Persiapan
Hamparan langit di malam Jumat begitu gelap. Jutaan
bintang-bintang bertaburanseraya berkelap-kelip memperlihatkan indah pendaran
cahayanya. Bulan menampakkan separuh dari wujudnya di atas angkasa. Dan malam
ini, keempat lelaki itu akan menunaikan kewajiban mereka selama tinggal di
kontrakan itu. Mereka sudah mempersiapkan uang masing-masing di dompet. Tinggal
menunggu kedatangan tukang kontrakan yang biasanya menaiki Mio Soul.
“Ah lama banget sih tukang kontrakan ini. Sempat aku khilaf, langsung kupakaikan uang
ini buat mentraktir si Cindy, gebetan gua anak Bahasa Inggris itu,” gerutu
Jimmy.
“Sabar, Jim, sabar. Ya palingan
tukang kontrakannya lagi on the way
di Rambung Merah. Kan mereka sudah pernah bilang kalau rumah mereka ada di
jalan Medan.”Aldo mencoba menenangkan
Jimmy yang mulai menggerutu tak sabaran.
“Alah di sini ajanya kau berani
ngomong kayak gitu sama kita-kita. Sedangkan kau aja cuma berharap si Cindy
ngasih lampu hijau samamu. Sampai buaya beranak kadal pun, enggak bakalan mau si Cindy deketin
loh duluan. You must take the action
firstly, Jim. You are a gentleman,”
cibir Fidel.
“Gimana gua mau ngambil action sedangkan gua aja enggak pernah
bicara sama dia. Ya awak pun seganlah,” balas Jimmy tak mau kalah.
“Heh, heh, kenapa jadi bahas cewek sih?
Siapin dompet loe semua. Firasat gua
sebentar lagi tukang kontrakan sudah mau datang,” lerai Aldo, menyuruh kedua temannya yang bersitegang untuk
tenang.
Benar saja yang dikatakan Aldo.Deru
mesin sepeda motor sedang menuju halaman kontrakan mereka. Sepasang suami istri
yang diperkirakan berumur setengah abad memberhentikan sepeda motor mereka di
sana. Begitu sepasang suami istri itu turun dari jok, Fidel langsung menyalami
tangan mereka diikuti Aldo, Riky dan
Jimmy.
Tikar plastik berukuran 1,5x1 meter
sudah mereka gelar. Mereka berenam sudah duduk melingkar dengan posisi tukang
kontrakan berhadapan dengan keempat lelaki itu.
“Tumben lama orang Tulang datang ke sini?” Pertama kali
Fidel berbasa-basi.
“Ya biasa.Ada pesta di dekat rumah
kami. Kebetulan yang pesta ini satu marga dengan saya,” jawab lelaki paruh baya
itu.
Fidel melirik ke arah Riky. Dan Riky
melihat lirikan itu sebagai isyarat yang sudah diketahui oleh mereka berempat.
“Jadi begini, Tulang. Kudengar dari
teman-temanku kalau uang kontrakan kami naik sebesar 400 ribu. Tapi kami
meminta kepada Tulang karena kami sudah dua tahun berada di sini dan kami juga
merawat kontrakan ini dengan baik, kok. Bagaimana kalau uang kontrakan kami
naik sebesar 250 ribu?” Riky mencoba bernegoisasi dengan pemilik kontrakan.
Barangkali pemilik kontrakan setuju dengan usulannya.
Mendengar usulan dari para mahasiswa
yang menyewa kontrakannya itu, sepasang suami istri itu berpikir sejenak.
Sekitar lima detik akhirnya, lelaki paruh baya itu angkat bicara.
“Baiklah. Tapi sebelumnya kalian
‘kan yang menanggung uang listrik dan air kontrakan ini?” tanya lelaki paruh
baya itu. Vinno dan teman-temannya mengangguk setuju.
“Kalau begitu kami naikkan jadi
sebesar enam juta dua ratus ribu rupiah. Setuju?”
Senyum sumringah tak sengaja
terpoles dari bibir keempat lelaki itu. Mereka kelihatan senang dengan tawaran
yang diajukan pemilik kontrakan.
“Kami sudah memberikan setengah dari
uang kontrakan. Kalau dengan sisanya mungkin setengahnya lagi akan kami berikan
Senin depan. Bagaimana denganmu,Aldo?”
“Ya aku setuju,” jawab Aldo.
Selesai sudah pembicaran Aldo dan teman-temannya dengan pemilik kontrakan. Si
pemilik kontrakan segera berdiri dari tikar, beranjak pergi dari sana. Aldo dan kawan-kawan tidak lupa menyalami si pemilik
kontrakan sebagai tanda pamit dan terimakasih.
“Oh satu lagi lupa, Tulang,” sentak
Fidel.
“Apa itu?” sahut lelaki paruh baya
berambut tipis itu.
“Soal atap yang bocor di kamar
ketiga. Kapan bisa datang Tulang memperbaikinya?” telunjuk Fidel mengarah ke
kamar ketiga.
“Oh mungkin minggu depan saya akan
datangkan tukang atap dan kalian bisa tunjukkan bagian mana yang sering
kebocoran. Oke?”
“Baiklah, Tulang. Kalau begitu
hati-hati ya Tulang di jalan,” ujar Fidel.
Begitu sudah berada di atas jok
sepeda motor, lelaki paruh baya itu menekan tombol electric stater lalu menarik gas. Sebelum meninggalkan para
penghuni kontrakan, si pemilik kontrakan menekan klakson sebagai tanda pamit.
Saat sepeda motor si pemilik kontrakan
sudah semakin jauh, Fidel menghela napas lega.
“Ah, akhirnya selesai juga urusan
uang kontrakan. Aldo dan Riky, jangan lupa
bawa uang kontrakan kalian.” Fidel mengingatkan kedua temannya.
“Hei teman-teman, kita enggak jadi
ke studio hari ini? Ingat, persiapan kita tinggal menghitung hari,” sela Jimmy.
Begitu Jimmy berbicara, Aldo, Riky dan Fidel tersentak bersamaan. Mereka bertiga
tahu maksud dari perkataan Jimmy langsung buru-buru berganti pakaian. Tujuan
mereka untuk saat ini—studio musik Angel.
*
Angin malam menerpa jaket yang
mereka kenakan. Keempat lelaki itu sedang berkonsentrasi pada jalan dan sepeda
motor. Sudah tiga kilometer mengitari kota Pematangsiantar, akhirnya mereka
berempat tiba di tujuan. Fidel melirik arloji yang melingkar di lengan
kanan—pukul 20.30.
“Syukurlah kita bisa tepat waktu,”
ucap Fidel sambil mengelus dada.
Sepeda motor terparkir di depan
halaman studio. Mereka bergerak masuk ke dalam studio. Dan kebetulan pemilik
studio sedang berjalan menuju mereka.
“Mau main Bang?” tanya si pemilik
studio.
“Ya Bang. Main sejam aja,” jawab Aldo.
Si pemilik studio membuka gembok
yang mengunci pintu studio. Saat pintu studio terbuka, keempat lelaki itu ikut
masuk ke sana.
Sudah menjadi kekhasan suatu studio
jika kulit kita menjadi dingin diterpa udara buatan dari pendingin udara. Tubuh
mereka mengigil sejenak menikmati dingin berbalut kesejukan di dalam studio.
Kini keempat lelaki itu sudah mengambil posisi masing-masing.
“Sebelum kita masuk ke lagu yang mau
kita nyanyikan, kita ambil pemanasan dulu ya?” perintah Fidel pada
teman-temannya. Teman-teman yang lain mengangguk setuju.
“Lagu Last Child-lah—Seluruh Napas
Ini, gimana?” usul Fidel lagi.
“Boleh juga. Kalau begitu mulailah intro-nya,” kata Aldo sambil kemudian
menarik napas lalu dibuang secara lembut.
Setelah usulan lagunya disetujui
sang vokalis, Fidel mulai memainkan senar gitar secara melodi. Petikan senar
yang lembut dan enak di telinga, membuat Aldo merasa siap menyanyikan lagu itu.
Lihatlah luka ini
yang sakitnya abadi
Yang
terbalut hangatnya bekas peluhmu
Aku
tak akan lupa tak akan pernah bisa
Entah
apa yang harus memisahkan kita...
Kira-kira lima menit lagu itu
dinyanyikan Aldo penuh penghayatan dan
emosi. Fidel, Riky dan Jimmy mengulas senyum puas sambil bertepuk tangan
menyaksikan performa Aldo dalam
bernyanyi.
“Loe
luar biasa, Do. Gimana loe sudah siap menyanyikan lagu-lagu
yang mau kita bawa ke Medan nanti?”
“Ya jelas siaplah. Ayo dimulai.” Aldo menginstruksikan agar teman-temannya bersiap.

No comments:
Post a Comment