
            “Alah di sini ajanya kau berani ngomong kayak gitu sama kita-kita. Sedangkan kau aja cuma berharap si Cindy ngasih lampu hijau samamu. Sampai buaya beranak kadal pun, enggak bakalan mau si Cindy deketin loh duluan. You must take the action firstly, Jim. You are a gentleman,” cibir Fidel.
            “Gimana gua mau ngambil action sedangkan gua aja enggak pernah bicara sama dia. Ya awak pun seganlah,” balas Jimmy tak mau kalah.
            “Heh, heh, kenapa jadi bahas cewek sih? Siapin dompet loe semua. Firasat gua sebentar lagi tukang kontrakan sudah mau datang,” lerai Aldo, menyuruh kedua temannya yang bersitegang untuk tenang.
            Benar saja yang dikatakan Aldo.Deru mesin sepeda motor sedang menuju halaman kontrakan mereka. Sepasang suami istri yang diperkirakan berumur setengah abad memberhentikan sepeda motor mereka di sana. Begitu sepasang suami istri itu turun dari jok, Fidel langsung menyalami tangan mereka diikuti Aldo, Riky dan Jimmy.
            Tikar plastik berukuran 1,5x1 meter sudah mereka gelar. Mereka berenam sudah duduk melingkar dengan posisi tukang kontrakan berhadapan dengan keempat lelaki itu.
            “Tumben lama orang Tulang datang ke sini?” Pertama kali Fidel berbasa-basi.
            “Ya biasa.Ada pesta di dekat rumah kami. Kebetulan yang pesta ini satu marga dengan saya,” jawab lelaki paruh baya itu.
            Fidel melirik ke arah Riky. Dan Riky melihat lirikan itu sebagai isyarat yang sudah diketahui oleh mereka berempat.
            “Jadi begini, Tulang. Kudengar dari teman-temanku kalau uang kontrakan kami naik sebesar 400 ribu. Tapi kami meminta kepada Tulang karena kami sudah dua tahun berada di sini dan kami juga merawat kontrakan ini dengan baik, kok. Bagaimana kalau uang kontrakan kami naik sebesar 250 ribu?” Riky mencoba bernegoisasi dengan pemilik kontrakan. Barangkali pemilik kontrakan setuju dengan usulannya.
            Mendengar usulan dari para mahasiswa yang menyewa kontrakannya itu, sepasang suami istri itu berpikir sejenak. Sekitar lima detik akhirnya, lelaki paruh baya itu angkat bicara.
            “Baiklah. Tapi sebelumnya kalian ‘kan yang menanggung uang listrik dan air kontrakan ini?” tanya lelaki paruh baya itu. Vinno dan teman-temannya mengangguk setuju.
            “Kalau begitu kami naikkan jadi sebesar enam juta dua ratus ribu rupiah. Setuju?”
            Senyum sumringah tak sengaja terpoles dari bibir keempat lelaki itu. Mereka kelihatan senang dengan tawaran yang diajukan pemilik kontrakan.
            “Kami sudah memberikan setengah dari uang kontrakan. Kalau dengan sisanya mungkin setengahnya lagi akan kami berikan Senin depan. Bagaimana denganmu,Aldo?”
            “Ya aku setuju,” jawab Aldo.
            Selesai sudah pembicaran Aldo dan teman-temannya dengan pemilik kontrakan. Si pemilik kontrakan segera berdiri dari tikar, beranjak pergi dari sana. Aldo dan kawan-kawan tidak lupa menyalami si pemilik kontrakan sebagai tanda pamit dan terimakasih.
            “Oh satu lagi lupa, Tulang,” sentak Fidel.
            “Apa itu?” sahut lelaki paruh baya berambut tipis itu.
            “Soal atap yang bocor di kamar ketiga. Kapan bisa datang Tulang memperbaikinya?” telunjuk Fidel mengarah ke kamar ketiga.
            “Oh mungkin minggu depan saya akan datangkan tukang atap dan kalian bisa tunjukkan bagian mana yang sering kebocoran. Oke?”
            “Baiklah, Tulang. Kalau begitu hati-hati ya Tulang di jalan,” ujar Fidel.
            Begitu sudah berada di atas jok sepeda motor, lelaki paruh baya itu menekan tombol electric stater lalu menarik gas. Sebelum meninggalkan para penghuni kontrakan, si pemilik kontrakan menekan klakson sebagai tanda pamit.
            Saat sepeda motor si pemilik kontrakan sudah semakin jauh, Fidel menghela napas lega.
            “Ah, akhirnya selesai juga urusan uang kontrakan. Aldo dan Riky, jangan lupa bawa uang kontrakan kalian.” Fidel mengingatkan kedua temannya.
            “Hei teman-teman, kita enggak jadi ke studio hari ini? Ingat, persiapan kita tinggal menghitung hari,” sela Jimmy.
            Begitu Jimmy berbicara, Aldo, Riky dan Fidel tersentak bersamaan. Mereka bertiga tahu maksud dari perkataan Jimmy langsung buru-buru berganti pakaian. Tujuan mereka untuk saat ini—studio musik Angel.
*
            Angin malam menerpa jaket yang mereka kenakan. Keempat lelaki itu sedang berkonsentrasi pada jalan dan sepeda motor. Sudah tiga kilometer mengitari kota Pematangsiantar, akhirnya mereka berempat tiba di tujuan. Fidel melirik arloji yang melingkar di lengan kanan—pukul 20.30.
            “Syukurlah kita bisa tepat waktu,” ucap Fidel sambil mengelus dada.
            Sepeda motor terparkir di depan halaman studio. Mereka bergerak masuk ke dalam studio. Dan kebetulan pemilik studio sedang berjalan menuju mereka.
            “Mau main Bang?” tanya si pemilik studio.
            “Ya Bang. Main sejam aja,” jawab Aldo.
            Si pemilik studio membuka gembok yang mengunci pintu studio. Saat pintu studio terbuka, keempat lelaki itu ikut masuk ke sana.
            Sudah menjadi kekhasan suatu studio jika kulit kita menjadi dingin diterpa udara buatan dari pendingin udara. Tubuh mereka mengigil sejenak menikmati dingin berbalut kesejukan di dalam studio. Kini keempat lelaki itu sudah mengambil posisi masing-masing.
            “Sebelum kita masuk ke lagu yang mau kita nyanyikan, kita ambil pemanasan dulu ya?” perintah Fidel pada teman-temannya. Teman-teman yang lain mengangguk setuju.
            “Lagu Last Child-lah—Seluruh Napas Ini, gimana?” usul Fidel lagi.
            “Boleh juga. Kalau begitu mulailah intro-nya,” kata Aldo sambil kemudian menarik napas lalu dibuang secara lembut.
            Setelah usulan lagunya disetujui sang vokalis, Fidel mulai memainkan senar gitar secara melodi. Petikan senar yang lembut dan enak di telinga, membuat Aldo merasa siap menyanyikan lagu itu.
            Lihatlah luka ini yang sakitnya abadi
            Yang terbalut hangatnya bekas peluhmu
            Aku tak akan lupa tak akan pernah bisa
            Entah apa yang harus memisahkan kita...
            Kira-kira lima menit lagu itu dinyanyikan Aldo penuh penghayatan dan emosi. Fidel, Riky dan Jimmy mengulas senyum puas sambil bertepuk tangan menyaksikan performa Aldo dalam bernyanyi.
            Loe luar biasa, Do. Gimana loe sudah siap menyanyikan lagu-lagu yang mau kita bawa ke Medan nanti?”
            “Ya jelas siaplah. Ayo dimulai.” Aldo menginstruksikan agar teman-temannya bersiap.

No comments:

Post a Comment